Gerakan Woke (bentuk lampau dari awake atau wake-bangun) berasal dari Amerika Serikat dan kini diikuti orang-orang di Eropa. Berawal dari politik untuk menghilangkan diskriminasi terhadap kulit hitam dan kaum minoritas, kini wokeness telah merambah ke berbagai konteks kehidupan.
Ilustrasi: The Economist/Juanjo Gasull |
Gerakan Woke juga sampai ke industri film. Disney membuat-ulang film Snow White (Putri Salju) pada 2023 yang pemeran utamanya berdarah Amerika latin Rachel Zegler.
Rachel ditolak penggemar Disney lantaran kulitnya agak coklat dengan wajah latino dan kurang putih untuk memerankan Snow White.
Snow White disebut white karena kulitnya seputih salju, jadi aneh kalau pemeran Snow White kulitnya tidak putih, kata mereka. Namun, alasan itu ditentang Disney dan penganut gerakan Woke. Mereka bilang siapa saja boleh memerankan Snow White meski orang Asia sekalipun.
Banyak orang AS bilang Disney telah memainkan agendanya yang pro-wokeness karena telah melenceng dari pakem film Disney yang asli. Modifikasi boleh, tapi tidak melenceng, kata mereka. Film Snow White direncanakan tayang pada 2025.
Apa itu Gerakan Woke?
Go Woke mendorong orang untuk punya keberanian dalam bersikap, berpikir bebas, dan setara dengan yang lain. Saking bebas dan setaranya mereka boleh jadi apa saja yang mereka mau. Laki jadi bencong, perempuan jadi laki, anak-anak jadi kucing, dan sebagainya.
Padahal awalnya wokeness digunakan dalam konteks politik pada tahun 1930-an untuk "membangunkan" (wake) kulit hitam di Amerika Serikat supaya sadar akan masalah sosial dan politik yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Senator Marcia Fudge memegang kaus Woke pada 2018 (dok. akun X Marcia Fudge) |
Makanya kamus Oxford mengartikan wokeness sebagai kewaspadaan dan keprihatinan terhadap diskriminasi dan ketidakadilan sosial.
Gerakan wokeness mulai bergeser pada tahun 2010-an dari pemahaman politik menjadi gerakan yang mempermainkan nalar, termasuk didalamnya dukungan terhadap lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer atau LGBTQ.
Orang-orang yang akalnya sehat yang tidak menyukai kebebasan ala LGBTQ sering dicap diskriminatif.
Gerakan wokeness juga menyebut waria, bencong, dan sejenisnya sebagai gender (jenis kelamin) ketiga. Karena itulah orang berakal sehat yang berkukuh bahwa di dunia hanya ada dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan dikatakan sebagai transphobia (fobia terhadap transgender).
Go Woke dan Black Lives Matter
Wokeness makin menggema pada 2014 berbarengan dengan gerakan Black Lives Matter. Ketika itu lelaki kulit hitam bernama George Flyod meninggal dunia karena lehernya diinjak polisi selama 9 menit dalam kondisi terborgol.
George dituduh membayar rokok di toko dengan uang palsu pecahan $20. Kasir di toko tempat George membeli rokok bilang dia langsung menduga uang yang dibayar George palsu karena ada "warna biru yang tidak biasa" di uang itu.
Apalagi sebelumnya teman George juga beli rokok pakai uang palsu. Saat George datang, si kasir berbaik sangka mungkin George tidak tahu kalau uang itu palsu, jadi waktu dia lihat "warna biru yang tidak biasa" di uang, si kasir tetap menerimanya, tapi memberitahu manajer toko.
Manajer toko kemudian memanggil George dan bilang uangnya palsu, tapi George dua kali menolaknya. Manajer lalu menyuruh pegawai lain menelpon 911.
Sampai sekarang belum jelas apakah George benar membayar rokok dengan uang palsu atau tidak.
Kematian George Floyd ditangan polisi memicu lagi gerakan Black Lives Matter yang telah ada sejak 2013.
Gerakan #BlackLivesMatter dibuat oleh tiga wanita Alicia Garza, Patrisse Cullors, dan Opal Tometi sebagai gerakan politik dalam menanggapi pembebasan George Zimmerman yang melenyapkan nyawa kulit hitam Trayvon Martin.
Black Lives Matter juga dianggap sebagai bagian dari gerakan Wokeness karena dua dari pendirinya merupakan queer. Mereka juga memperjuangkan hak dan kesetaraan LGBTQ kulit hitam.
Murid Jadi Kucing
Gerakan wokeness makin meluas tidak cuma mengkampanyekan LGBTQ, melainkan juga kehidupan manusia jadi hewan.
Ada guru di AS yang bingung karena muridnya bertindak dan berperilaku seperti kucing. Tiap ditanya selalu menjawab meong atau miauw. Anehnya guru tidak boleh marah dan menegur siswa karena dia akan dianggap melanggar hak queer. Si guru bisa dipecat.
Murid yang bertingkah jadi kucing masuk dalam kategori queer alias bukan laki, bukan perempuan, dan tidak terikat pada jenis kelamin tertentu.
