Trilingga dalam konteks bahasa Indonesia dan sastra Jawa punya makna serupa walau tak sama, yaitu tiga bahasa, tiga simbol, atau tiga unsur.
Asal Kata Trilingga
Bahasa sansekerta mengartikan trilingga sebagai tiga tanda, berasal dari kata tri yang artinya tiga dan lingga yang berarti tanda atau simbol. Sementara itu kata trilingga juga dipercaya berasal dari bahasa Latin, yaitu tri dan lingua yang artinya tiga bahasa.
KBBI tidak menginformasikan asal kata trilingga dalam tesaurusnya. Jadi kalau ada yang bilang trilingga berasal dari bahasa Sansekerta, benar. Kalau dibilang dari bahasa Latin, bisa juga.
Namun, trilingga lebih pas kalau disebut berasal dari bahasa Sansekerta. Sebagian bahasa Jawa memiliki akar dari bahasa Sansekerta dan sebagian lagi dari rumpun bahasa Autronesia.
Pengaruh bahasa Sansekerta sangat kuat karena kerajaan Hindu-Buddha seperti Mataram Kuno dan Majapahit menggunakannya pada upacara keagamaan, penulisan prasasti, dan karya sastra.
Trilingga Sastra Jawa
Trilingga dalam konteks bahasa Jawa merujuk pada tiga bahasa yang digunakan dalam perjalanan kesusastraan Jawa, yaitu:
1. Bahasa Kawi atau bahasa Jawa Kuno merupakan bahasa tua yang sering digunakan dalam penulisan kitab-kitab agama dan puisi pada abad ke-9 sampai abad 15.
Penduduk di masa Majapahit juga menggunakan bahasa Kawi dalam keseharian mereka. Contoh kalimat bahasa Kawi:
Swargga dharma nganjurakรชn ugi (surga adalah tujuan utama).
Sira ta wwang luhung (engkau orang yang mulia).
2. Bahasa Jawa Tengahan, bahasa yang muncul setelah era Kawi dan digunakan dalam penulisan sastra sejak abad 15-18 atau tahun 1400-an sampai 1700-an.
Bahasa Jawa Tengahan sudah dipengaruhi oleh bahasa Arab dan Persia karena masuknya Islam. Maka tidak heran bahasa Jawa Tengahan makin luas digunakan di masa kerajaan Islam seperti Kesultanan Demak dan Kesultanan Mataram.
3. Bahasa Jawa Baru, bahasa yang digunakan sekarang ini dan digunakan dalam penulisan sastra modern.
Bahasa Jawa Baru memiliki tingkatan atau strata bahasa yaitu ngoko, krama madya, dan krama inggil yang digunakan sesuai dengan konteks sosial dan hubungan antar-pembicara.
Contoh karya sastra yang lahir dalam trilingga atau tiga periode bahasa kesusastraan Jawa adalah Nagarakertagama (Jawa Kawi), Serat Centini dan Serat Rama (Jawa Tengahan), dan Ronggowarsito (Jawa Baru).
Masih dalam budaya Jawa, trilingga juga merujuk pada istilah untuk tiga simbol atau tanda yang menunjukkan suatu kesucian atau keluhuran. Istilah ini sering digunakan dalam konteks keagamaan dan spiritual untuk melambangkan sesuatu yang sakral atau agung.
Trilingga Reduplikasi
Dalam bahasa Indonesia, trilingga merupakan reduplikasi atau pengulangan unsur suku kata sebanyak tiga kali. Contoh:
cantik-cantik-cantik
Penggunaan trilingga dalam bahasa Indonesia tergantung pada konteks dan tujuan komunikasinya. Berikut tujuan penggunaan trilingga
1. Menekankan makna. Ketika ingin menekankan suatu aspek secara berlebihan untuk memastikan pendengar atau pembaca memahami intensitasnya.
2. Menambah keindahan bahasa. Dalam karya sastra atau puisi, trilingga digunakan untuk menciptakan efek ritmis dan estetika.
3. Menyampaikan emosi, yaitu menyampaikan perasaan yang sangat mendalam atau berlebihan.
4. Memberikan penegasan yang berfungsi memperkuat suatu pernyataan atau pendapat.
Sementara itu trilingga untuk kata dar-der-dor, dag-dig-dug, was-wes-wos, atau tik-tik-tik disebut sebagai trilingga onomatope.
Onomatope adalah pembentukan kata yang menirukan suara. Dar-der-dor menirukan suara tembakan, was-wes-wos suara orang sedang berbisik-bisik, dan tik-tik-tik menirukan suara hujan atau mesin ketik.
Penggunaan trilingga bisa membuat bahasa lebih hidup dan ekspresif, tapi perlu digunakan secara pas dan tepat supaya tidak terdengar berlebihan dalam percakapan sehari-hari.
0 Comments
Posting Komentar