Go Woke dan Gerakan LGBTQ yang Makin di Luar Nalar

Go Woke dan Gerakan LGBTQ yang Makin di Luar Nalar

Gerakan Woke (bentuk lampau dari awake atau wake-bangun) berasal dari Amerika Serikat dan kini diikuti orang-orang di Eropa. Berawal dari politik untuk menghilangkan diskriminasi terhadap kulit hitam dan kaum minoritas, kini wokeness telah merambah ke berbagai konteks kehidupan.

Ilustrasi: The Economist/Juanjo Gasull

Gerakan Woke juga sampai ke industri film. Disney membuat-ulang film Snow White (Putri Salju) pada 2023 yang pemeran utamanya berdarah Amerika latin Rachel Zegler. 

Rachel ditolak penggemar Disney lantaran kulitnya agak coklat dengan wajah latino dan kurang putih untuk memerankan Snow White.

Snow White disebut white karena kulitnya seputih salju, jadi aneh kalau pemeran Snow White kulitnya tidak putih, kata mereka. Namun, alasan itu ditentang Disney dan penganut gerakan Woke. Mereka bilang siapa saja boleh memerankan Snow White meski orang Asia sekalipun.

Banyak orang AS bilang Disney telah memainkan agendanya yang pro-wokeness karena telah melenceng dari pakem film Disney yang asli. Modifikasi boleh, tapi tidak melenceng, kata mereka. Film Snow White direncanakan tayang pada 2025.

Apa itu Gerakan Woke?

 

Go Woke mendorong orang untuk punya keberanian dalam bersikap, berpikir bebas, dan setara dengan yang lain. Saking bebas dan setaranya mereka boleh jadi apa saja yang mereka mau. Laki jadi bencong, perempuan jadi laki, anak-anak jadi kucing, dan sebagainya.

Padahal awalnya wokeness digunakan dalam konteks politik pada tahun 1930-an untuk "membangunkan" (wake) kulit hitam di Amerika Serikat supaya sadar akan masalah sosial dan politik yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Senator Marcia Fudge memegang kaus Woke pada 2018 (dok. akun X Marcia Fudge)

Makanya kamus Oxford mengartikan wokeness sebagai kewaspadaan dan keprihatinan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan sosial.

Gerakan wokeness mulai bergeser pada tahun 2010-an dari pemahaman politik menjadi gerakan yang mempermainkan nalar, termasuk didalamnya dukungan terhadap lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer atau LGBTQ. 

Orang-orang yang akalnya sehat yang tidak menyukai kebebasan ala LGBTQ sering dicap diskriminatif. 

Gerakan wokeness juga menyebut waria, bencong, dan sejenisnya sebagai gender (jenis kelamin) ketiga. Karena itulah orang berakal sehat yang berkukuh bahwa di dunia hanya ada dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan dikatakan sebagai transphobia (fobia terhadap transgender).

Go Woke dan Black Lives Matter


Wokeness makin menggema pada 2014 berbarengan dengan gerakan Black Lives Matter. Ketika itu lelaki kulit hitam bernama George Flyod meninggal dunia karena lehernya diinjak polisi selama 9 menit dalam kondisi terborgol. 

George dituduh membayar rokok di toko dengan uang palsu pecahan $20. Kasir di toko tempat George membeli rokok bilang dia langsung menduga uang yang dibayar George palsu karena ada "warna biru yang tidak biasa" di uang itu. 

Apalagi sebelumnya teman George juga beli rokok pakai uang palsu. Saat George datang, si kasir berbaik sangka mungkin George tidak tahu kalau uang itu palsu, jadi waktu dia lihat "warna biru yang tidak biasa" di uang, si kasir tetap menerimanya, tapi memberitahu manajer toko.

Manajer toko kemudian memanggil George dan bilang uangnya palsu, tapi George dua kali menolaknya. Manajer lalu menyuruh pegawai lain menelpon 911.

Sampai sekarang belum jelas apakah George benar membayar rokok dengan uang palsu atau tidak.

Kematian George Floyd ditangan polisi memicu lagi gerakan Black Lives Matter yang telah ada sejak 2013.

Gerakan #BlackLivesMatter dibuat oleh tiga wanita Alicia Garza, Patrisse Cullors, dan Opal Tometi sebagai gerakan politik dalam menanggapi pembebasan George Zimmerman yang melenyapkan nyawa kulit hitam Trayvon Martin.

Black Lives Matter juga dianggap sebagai bagian dari gerakan Wokeness karena dua dari pendirinya merupakan queer. Mereka juga memperjuangkan hak dan kesetaraan LGBTQ kulit hitam.

Murid Jadi Kucing

 

Gerakan wokeness makin meluas tidak cuma mengkampanyekan LGBTQ, melainkan juga kehidupan manusia jadi hewan.

Ada guru di AS yang bingung karena muridnya bertindak dan berperilaku seperti kucing. Tiap ditanya selalu menjawab meong atau miauw. Anehnya guru tidak boleh marah dan menegur siswa karena dia akan dianggap melanggar hak queer. Si guru bisa dipecat.

Murid yang bertingkah jadi kucing masuk dalam kategori queer alias bukan laki, bukan perempuan, dan tidak terikat pada jenis kelamin tertentu. 

Ada juga orangtua yang mempertanyakan kenapa nilai ulangan anaknya jeblok. Gurunya lalu bilang kalau si anak menjawab soal dengan meong, meong, dan meong, jadi dapat nilai nol.

Orangtuanya marah kepada sang guru, tapi untungnya kepala sekolah bisa menghindarkan guru dari tuntutan hukum. Si anak akhirnya pindah sekolah di mana dia bisa diterima sebagai "kucing".

