Media mainstream ternyata kalah juga sama media sosial. Biasanya kalau kita mengetikkan suatu kata kunci misalnya 'gak suka nongkrong', hasil yang keluar di Google berasal dari media berita seperti Tribunnews, detikcom, kompascom, kumparan, dan lainnya.
Sekarang hasil yang keluar di halaman pertama bersumber dari postingan medsos seperti TikTok, Instagram, Thread, Facebook, dan Quora. Berita dari media online untuk kata kunci "gak suka nongkrong" terlempar ke halaman belakang Google.
Padahal media online memposting berita baru tiap menit. Meski sebetulnya gak baru-baru amat isunya, tapi update berita per detik dan per menit yang diposting media online mestinya menjadikan mereka terdepan di mesin pencari ketika orang mengetikkan suatu kata kunci (keyword).
Satu-satunya media berita yang bertahan di halaman pertama Google adalah IDN Times. Itu mungkin karena IDN Times juga mempersilakan para penulis konten menulis di sana. Postingan di IDN Times jadi lebih beragam karena selain sebagai media berita juga sebagai blog publik.
Berapa Kali Google Memperbarui Algoritma Dalam Setahun?
Apakah medsos sedemikian powerful-nya
sampai bisa mengalahkan media berita di Google? Algoritma Google
ternyata punya andil menjadikan postingan medsos merajai halaman
pertama mesin pencari mereka.
Menurut MOZ Google memperbarui algoritma mesin pencari mereka ribuan kali dalam setahun. Google hanya memberitahu seiprit apa saja yang berubah dari algoritma tersebut.
Meski begitu, saat Google sedang tidak mengubah algoritmanya, banyaknya orang yang mencari postingan dari medsos bisa membuat perilaku penelusuran di mesin pencari jadi berubah.
Misal
ada orang mengetikkan kata kunci di Google 'tiktok Kaesang Erina jet'.
Dan ternyata ada ribuan orang yang juga mengetikkan kata kunci serupa.
Akhirnya tiap ada orang yang mengetik kata kunci itu, yang muncul adalah
postingan dari TikTok, bukan dari blog dan media online.
Masih menurut Moz, hasil penelusuran adalah fenomena real-time. Hasil penelusuran akan berubah setiap hari meskipun Google tidak mengubah kodenya karena internet terus berubah.
Salah satu contoh nyata adalah pernyataan WHO tentang COVID-19 sebagai pandemi global pada bulan Maret 2020. Pandemi mengubah perilaku penelusuran secara drastis.
Jenis Kata Kunci
Jadi benarkah algoritma Google sekarang tidak ramah artikel? Sebagian tidak keliru, tergantung kata kunci yang kita
ketikkan.
Kalau kalimat dalam kata kunci memakai bahasa baku seperti "susah diet", misalnya, maka hasil pencarian yang keluar dari media berita atau situs kesehatan seperti halodoc atau alodokter.
Yang jadi soal, minat baca orang Indonesia amat rendah karena rata-rata IQ-nya cuma 78,49 sama dengan TImor Leste dan terendah se-ASEAN. Rata-rata IQ ini menjadikan tingkat kecerdasan orang Indonesia peringkat ke 129 dari 197 negara yang diuji.
Banyak baca banyak tahu tidak baca sok tahu. Maka tidak heran kalau kosakata yang dimiliki orang kita juga terbatas.
Mereka lebih sering mengetikkan kata kunci dengan bahasa sehari-hari. Pencarian dengan keyword bahasa pergaulan membuat hasil yang muncul di mesin pencari akan bersumber dari media sosial. Sebab bahasa yang digunakan di medsos adalah bahasa sehari-hari.
Sayangnya, informasi yang berasal dari media sosial sering bias, tidak utuh, terpotong-potong, dan tidak jelas sumbernya. Ini karena si pemosting mencari viral dan follower daripada mengutamakan validitas, keakuratan, dan kesahihan informasi yang dibagikan.
Blogger, Algoritma Google, dan Content Creator
Biasanya para blogger yang blognya ber-niche (topik khusus) selalu jadi langganan di halaman 1 Google bahkan mengalahkan media online. Sekarang, mencari media online di halaman pertama saja tidak ketemu, apalagi mencari blog.
Blogger lawas yang sudah punya jaringan nampaknya harus mulai waspada. Jejaring mereka sesama blogger telah beradaptasi dengan perubahan jaman dengan pindah jadi content creator dan YouTuber.
Alhasil tidak ada lagi aktivitas blogwalking karena banyak blogger sudah tidak lagi menulis dan meng-update blognya. Blogwalking adalah kegiatan saling mengunjungi blog dan membaca artikel yang ditulis para blogger atau content writer.
Blogger yang jarang menulis membuat blognya turun peringkat di mesin pencari karena dianggap tidak aktif. Minimnya blogwalking membuat traffic kunjungan blog menurun. Akhirnya yang muncul di halaman depan Google bukan lagi blog ber-niche, melainkan postingan dari TikTok, Instagram, bahkan lokapasar seperti Shopee dan Tokopedia.
Kenapa hasil yang muncul di halaman pertama Google banyak berasal dari medsos?
1. Zaman medsos. Orang lebih banyak mencari sumber informasi yang berasal dari TikTok, Instagram, Facebook, Thread, YouTube, X, atau Quora.
2. Kata Kunci. Kalau kita ketikkan kata kunci memakai bahasa sehari-hari atau bahasa pergaulan yang tidak baku, hasil yang keluar bakal muncul dari medsos. Misal "lagi males mikir'.
Namun, kalau kita ketikkan keyword dengan bahasa baku yang akan keluar hasil pencarian adalah artikel dari media berita atau blog. Misal 'sulit fokus dan konsentrasi'
3. Perubahan algoritma. Algoritma Google berubah ribuan kali dalam setahun. Artinya apa pun bisa terjadi sesuai keperluan dan kepentingan Google.
Pemerintah bahkan bisa mengintervensi Google untuk memblokir kata kunci tertentu, minta data pengguna, atau mengubah informasi yang keluar di mesin pencari. Itu tercantum dalam laman Transparency Report dan Google Policies.
4. Fenomena real-time. Apa yang sedang dicari netizen itulah yang akan tampil di mesin pencari.
Kalau banyak kata kunci yang mengarah ke TikTok, maka laman TikToklah yang muncul di pencarian kita. Kalau banyak kata kunci mengarah ke media online, maka yang muncul di halaman pertama Google adalah situs media itu.
0 Comments
Posting Komentar