Ada juga orangtua yang mempertanyakan kenapa nilai ulangan anaknya jeblok. Gurunya lalu bilang kalau si anak menjawab soal dengan meong, meong, dan meong, jadi dapat nilai nol.
Orangtuanya marah kepada sang guru, tapi untungnya kepala sekolah bisa menghindarkan guru dari tuntutan hukum. Si anak akhirnya pindah sekolah di mana dia bisa diterima sebagai "kucing".
Ada juga tante (masih dari AS) yang cerita di Reddit kalau dia menegur keponakannya waktu si keponakan seharian bertingkah sebagai anjing. Kata si Tante biar gak kebablasan.
Semua itu kedengarannya seperti cerita aneh gak masuk akal, tapi nyatanya memang seperti itu yang dihadapi banyak orang di AS dan Eropa terhadap fenomena Wokeness atau Go Woke.
Go Woke Go Broke
Dulu orang normal mempersilakan kaum LGBTQ melakukan yang mereka suka, termasuk memakai simbol pelangi untuk mewakili identitas mereka. Saking seringnya LGBTQ menggunakan simbol pelangi, sekarang pelangi jadi identik dengan mereka.
Orang Barat (Amerika dan Eropa) menyebut kaum LGBTQ sebagai kaum pelangi. Meski begitu tidak sedikit orang yang menyayangkan pencomotan pelangi oleh gerakan Wokeness yang membuat orang normal tidak lagi leluasa menggunakan gambar pelangi.
Lama-lama kampanye gerakan LGBTQ yang memakai jargon gerakan wokeness makin masif sampai ke sekolah, kampus, dan berbagai lapisan masyarakat bahkan anak-anak. Hal ini bikin resah warga AS.
Keresahan memuncak karena para penganut Go Woke mencap orang yang normal sebagai orang yang berpikiran konservatif (kuno, jadul, sempit) karena tidak menerima kenyataan adanya kebebasan dan hak LGBTQ.
Melihat gerakan Go Woke makin ngelunjak karena selalu memkampanyekan gaya hidup yang tidak masuk akal, banyak orang lalu melakukan penentangan terang-terangan. Salah satu yang berani menentang transgender adalah J.K Rowling.
Salah satu yang ditentang JK Rowling adalah penempatan atlet transgender pria ke tim olahraga wanita. JK Rowling bilang lelaki tetaplah laki-laki dan tidak bisa jadi wanita.
Apa yang dikatakan JK Rowling sebetulnya cuma secuil dari kenyataan. Di kehidupan nyata di AS, banyak laki-laki yang wajah, gaya, dan pakaiannya masih laki banget masuk ke tim olahraga perempuan.
Mereka merasa berhak masuk ke tim perempuan karena menganggap diri mereka sebagai queer. Anggota asli yang semuanya perempuan protes karena mereka tidak nyaman latihan bareng laki-laki, tapi pelatih tidak bisa berbuat apa-apa.
Pelatih tidak boleh menolak kehadiran laki-laki di tim perempuan. Kalau menolak bisa dilaporkan ke Komnas HAM karena menolak hak LGBTQ. Akhirnya tim itu bubar karena semua perempuan tulen mengundurkan diri.
Jadi keberadaan LGBTQ dan Wokeness sebetulnya meresahkan banyak orang di AS dan Eropa. Namun, mereka kuatir kena masalah kalau menentang hal tersebut.
Sebagai jalan menyuarakan keresahan, mereka memboikot perusahaan atau produk yang nyata-nyata mendukung wokeness dan LGBTQ seperti Disney, Paramount, Adidas, Victoria's Secret, Gillette, dan Snapchat.
Tercatat setidaknya 20 perusahaan besar yang bangkrut setelah mereka mendukung Wokeness. Dari situlah jargon go woke go broke (ayo bangun ayo bangkrut) dimulai.
Bebas Tidak Berarti Semaunya
Ada remaja yang tidak mandi selama 19 hari. Ibunya marah dan berkali-kali menyuruhnya mandi karena badannya sudah sangat bau. Di depan kamera yang videonya tayang di YouTube, si remaja bilang dia bebas tidak mandi sampai kapanpun karena itu haknya.
Hampir semua orang di kolom komentar menganggap gerakan wokeness sudah merusak akal sehat karena tidak lagi masuk akal. Orang-orang yang menganut paham go woke malahan terlihat konyol, memalukan, dan membodohi diri sendiri.
Memang betul, manusia diberi kebebasan jadi apa saja yang mereka mau. Jadi pilot, dokter, penulis, blogger, gubernur, bahkan presiden. Bahkan pindah agama saja boleh walau pasti dilaknat agama asal masing-masing.
Namun, kebebasan itu haruslah yang sesuai kodrat, fitrah, etika, dan norma manusia sebagai makhluk berakal. Akal sehatlah yang membedakan manusia dari hewan. Hewan saja kadang punya rasa malu dan bisa dilatih untuk bersikap baik dan tidak semaunya, mosok manusia tidak.
0 Comments
Posting Komentar