Ada juga tante (masih dari AS) yang cerita di Reddit kalau dia menegur keponakannya waktu si keponakan seharian bertingkah sebagai anjing. Kata si Tante biar gak kebablasan. 

Semua itu kedengarannya seperti cerita aneh gak masuk akal, tapi nyatanya memang seperti itu yang dihadapi banyak orang di AS dan Eropa terhadap fenomena Wokeness atau Go Woke.

Go Woke Go Broke

 

Dulu orang normal mempersilakan kaum LGBTQ melakukan yang mereka suka, termasuk memakai simbol pelangi untuk mewakili identitas mereka. Saking seringnya LGBTQ menggunakan simbol pelangi, sekarang pelangi jadi identik dengan mereka.

Orang Barat (Amerika dan Eropa) menyebut kaum LGBTQ sebagai kaum pelangi. Meski begitu tidak sedikit orang yang menyayangkan pencomotan pelangi oleh gerakan Wokeness yang membuat orang normal tidak lagi leluasa menggunakan gambar pelangi.

Lama-lama kampanye gerakan LGBTQ yang memakai jargon gerakan wokeness makin masif sampai ke sekolah, kampus, dan berbagai lapisan masyarakat bahkan anak-anak. Hal ini bikin resah warga AS.

Keresahan memuncak karena para penganut Go Woke mencap orang yang normal sebagai orang yang berpikiran konservatif (kuno, jadul, sempit) karena tidak menerima kenyataan adanya kebebasan dan hak LGBTQ. 

Melihat gerakan Go Woke makin ngelunjak karena selalu memkampanyekan gaya hidup yang tidak masuk akal, banyak orang lalu melakukan penentangan terang-terangan. Salah satu yang berani menentang transgender adalah J.K Rowling.

Salah satu yang ditentang JK Rowling adalah penempatan atlet transgender pria ke tim olahraga wanita. JK Rowling bilang lelaki tetaplah laki-laki dan tidak bisa jadi wanita. 

Apa yang dikatakan JK Rowling sebetulnya cuma secuil dari kenyataan. Di kehidupan nyata di AS, banyak laki-laki yang wajah, gaya, dan pakaiannya masih laki banget masuk ke tim olahraga perempuan.

Mereka merasa berhak masuk ke tim perempuan karena menganggap diri mereka sebagai queer. Anggota asli yang semuanya perempuan protes karena mereka tidak nyaman latihan bareng laki-laki, tapi pelatih tidak bisa berbuat apa-apa.

Pelatih tidak boleh menolak kehadiran laki-laki di tim perempuan. Kalau menolak bisa dilaporkan ke Komnas HAM karena menolak hak LGBTQ. Akhirnya tim itu bubar karena semua perempuan tulen mengundurkan diri.

Jadi keberadaan LGBTQ dan Wokeness sebetulnya meresahkan banyak orang di AS dan Eropa. Namun, mereka kuatir kena masalah kalau menentang hal tersebut.

Sebagai jalan menyuarakan keresahan, mereka memboikot perusahaan atau produk yang nyata-nyata mendukung wokeness dan LGBTQ seperti Disney, Paramount, Adidas, Victoria's Secret, Gillette, dan Snapchat.

Tercatat setidaknya 20 perusahaan besar yang bangkrut setelah mereka mendukung Wokeness. Dari situlah jargon go woke go broke (ayo bangun ayo bangkrut) dimulai.

Bebas Tidak Berarti Semaunya


Ada remaja yang tidak mandi selama 19 hari. Ibunya marah dan berkali-kali menyuruhnya mandi karena badannya sudah sangat bau. Di depan kamera yang videonya tayang di YouTube, si remaja bilang dia bebas tidak mandi sampai kapanpun karena itu haknya.  

Hampir semua orang di kolom komentar menganggap gerakan wokeness sudah merusak akal sehat karena tidak lagi masuk akal. Orang-orang yang menganut paham go woke malahan terlihat konyol, memalukan, dan membodohi diri sendiri.    

Memang betul, manusia diberi kebebasan jadi apa saja yang mereka mau. Jadi pilot, dokter, penulis, blogger, gubernur, bahkan presiden. Bahkan pindah agama saja boleh walau pasti dilaknat agama asal masing-masing.

Namun, kebebasan itu haruslah yang sesuai kodrat, fitrah, etika, dan norma manusia sebagai makhluk berakal. Akal sehatlah yang membedakan manusia dari hewan. Hewan saja kadang punya rasa malu dan bisa dilatih untuk bersikap baik dan tidak semaunya, mosok manusia tidak.


Gaya Hidup Rebahan Ternyata Bukan Buat Pemalas

Gaya Hidup Rebahan Ternyata Bukan Buat Pemalas

Si sulung asyik scroll TikTok, si adik main game, eh, si ibu ikutan mager nonton drakor maraton langsung 10 episode. Apa cuma si bapak yang gak terpengaruh sedentary lifestyle

sedentary lifestyle

Ternyata si bapak di kantor juga kerjanya cuma duduk seharian mengetik di depan komputer dan membuat laporan. Saat rapat pun bapak duduk terus..

Keseharian sehari-hari yang seperti itu dengan hanya duduk, berbaring, dan jarang beraktivitas fisik dinamakan sedentary lifestyle. 

Sedentary lifestyle adalah gaya hidup yang minim aktivitas fisik baik yang disengaja atau tidak. Pada kehidupan sehari-hari kita mengenalnya dengan istilah mager (malas gerak).

Awal Mula Munculnya Gaya Hidup Mager Sedentary Lifestyle

Sedemtary lifestyle muncul ternyata bukan dipicu oleh keberadaan internet dan digitalisasi. Laman Thought menyebut gaya hidup mager sudah ada sejak 12.000 tahun lalu sejak manusia memutuskan untuk menetap dan hidup dalam kelompok masyarakat yang punya pembangian tugas.

