Pernah baca novel The Hunger Games karangan Suzanne Collins dan Divergent karya Veronica Roth? Novel itu sama-sama bertokoh utama remaja perempuan 16 tahun, memakai kata ganti orang pertama, berlatar distopia dan kekacauan di masa depan, serta diwarnai adegan laga dan peperangan.
Dua novel itu sama-sama laris di banyak negera dan telah diangkat ke layar lebar yang juga sukses. Akan tetapi, kita tidak berpikir bahwa Divergent yang terbit 2011 memplagiat/menjiplak The Hunger Games yang lebih dulu terbit di 2008.
Kenapa? Sebab meski banyak kesamaan, tidak ada dalam dua novel itu yang bisa disebut sebagai plagiat.
Suatu karya fiksi entah itu cerpen, puisi, atau novel bisa dibilang plagiat terhadap karya lain kalau kita terinspirasi, tapi menulis ulang mentah-mentah tanpa modifikasi seperti yang didalamnya terdapat hal dibawah ini.
1. Menerjemahkan
Penerbit di Indonesia yang ingin menerjemahkan karya fiksi asing harus minta izin ke penerbit asli tangan pertama yang mencetak buku tersebut.
Setelahnya mereka harus membayar sejumlah biaya royalti dan lisensi serta mengurus kontrak.
Melihat yang seperti itu kita bisa ambil kesimpulan kalau menerjemahkan tidak bisa sembarangan karena termasuk karya aslinya termasuk hak cipta intelektual. Kalau kita menerjemahkan tanpa mencantumkan nama penulis asli dan memberitahu di mana karya itu terbit, kita bisa dibilang melakukan plagiat.
Namun, walau sudah mencantumkan penulis asli dan sumber tayangnya, menerjemahkan mentah-mentah ternyata juga belum bisa dibilang bebas plagiarisme.
Kita cuma boleh menerjemahkan sebanyak 25% dari total cerita yang kita tulis supaya terhindar dari plagiarisme. Misal kita membuat cerpen sepanjang 2000 kata. Maka terjemahan yang kita salin hanyalah 500 kata.
Selebihnya haruslah memakai ide, kalimat, dan gaya bahasa kita sendiri. Kalau kita terinspirasi dari sebuah karya dan ingin mengarang tema, tokoh, latar, dan alur yang sama, sangat baik kita menulis dengan kalimat, gaya bahasa, dan imajinasi sendiri.
2. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik
Misal kita suka cerita horor dan terinspirasi ingin menulis seperti Risa Saraswati. Pun kita ingin menulis seperti Habiburahman El-Shirazy yang ciamik mengarang novel religi. Boleh ambil tema mereka dan latar serta karakter tokohnya, tapi masukkan unsur insintrik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik atau unsur internal adalah pengalaman, cara pandang, ideologi, kepribadian, pola pikir, karakter, dan kejadian yang langsung dialami dan berasal dari dalam diri penulisnya sendiri.
Misal, kita membuat tokoh A. Karakter dan kebiasaan A ini kita ambil dari karakter kita sendiri yang suka ngopi, bangun siang, dan suka dugem. Itu berarti kita menaruh unsur insintrik di dalam tokoh.
Unsur intrinsik juga bisa ditaruh didalam alur cerita, tempat, waktu kejadian, dan semua yang kita rasa perlu dimasukkan dalam cerita.
Sedangkan unsur ekstrinsik atau eksternal kebalikan dari intrinsik, yaitu semua pengalaman, ideologi, cara pandang, dan semua hal yang berasal dari orang dan peristiwa diluar si penulis. Jadi kita mengambil yang ada dan terjadi pada orang lain untuk kita masukkan dalam cerita.
3. Parafrasa
Parafrasa (kata tidak bakunya: parafrase) adalah menulis ulang dari artikel, cerita, dan kisah yang sudah terbit dengan mengubah kalimat dan susunan kata sehingga terlihat seperti artikel atau cerita yang baru.
Related: Parafrasa Cara Termudah Menulis Artikel Tanpa Dianggap Plagiat tapi Minim Etika
Melakukan parafrasa tidak termasuk plagiat asal kita mencantumkan nama penulis aslinya. Kalau cerpen atau artikel yang kita parafrasa tayang di internet, kita juga harus menyebut situs tempat cerpen itu dimuat.
Cerpen yang Terinspirasi
Kadang ada pengarang yang ingin diakui sebagai cerpenis lalu cari jalan pintas dengan melakukan plagiat dari cerpen luar negeri dengan dalih terinspirasi. Alih-alih terinspirasi yang dilakukannya cuma menerjemahkan dan melakukan parafrasa.
Kalau mau diakui sebagai cerpenis jempolan jalannya tidak bisa instan dan kita harus banyak membaca karya orang lain sebelum menemukan gaya sendiri. Awal-awal menulis cerpen alur kita mungkin berantakan, karakter tokohnya sama semua, dan penulisan tanda baca yang tidak sesuai EYD.
Tidak apa-apa, itu semua proses buat kita menghasilkan cerpen yang bagus. Bagus dalam artian enak dibaca, mudah dipahami, dan sudah mahir menempatkan kaidah penulisan di dalam tiap karya.
Berusaha menulis dengan kemampuan sendiri jauh lebih baik dari mengaku terinspirasi padahal cuma plagiasi.
0 Comments
Posting Komentar