Berdirinya Monumen Bambu Runcing Muntilan: Kolonel Bambang Soegeng, Santri, dan Rakyat Magelang

Sejarah berdirinya Monumen Bambu Runcing Muntilan ada hubungannya dengan perlawanan terhadap Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia melalui Agresi Militer Belanda II tahun 1948-1949.

Taman Bambu Runcing Muntilan


Monumen Bambu Runcing Muntilan dikenal juga dengan nama Taman Bambu Runcing. Selain berisi monumen berbentuk bambu runcing yang dikelilingi patung-patung para pejuang dari pelajar sampai tentara, taman ini juga dihiasi oleh permainan anak-anak seperti perosotan dan ayunan, juga jembatan kecil untuk berfoto dengan latar monumen.

Monumen Bambu Runcing Muntilan dibuat untuk memperingati perjuangan rakyat dan santri di Magelang bersama TNI mengusir penjajah Belanda di Agresi Militer II 1948-1949

Sebelum tahun 2010 Taman Bambu Runcing sering dijadikan tempat berkemah oleh sekolah yang mengadakan kegiatan Pramuka. Itu karena taman ini dulu masih kosong berupa hamparan tanah berumput. Isinya cuma ada Monumen Bambu Runcing.

Sekarang sudah ada bangku, aneka mainan anak, dan taman air mancur kecil di tengahnya. Kini Taman Bambu Runcing ini sudah berbentuk taman kota yang asri dan jadi tempat hiburan warga Muntilan untuk melepas lelah dan bersantai. 

Agresi Militer Belanda II 1948-1949

 

TNI dan rakyat Magelang mendapat informasi bahwa akan ada pergerakan tentara Belanda dari Yogyakarta dan Purworejo pada 19 Desember 1948 guna mencapai Magelang. Maka TNI dan rakyat Magelang berupaya menghambat dengan merusak jembatan Krasak. 

Sebelumnya Kolonel Bambang Soegeng yang memimpin Divisi III Jawa yang bermarkas di Kaliangkrik, Magelang menanggapi Perintah Siasat No.1 yang diperintahkan Panglima Besar Jenderal Sudirman.

Perintah Siasat No.1 itu adalah mengubah strategi pertahanan keamanan dari sistem linier diganti dengan sistem wehrkreise atau daerah pertahanan. Secara sederhana, sistem wehrkreise membagi-bagi daerah pertempuran dalam lingkaran-lingkaran yang dapat berdiri sendiri. Dalam daerah pertahanan ini, semua sumber daya yang ada diintegrasikan, baik manusia, material, dan bahan-bahan lain. Strategi wehrkreise ini kemudian dilengkapi dengan taktik perang gerilya.

Kolonel Bambang Sugeng segera membentuk tiga wilayah pertahanan (wehkreise). Wilayah pertahanan I yang meliputi Banyumas, Pekalongan, dan Wonosobo dikomandoi oleh Letkol Muhammad Bahrum. Wilayah pertahanan II meliputi Kedu dan Kendal di bawah komando Letkol Sarbini. Sementara, wilayah pertahanan III meliputi wilayah Yogyakarta dikomandoi oleh Letkol Soeharto.

Sayangnya,  perusakan jembatan Krasak pada 19 Desember 1948 tidak menghambat Belanda karena peralatan dan senjata yang terbatas. Maka pada 20 Desember 1948 Belanda dengan mudah masuk ke Magelang tanpa perlawanan. Rakyat Magelang mengungsi dan mencari perlindung ke luar Magelang. Namun sebelumnya mereka merusak jembatan Elo untuk menghambat Belanda. Akan tetapi hasil yang didapat sama seperti di Krasak.

Rakyat yang masih tersisa di kota kemudian membakar dan meruntuhkan gedung  pemerintahan, sekolah, dan fasilitas militer supaya tidak digunakan Belanda. Ketika Belanda masuk kota, yang tersisa cuma bangunan yang runtuh dan terbakar.