Pembagian tugas itu meliputi bertani, beternak, dan berburu dengan subtugasnya masing-masing. Sejak antarkelompok masyarakat tidak lagi nomaden (hidup berpindah-pindah), sejak itulah sedentary lifestyle atau gaya hidup menetap ada sampai sekarang. 

Related: Social Loafing Orang si Giat Bekerja Sendiri tapi Malas Kerja Kelompok

Lama-lama sedentary lifestyle mengalami pergeseran makna, dari gaya hidup menetap jadi gaya hidup sambil duduk, kurang gerak, dan minim aktivitas. Menetap juga, sih, ya, tapi makna menetap disini jadi lebih sempit. Menetap di satu kamar, satu ruangan, atau di satu rumah.

Perubahan makna sedentary lifestyle juga dipicu munculnya revolusi industri di awal abad 20 yang serba mesin menggantikan tenaga manusia.

Sedentary Lifestyle Kaum Rebahan

Istilah kaum rebahan disematkan pada mereka yang senangnya main medsos berjam-jam, pemalas, dan mau apa-apa serba instan. Stereotip ini awalnya marak disemangatkan pada Milenial pada masa 2010-2019. Bagi generasi sebelumnya Milenial terlihat gak pengin ngapa-ngapain, tapi mau langsung sukses.

Kebanyakan dari mereka juga menghabiskan waktu dengan berbaring (rebahan) atau duduk-duduk malas sambil berselancar di internet atau main game.

Related: Social Loafing Rajin Bekerja Sendiri tapi Malas Kerja Kelompok

Nyatanya, pekerjaan yang cuma duduk dan rebahan itu kini terbukti bisa menghasilkan rupiah yang tidak sedikit dari menulis konten, nge-blog, dan menciptakan video konten untuk medsos.

Para pekerja kreatif kadang rebahan saat menyelesaikan pekerjaannya entah karena bosan duduk, capek berdiri, atau ingin sambil bersantai.

Related: Beda Remote Working dan Digital Nomad dari Cara Kerja sampai Tempat Tinggal

Risiko Gaya Hidup Mager

Meski menghasilkan uang dari duduk dan rebahan, kita sesekali harus berdiri dan melakukan gerakan fisik. Lebih bagus kalau rutin jalan pagi atau jogging minimal sepekan sekali.Sedentary lifestyle bisa memicu datangnya penyakit kalau terus-terusan kita lakukan tanpa diimbangi aktivitas fisik.

Saat kita kebanyakan duduk dan tidak banyak bergerak, kadar oksigen dalam darah jadi rendah. Situs Normal Breathing menyebut kalau oksigenasi sel-sel tubuh normalnya terjadi tiap 40 detik, tapi pada orang yang menerapkan sedentary lifestye terjadi tiap 20 detik. 

sedentary lifestyle gaya hidup mager
Orang mager lebih cepat lelah daripada yang banyak gerak karena sel-sel tubuh mengalami oksigenasi lebih cepat (sumber: normalbreathing.com)

Artinya, sel-sel tubuh tidak dapat cukup oksigen karena datang-perginya oksigen itu terlalu cepat. Maka orang yang jarang bergerak justru lebih sering merasa cepat lelah daripada orang yang banyak gerak.

Dalam jangka waktu lama, sedentary lifestyle bisa memicu penyakit lebih berat, yaitu:

  1. Diabetes melitus tipe 2, karena metabolisme gula darah terganggu.
  2. Hipertensi, karena tekanan darah menjadi tinggi akibat aliran darah yang terhambat.
  3. Dislipidemia yaitu kondisi dimana kadar lemak dalam darah tidak normal.
  4. Kegemukan atau obesitas karena kalori yang masuk lebih banyak daripada yang dibakar.
  5. Risiko kanker karena peradangan kronis dan ketidakseimbangan hormon.
  6. Osteoporosis sebagai akibat dari rapuhnya tulang karena kurangnya rangsangan mekanik.

Keseimbangan

Keseimbangan membuat hidup kita jadi nyaman. Hal baik dan buruk dalam hidup pun terjadi untuk keseimbangan. Tidak semua hal selalu berjalan baik dan tidak melulu buruk. Sama halnya dengan aktivitas kita sehari-hari.

Kadang kita perlu duduk kadang perlu berdiri dan kapan harus berolahraga. Atlet pun tidak melulu latihan, blogger tidak melulu ngeblog. Maka sedentary lifestyle boleh mendominasi hidup kita asalkan kita selingi dengan aktivitas fisik.

Jadi sesusah menulis berjam-jam di depan laptop, kita bisa merapikan rumah, menyapu dan mengepelnya sendiri sampai bersih. Kemudian di akhir pekan, kita bisa jogging mengelilingi komplek atau di taman kota. Bisa juga ke mall sambil berjalan melihat-lihat barang-barang bagus.

Yang penting keseimbangan.

Alasan Dibalik Keengganan Kita Menolong Korban Kecelakaan

Alasan Dibalik Keengganan Kita Menolong Korban Kecelakaan

Ada perempuan yang tiba-tiba jatuh dari motor karena karena dia baru belajar mengendarai motor ditengah jalanan yang basah karena hujan.

Ilustrasi efek pengamat (bystander effect) dibuat dari Microsoft Designer

Apakah kita akan menolongnya? Atau biar saja, deh, orang lain yang nolong daripada saya kena masalah

Ternyata orang yang enggan menolong orang lain saat terjadi kecelakaan dan kesulitan di tempat umum bukan cuma kita saja, melainkan hampir semua orang melakukannya. Itulah yang disebut dengan bystander effect

Bystander effect adalah fenomena psikologis ketika seseorang tidak berkeinginan menolong korban dalam situasi darurat saat disitu sudah ada orang lain yang hadir. Makin banyak orang yang ada di TKP (tempat kejadian perkara) makin banyak juga yang tidak mau menolong.

Awal Mula Fenomena Bystander Effect

 

Bystander (pengamat) dan effect (efek/dampak) terjadi karena ada difusi (penyebaran atau perembesan) sosial dan tanggung jawab. 

Difusi tanggung jawab terjadi ketika makin banyak orang yang ada di satu tempat saat kecelakaan atau krisis terjadi, makin rendah rasa tanggung jawab individu untuk bertindak. Sedangkan difusi sosial terjadi saat orang yang ada di TKP saling tunggu dan mengawasi orang lain untuk menentukan bagaimana harus bertindak.

Istilah efek pengamat (bystander effect) ini pertama kali tercetus oleh pembunuhan Kitty Genovese pada 1964 di luar kediamannya di New York. Kitty amat mungkin selamat kalau 38 tetangganya menelepon polisi atau menolongnya saat perampokan, pemerkosaan, dan penikaman itu terjadi. Tapi mereka cuma melihat dan mendengar tanpa melakukan apa-apa.

Setelah peristiwa itu, mengutip Psychology Today, psikolog sosial Bibb Latané dan John Darley kemudian melakukan beberapa studi dan percobaan kenapa orang sampai tega ga nolong atau minimal lapor polisi. Dari keduanyalah istilah bystander effect muncul.

Percobaan Sosial yang Mencetuskan Bystander Effect 

 

Eksperimen pertama yang mereka lakukan adalah merekrut mahasiswa untuk jadi peserta dalam diskusi kelompok melalui interkom. Bibb Latané dan John Darley memberitahu para peserta kalau mereka akan bicara bergantian dengan orang lain yang tidak terlihat dan hanya melalui interkom.

Nyatanya, tidak ada orang di seberang interkom. Para peserta cuma mendengar rekaman suara yang sudah disiapkan. 

Pada suatu titik, salah satu suara pura-pura mengalami kejang epilepsi dan minta bantuan. Bibb Latané dan John Darley mengukur seberapa cepat dan seberapa sering para peserta mencoba menolong atau minta bantuan orang lain. 

Bibb Latané dan John Darley menemukan bahwa jika para peserta berpikir bahwa mereka adalah satu-satunya yang mendengar suara itu maka 85% dari mereka menolong dalam waktu satu menit. Namun, kalau mereka berpikir bahwa ada empat orang lain yang juga mendengar suara itu, cuma 31% dari mereka yang menolong dalam waktu satu menit.

Eksperimen kedua yang dilakukan Bibb Latané dan John Darley ialah meminta para peserta untuk mengisi kuesioner di sebuah ruangan. Selama mereka mengisi kuesioner, asap mulai keluar dari ventilasi di ruangan itu. 

Bibb Latané dan John Darley mengamati seberapa lama para peserta memperhatikan asap, seberapa lama mereka memeriksanya, dan seberapa lama mereka melaporkannya kepada orang lain. 

Hasilnya, kalau para peserta sendirian di ruangan itu, 75% dari mereka melaporkan asap dalam waktu enam menit. Akan tetapi, saat peserta bersama dua orang lain, yang sebenarnya adalah konfederat yang pura-pura tidak memperhatikan asap, cuma 10% peserta yang melaporkan asap dalam waktu enam menit.

Konfederat adalah orang yang bekerja sama dengan peneliti.

Bibb Latané dan John Darley membuat percobaan lain dan beberapa studi yang melahirkan bystander effect. Mereka berpendapat ada banyak faktor sosial yang dapat menghambat atau memfasilitasi setiap tahap ini, seperti jumlah orang yang hadir, norma sosial, karakteristik korban, dan karakteristik penolong. 

Mereka juga mengemukakan beberapa konsep untuk menjelaskan mengapa orang kurang bersedia membantu ketika ada orang lain di sekitar, seperti difusi tanggung jawab, penilaian sosial, dan kesesuaian sosial.

Kenapa Orang Diam Saja dan Tidak Menolong Korban?

 

Selain karena kondisi psikologis yang terjadi karena pengaruh orang banyak yang ada di sekitar, yaitu difusi tanggung jawab dan difusi sosial, ada alasan lain yang lebih pribadi yang dirasakan saat menyaksikan kejadian memilukan.

Alasan itu bisa karena:

1. Shock (terkejut). Beberapa dari kita perlu mencerna sejenak apa yang sedang terjadi. Setelah otak mampu mencerna, kita tidak langsung bertindak karena berbagai pertimbangan, dua diantaranya karena difusi tanggung jawab dan sosial itu tadi.

2. Merasa lemah dan tidak berdaya untuk menolong. Situs Simply Psychology mengatakan ada banyak orang yang takut menolong karena merasa tidak berdaya dan lebih lemah dari pelaku atau dari kejadian yang terjadi di depan mata, misalnya kecelakaan mobil atau kebakaran.

Mereka memilih diam atau pura-pura tidak tahu dan berharap orang lain yang jadi penolong atau melakukan sesuatu untuk menolong.

Betul juga, alih-alih menolong bisa jadi nyawa kita yang terancam. Ini biasanya terjadi di kejahatan jalanan seperti begal, klitih, penjambretan, penodongan, atau tawuran. Orang yang paling berani menolong saat ada kejahatan jalanan biasanya cuma tentara dan polisi.

3. Merasa bukan urusannya. Saat ada orang lain di TKP, kita cenderung cuek dan tidak ingin terlibat karena merasa hal itu bukan urusan kita.