Pada 22 Desember 1948 TNI memerintahkan rakyat keluar dari Magelang karena jembatan Progo akan dihancurkan. Belanda menduduki Magelang selama setahun. Selama itu pula hampir setiap hari terjadi serangan terhadap  markas dan penghadangan tentara Belanda yang membuat Belanda merasa tidak aman.

Selama pendudukan Belanda di Agresi Militer II 1948-1949 rakyat Magelang melakukan banyak serangan mendadak, merusak gedung dan jembatan, serta menebang pohon untuk menghadang datangnya tentara Belanda dengan bimbingan pasukan TNI. Rakyat juga menyediakan dapur umum dan mendirikan posko (pos komando) bagi TNI dan gerilyawan.

Magelang dan Serangan Umum 1 Maret 1949


Serangan Umum 1 Maret 1949 diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan dipimpin oleh Penglima Besar Angkatan Perang RI Jenderal Sudirman pada pukul 04.00 di Yogyakarta. Waktu itu Yogya merupakan ibu kota RI karena situasi Jakarta sudah tidak kondusif untuk dijadikan ibu kota.

Serangan ini bertujuan menunjukkan pada seluruh rakyat Indonesia dan dunia bahwa republik masih berdiri walau terus-menerus digempur Belanda.

Kolonel Bambang Sugeng kemudian membuat Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949 yang memerintahkan penyerangan serentak pagi hari di seluruh wilayah Divisi III (tiga wilayah pertahanan) bersamaan dengan serangan di daerah Solo oleh Divisi II (Jawa Tengah bagian barat) pada 1 Maret 1949.

Wilayah pertahanan I di bawah Letkol Bahrum dan wilayah pertahanan II di bawah Letkol Sarbini berfokus untuk menyerang wilayah sekitar Yogyakarta hingga Magelang. Strategi ini bertujuan untuk menghalangi pasukan Belanda dari sekitar wilayah Yogyakarta masuk ke kota. Di Magelang sendiri, terdapat salah satu batalion terbaik Belanda yang diperkuat oleh satuan tank dan panser yang sewaktu-waktu dapat digerakkan.

Sementara, wilayah pertahanan III di bawah komando Letkol Soeharto menyerang langsung ke jantung Kota Yogyakarta. Serangan umum di dalam Kota Yogyakarta dimulai pada pukul 06.00 pagi bersamaan dengan bunyi sirine pagi tanda berakhirnya jam malam.

Repro foto Bambang Soegeng di Tokyo saat menjabat KSAD (historia.id)

Kedudukan Belanda yang sudah terdesak di Magelang karena serangan terus-menerus dari TNI dan gerilyawan akhirnya makin terdesak setelah adanya Serangan Umum 1 Maret 1949 itu. Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI lewat perjanjian Roem-Royen.

Selama Agresi Militer Belanda II 1948-1949 rakyat Magelang hanya bersenjatakan bambu yang diruncingkan untuk melawan tentara Belanda. Walau bersenjatakan alat sederhana semangat rakyat Magelang tidak pernah padam sampai Belanda benar-benar terusir dari Indonesia. 

Saat itu bukan cuma rakyat yang melawan Belanda, para santri juga termasuk. Konon pesantren yang memimpin dan menggerakkan santri dari pesantren lain untuk membantu TNI selama Agresi Militer Belanda II adalah Pesantren Tegalrejo. 

***

Itulah yang melatarbelakangi berdirinya Monumen Bambu Runcing di Muntilan.

Monumen Bambu Runcing Muntilan dirancang dan dibuat pada tahun 1978-1980 oleh salah satu maestro patung kebanggaan Kabupaten Magelang. yaitu Doelkamid Djayaprana.

Anak SD membuat video perjuangan berlatar Monumen Bambu Runcing Muntilan 

Sementara itu, Kolonel Bambang Soegeng wafat pada 2016 dengan pangkat terakhir Mayjen (anumerta). Jenazahnnya dimakamkan di pekuburan dekat Sungai Progo Magelang. Namanya diabadikan jadi nama salah satu jalan protokol di Kabupaten Magelang. Beliau merupakan KSAD ketiga dalam sejarah Indonesia.

0 Comments

Posting Komentar