Kita merasa sudah punya masalah dan urusan sendiri dan tidak ingin menambahnya dengan menolong atau mengurusi korban.

Contoh paling nyata ada di kasus KDRT. Keluarga dan tetangga sering tidak menolong karena merasa itu urusan rumah tangga suami-istri dan bukan urusan mereka.

4. Takut dihukum. Di negara kita, alasan hukum juga membuat kita enggan menolong. Sudah bagus kita mau nolong, lha, kok, malah jadi tersangka. Kalaupun tidak jadi tersangka, minimal jadi saksi yang bisa berkali-kali dipanggil polisi untuk dimintai keterangan.

Kejadian ini pernah menimpa Amaq Sinta yang jadi korban begal. Dia melawan dua begal yang mengancamnya dengan senjata dan mau merampas motornya. Amaq sudah berteriak minta tolong, tapi tidak ada warga yang datang. 

Berbekal pisau kecil yang dibawanya, Amaq menikam dua begal yang akhirnya tewas itu. Amaq kemudian melaporkan pembegalan itu ke polisi. Ternyata dia malah jadi tersangka pembunuhan. Untunglah penyidikan dihentikan setelah Kapolri Listyo Sigit turun tangan.

Apakah Bystander Effect Dibenarkan?

 

Efek pengamat bisa dikurangi kalau masyarakat punya empati terhadap korban atau terhadap kejadian memilukan yang terjadi di depan mata. 

Cara meminimalisir bystander effect adalah mengasah empati dan kepekaan sosial. Jadi kita tidak perlu saling tunggu dan pura-pura tidak tahu yang bisa berakibat nyawa korban melayang.

Pelaku Bystander effect bisa dibilang tidak sesuai dengan moral agama karena ajaran agama mengharuskan kita saling tolong-menolong. 

Kalau kita kebetulan ada di situasi yang menyebabkan muncul korban seperti kejahatan jalanan, kecelakaan, KDRT, atau hal lain yang bisa menimbulkan korban, kita bisa menelpon nomor 112. Laporkan kejadian itu kepada operator 112 dan mereka akan meneruskannya ke polisi, pemadam kebakaran, BNPB/BPBD, atau pihak lain yang terkait.

Dengan begitu kita tidak perlu terlibat langsung, tapi bisa meminimalisir kejadian buruk yang bisa menimbulkan korban raga atau jiwa.

Kenapa Kita Melihat Wajah Orang Manusia dan Bentuk Hewan di Benda Mati?

Kenapa Kita Melihat Wajah Orang Manusia dan Bentuk Hewan di Benda Mati?

Pernah melihat awan berbentuk wajah manusia atau lafaz Allah? Eh, atau pernah juga melihat pohon bentuknya seperti raksasa? Ilusi visual itu namanya pareidolia. Ilusi visual dapat dimaknai sebagai kekeliruan dalam memaknai sebuah gambar pada objek.

Makanya pareidolia juga sering disebut dengan gangguan persepsi. Contoh pareidolia paling terkenal adalah penampakan manusia di bulan dan cemilan Cheetos yang bentuknya seperti spesies gorila harambe.

Penampakan jagung Cheetos yang diklaim berbentuk gorila harambe (kanan) yang laku 99,9 dolar di e-Bay (USA Today)

Sementara itu, arti pareidolia menurut kamus Merriam-Webster adalah kecenderungan untuk melihat gambar, pola, atau makna tertentu dalam rangsangan visual yang samar atau acak seperti melihat wajah, binatang, atau objek di awan, bulan, atau pada benda mati. 

Kenapa Kita Mengalami Pareidolia


Pareidolia berasal dari bahasa Yunani para dan eidolon. Para berarti disamping, bersama, atau salah. Eidolon artinya gambar, bentuk, atau rupa.

Kita mengalami pareidolia karena otak manusia cenderung mencari makna dan pengenalan di mana pun pada kesempatan apa pun karena pengaruh bagian otak yang disebut dengan fusiform face area.

Fusiform face area bertanggung jawab untuk mengenali wajah. Jadi saat kita melihat sesuatu yang mirip dengan wajah, bagian otak ini aktif dan membuat kita percaya kalau kita sedang melihat wajah betulan. 

Psychology GeniePsychology Genie melansir bahwa aktivitas saraf dalam otak, seperti di area lobus temporal, terlibat dalam pengenalan pola dan wajah. Saat kita mengalami pareidolia, area-area ini menjadi aktif karena otak mencoba untuk menafsirkan stimulus yang samar menjadi sesuatu yang bermakna.

Pareidolia dan Kondisi Mental 


Laman Psychology Today bilang kalau pareidolia mungkin ada hubungannya dengan mood dan tingkat kecemasan seseorang.

Namun banyak studi yang nelihat kalau pareidolia tidak ada hubungannya dengan mood dan tingkat kecemasan seseorang. Se-mood apa pun kita kalau otak tidak langsung memroses suatu benda, maka pareidolia tidak akan muncul.

Yang pasti pareidolia muncul karena persepsi dan keinginan kita untuk menafsirkan sesuatu yang sebetulnya tidak punya arti apa-apa menjadi sesuatu yang jelas dan nyata.

Pareidolia dan Halusinasi 


Jadi kalau kita melihat busa cappucino berbentuk mata atau awan berbentuk malaikat, sangat mungkin itu bukan firasat atau tanda alam, tapi kita sedang mengalami pareidolia karena otak kita memroses persepsi visual sesuai kebiasaan dan kemauan kita. 

Pareidolia dalam kopi (reddit/manojkathuria)

Apakah mungkin fenomena ini bisa disebut juga dengan, anak sekarang menyebutnya halu?

Dulu pareidolia sering dianggap halusinasi dan delusi, sekarang dianggap sebagai fenomena wajar yang dialami manusia yang disebabkan cara otak memroses rangsangan dan membentuk persepsi.

Pareidolia dan Penyakit Saraf


Meski merupakan fenomena wajar, tidak menganggu kesehatan fisik dan mental, orang yang mengalami pareidolia terus-menerus harus diwaspadai mengidap gejala skizofrenia atau epilepsi temporal.

Pemeriksaan gejala skizofrenia dan epilepsi harus dilakukan psikiater dan dokter saraf, bukan berdasarkan asumsi sendiri.

Jadi awan wajah siapakah yang kamu lihat tadi?



Butterfly Effect Saat Kekacauan Rumit Bermula dari Ketidaksengajaan Sepele

Butterfly Effect Saat Kekacauan Rumit Bermula dari Ketidaksengajaan Sepele

Kamus Merriam-Webster mengartikan butterfly effect (efek kupu-kupu) sebagai sistem kekacauan yang terjadi saat ada perubahan kecil di kondisi awal yang mengakibatkan kekacauan sistem dalam skala besar di masa depan.

Simpelnya, butterfly effect adalah istilah yang dipakai dalam teori kekacauan. Teori itu melihat bahwa sesuatu yang kecil dan sepele pada akhirnya dapat menimbulkan konsekuensi yang besar dan rumit.

Laman HowStuffWorks mencontohkan ketika kupu-kupu mengepakkan sayapnya di India, perubahan tekanan kecil pada kepakan itu ternyata menyebabkan tornado di Iowa, AS.

Asal Mula Teori Butterfly Effect

 

Pencetus butterfly effect adalah Edward Lorenz, seorang Matematikawan dan Meteorologis dari Masachusset Institute of Technology (MIT) yang mengemukakan tentang teori kekacauan (chaos). 

Edward membuat dokumen ilmiah berjudul “Prediktabilitas: Apakah Kepakan Sayap Kupu-kupu di Brasil Memicu Tornado di Texas?” 

Dokumen itu menjelaskan bahwa kepakan sayap kupu-kupu, jika disinkronkan di Brasil, dapat memicu tornado di Texas. Tentu saja Edward tahu ini keliru. Berbagai kondisi cuaca harus terjadi secara bersamaan untuk mencapai hasil yang kacau dari tornado, dan bukan berdasarkan kepakan sayap kupu-kupu semata.

Akan tetapi ide teori kekacauan dari Edward Lorenz ini menunjukkan kalau seluruh kehidupan cuma bisa diprediksi, tapi tidak pernah bisa dipastikan. Keputusan terpisah pada suatu hari atau terlambat satu menit pada hari lain dapat memicu rangkaian peristiwa yang sangat berbeda.

Butterfly Effect di Kehidupan Sehari-hari

 

Warga yang tinggal di pinggiran Jakarta seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang Selatan tahu benar apa efeknya kalau mereka berangkat kerja pukul 05.30 dan 05.35. Cuma beda lima menit. 

Mereka akan tiba di kawasan Senayan, Sudirman, dan Thamrin di Jakarta Pusat pada pukul 07.00 kalau berangkat dari rumah pukul 05.30. Namun mereka akan sampai di sana pukul 08.30 kalau berangkat pukul 05.35.

Logikanya kalau selisih berangkatnya cuma lima menit, sampai di tempat tujuannya juga selisih lima menit, yaitu pukul 07.05. Nyatanya semua yang tinggal di pinggiran Jakarta mengalami hal yang seperti itu.

Contoh lainnya saat kita beli tumis kacang panjang di warteg untuk makan siang. Didalam kacang panjang itu rupanya masih ada telur cacing karena tidak dicuci bersih saat akan dimasak. Hanya karena makan satu kali tumis kacang panjang yang ada telur cacingnya, kita sampai harus dioperasi untuk mengeluarkan cacing yang telah beranak-pinak di usus.

Butterfly Effect di Alam

 

Kita mungkin sering berpikir, "Ahh, gak apa beli sebotol air kemasan plastik. Toh, cuma satu." Kalau jutaan orang di Indonesia berpikir sama, maka akan ada jutaan botol plastik dalam satu hari dan bisa menimbulkan masalah lingkungan di darat dan laut.

Contoh kecil dan sepele lainnya yang menimbulkan dampak besar adalah saat kita memetik bunga di pinggir jalan.

Didalam kelopak bunga itu ternyata ada lebah madu yang terbawa. Ketika terbang keluar dari kelopak bunga, lebah itu tidak tahu di mana sarangnya. Dalam waktu paling lama dua pekan si lebah madu akan mati karena tidak bisa hidup jauh dari sarangnya.

Karena si lebah madu mati, penyerbukan antarbunga terganggu dan akibatnya banyak bunga yang mati karena tidak bisa berkembang biak. 

Selintas tidak masuk akal, ya? Tapi itulah butterfly effect. Hal-hal sepele yang tampak tidak ada artinya ternyata berdampak besar dan rumit ke waktu mendatang.

Butterfly Effect yang Positif


Butterfly effect tidak selalu menimbulkan dampak negatif, ada juga positifnya misal membuang sampah pada tempatnya dapat menjaga kebersihan lingkungan dan meminimalisir penyakit yang datangnya dari lalat.

Mengurangi pemakaian kendaraan pribadi dan beralih ke angkutan umum juga memberi dampak besar bagi kualitas udara dan pemanasan bumi.

Runtuhnya Tembok Berlin

Pada 9 Desember 1989 Gunter Schabowski pejabat Jerman Timur tidak sengaja mengumumkan di depan TV kalau sejak hari ini warga Jerman Timur dapat bepergian ke Jerman Barat. Situs Deloitte menyebut pengumuman itu memicu kerumunan besar di Tembok Berlin, dan akhirnya tembok tersebut runtuh.

Namun runtuhnya Tembok Berlin justru membawa persatuan bagi Jerman dan kemakmuran bagi Jerman Timur. Kini Jerman jadi salah satu negara maju di dunia yang terkenal dengan teknologi tingginya di industri otomotif dan elektronik.

Penisilin

Ilmuwan Skotlandia bernama Alexander Fleming meninggalkan laboratoriumnya selama sebulan dan saat kembali dia lihat ada jamur di cawan petrinya.

Alex tidak membuang jamur itu dan menyimpannya. Ternyata didalam jamur itu ada kandungan penicilum yang menghasilkan penisilin yang dia temukan tahun 1928. Penisilin merupakan antibiotok pertama di dunia dan sampai sekarang masih digunakan untuk melawan bakteri dalam tubuh.

Andai Alexander Fleming membuang jamur itu kita mungkin belum punya obat untuk mengatasi bermacam infeksi yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri.

Bisakah Kita Menghindari Butterfly Effect?

 

Bisa saja walau tidak bisa sepenuhnya menghindar karena tidak ada yang pasti di dunia ini. Semua bisa diprediksi, tapi hasilnya tidak ada orang yang tahu. Begitu juga dengan butterfly effect, kita bisa menghindarinya dengan melakukan bermacam cara, namun hasil akhirnya tetap tidak ada yang tahu.

Ini cara menghindari butterfly effect yang negatif di kehidupan sehari-hari.

1. Tidak sering mengambil keputusan yang terburu-buru. Selalu pikirkan dulu apa efek dan konsekuensi jangka pendek dan panjangnya sebelum membuat keputusan.

2. Menghindari melakukan hal negatif yang merugikan orang lain dan diri sendiri seperti mengejek, memaki, mengadu-domba, dan tindakan buruk lainnya yang tidak beradab dan berperikemanusiaan.

3. Tidak merusak lingkungan seperti membakar sampah dan membuang sampah sembarangan.

4. Hindari melakukan tindakan yang melanggar hukum serta norma sosial dan agama seperti korupsi, melakukan nepotisme kepada saudara sendiri, atau hidup bersama pasangan tanpa menikah (kkkumpul kebo).

Butterfly Effect dan Hukum Sebab-Akibat


Butterfly effect mirip seperti hukum sebab-akibat yang artinya sesuatu tidak akan terjadi kalau tidak ada sebabnya. 

Bedanya, butterfly effect merupakan teori yang berdasar pada kekacauan besar dan rumit yang berawal dari hal yang kecil dan sepele.

Sedangkan hukum sebab-akibat adalah prinsip yang menyatakan bahwa setiap peristiwa atau fenomena di dunia ini memiliki penyebab dan akibat yang saling berkaitan. Prinsip ini berlaku secara universal dan dapat ditemukan di kehidupan sehari-hari. 

Filsuf Yunani Kuno Plato mengatakan kalau segala sesuatu yang menjadi atau berubah pasti melakukannya karena suatu sebab karena tidak ada yang bisa terjadi tanpa sebab. Hukum sebab-akibat juga diterapkan dalam ilmu sejarah di mana segala sesuatu yang terjadi dan berubah harus ada sebabnya.

Social Loafing, Orang yang Giat Bekerja Sendiri tapi Malas Kerja Kelompok

Social Loafing, Orang yang Giat Bekerja Sendiri tapi Malas Kerja Kelompok

Mengacu pada ilmu psikologi, social loafing atau kemalasan sosial berarti orang cenderung malas bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas/kepentingan kelompok walau sebenarnya mereka rajin dan bukan pemalas.

Meski begitu, social loafing tidak berlaku dalam kelompok sosial di mana anggotanya punya kesadaran bahwa mereka harus selalu bekerja bersama-sama dengan orang dalam kelompok itu.

Kerja kelompok relatif menyenangkan kalau orang dalam kelompok itu sama-sama terlibat di aktivitas sosial, misal PKK, karang taruna, ormas keagamaan, organisasi sosial, bisa juga Pramuka.

Orang yang sama-sama ikut kegiatan sosial punya hasrat yang sama untuk menjadi pelayan warga, jadi mereka dengan senang hati bekerja sama dalam satu kelompok dan masing-masing mengeluarkan usaha terbaiknya.

Maka bisa disimpulkan kalau social loafing lebih cocok diterapkan untuk pekerjaan kantoran, pabrik, atau perkebunan dan pertanian.

Asal Istilah Social Loafing 


Laman Simply Psychology melansir istilah social loafing atau kemalasan sosial datang dari hasil pengamatan dan percobaan yang dilakukan insinyur pertanian Prancis Max Ringelmann (1861-1931) pada pekerja perkebunan.

Max tertarik tentang bagaimana pekerja perkebunan memaksimalkan produktivitas mereka. Dia lalu menemukan bahwa tugas yang dikerjakan secara kelompok dapat hasil lebih baik daripada kalau dikerjakan secara individu, tapi ternyata masing-masing pekerja tidak mencapai kinerja maksimalnya.

Eksperimen Menarik-Tali Ringelmann


Pada 1913 Max Ringelmann kemudian membuat percobaan dengan tali dan minta orang-orang menarik tali yang dipasang pada pengukur tekanan. Dia meminta orang menarik tali itu sendirian kemudian menarik tali bersama-sama. Dari situ dia menemukan bahwa semakin banyak orang menarik, semakin rendah potensi kinerja mereka.

Jika dua orang masing-masing mampu menarik 100 unit maka ketika menarik bersama-sama total yang mereka tarik besarnya cuma 186 dari yang seharusnya 200 unit. Lalu delapan orang yang menarik bersama-sama total hanya dapat menarik 392, setengah dari total potensi keseluruhan mereka yaitu 800.  

Max Ringelmann mengaitkan fenomena itu dengan hilangnya koordinasi dan motivasi yang jadi sebab utama social loafing.

Hilangnya koordinasi disebabkan tidak adanya kesinambungan pekerja untuk mengeluarkan kemampuan yang sama dari awal sampai selesai. Lalu hilangnya motivasi disebabkan karena tiap orang dalam kelompok membiarkan yang lain untuk menyelesaikan pekerjaan itu.

Pada 1974 beberapa peneliti mengulang percobaan Ringelmann yang sedikit dimodifikasi. Para peneliti itu membuat dua kelompok. Kelompok pertama diisi sepenuhnya oleh para sukarelawan yang menarik tali. Pada kelompok kedua yang menarik tali hanya satu orang sukarelawan, yang lain cuma pura-pura menarik tali tanpa diketahui oleh satu sukarelawan itu.

Hasilnya kelompok pertama yang seluruh anggotanya menarik tali mengalami penurunan kinerja individu paling besar dibanding kelompok kedua.

Related: Lima Sifat Kepribadian Manusia Ternyata Tidak Ada Introvert

Percobaan sama yang dilakukan tahun 2005 lalu menemukan bahwa orang-orang mengeluarkan kinerja lebih besar bila bekerja dalam satu kelompok kecil dalam situasi terdistribusi maupun terkolokasi.

Namun, orang yang berada dalam kelompok terkolokasi cenderung mengalami tekanan untuk terlihat sibuk padahal sebetulnya tidak sibuk. Makanya mereka jadi pura-pura sibuk. Sedangkan orang yang berada dalam kelompok terdistribusi tidak mengalami tekanan seperti itu.

Kelompok terkolokasi dalam konteks pekerjaan artinya berada dalam lingkungan atau divisi yang sama, rincian pekerjaan yang serupa, dan tiap orang punya jabatan/posisi yang juga sama.

Penyebab Social Loafing

 

Social loafing bisa bikin frustasi ketua kelompok karena anggota kelompoknya tidak bekerja maksimal yang menyebabkan penurunan produktivitas. Situs Very Will Mind menyebutkan salah satu penyebabnya adalah besar-kecilnya kelompok.

Berikut alasan orang lebih malas bekerja dalam kelompok daripada bekerja sendirian.

1. Skala kelompok. Makin besar kelompoknya makin anggotanya tidak produktif karena merasa tidak dibutuhkan.

Sebaliknya, orang dalam kelompok yang lebih kecil akan bekerja giat karena merasa keberadaannya penting dan akan berkontribusi lebih banyak.

2. Motivasi. Orang-orang yang tidak suka berada dalam satu kelompok yang tidak disukainya (tidak satu circle, minder dengan anggota yang lain, atau merasa anggotanya tidak bisa diajak kerja sama) cenderung tidak termotivasi.

Karena tidak ada atau kurangnya motivasi mereka jadi malas bekerja akhirnya terjadi social loafing alias kemalasan sosial.

3. Pembagian tanggung  jawab. Orang akan cenderung terlibat dalam social loafing kalau mereka tidak merasa punya tanggung jawab terhadap tugas atau pekerjaan yang harus dilakukan berkelompok.

4. Sangkaan. Saat melihat anggota kelompok bermalas-malasan, kita biasanya tidak ingin jadi orang yang mengerjakan semuanya sendiri. 

Makanya kita jadi cenderung ikut bermalas-malasan juga. Meski begitu, saat ada di dalam kelompok yang kebanyakan anggotanya berprestasi atau rajin, kita juga cenderung ingin bermalas-malasan karena beranggapan mereka dengan sendirinya akan menyelesaikan tugas itu dengan baik.

Apakah Orang yang Melakukan Social Loafing Berarti Egois?


Banyak orang yang terlalu lelah melakukan kerja kelompok karena harus menyesuaikan diri dengan karakter orang lain yang bisa saja bertolak belakang dengannya.

Related: Hustle Culture dan Tipe Karyawan yang Senang Melakoninya

Kerja kelompok juga mengharuskan banyak orang untuk saling bekerja sama. Bagi sebagian orang, kerja sama dianggap hanya buang waktu karena pekerjaan bisa selesai lebih baik dan cepat tanpa harus bekerja dengan banyak orang.

Selain itu orang pemalu dan pendiam juga kurang suka bekerja dalam kelompok karena merasa terpinggirkan hanya karena mereka tidak banyak bicara.

Jadi apakah orang yang terlibat social loafing berarti egois?

Mencegah Social Loafing

 

Kemalasan sosial dilakukan oleh banyak orang atau hampir semua orang dalam kelompok, jadi bisa berakibat tugas tidak selesai atau hasilnya alakadar.

Hal  yang dapat dilakukan untuk mencegah social loafing adalah sebagai berikut:

  1. Memberi tugas yang berbeda pada tiap anggota kelompok.
  2. Membentuk kelompok kecil dan membangun akuntabilitas individu yang artinya tiap anggota kelompok dapat dimintai pertanggungjawabannya.
  3. Menetapkan standar dan aturan yang jelas. 
  4. Mengevaluasi kinerja individu dan kelompok.
  5. Menilai prestasi atau hasil kerja masing-masing anggota sebagai individu.

***

Orang yang rajin dan giat bekerja, tapi tidak mengeluarkan kemampuan terbaiknya saat kerja kelompok bukan hal baru karena sudah diteliti sejak tahun 1913. Jadi kita tidak perlu heran kalau sekumpulan orang-orang pintar ternyata tidak bisa menghasilkan karya spektakuler saat mereka bekerja di dalam kelompok, lebih-lebih di kelompok yang sama.