June membaca ulang
percakapan WhatsApp yang telah berlangsung sejam lalu antara dirinya
dengan Sidiq. Tiada kalimat buaian, apalagi rayuan, June
menginginkannya setengah mati—tapi semua hanya tentang pekerjaan.
Manajer baru yang
harusnya diangkat dari internal departemen. Kenaikan gaji Boy yang
bocor yang nampaknya disengaja oleh Boy sendiri dengan membiarkan
email di komputernya terbuka. Tidak ada lagi kopi dan teh di pantry
untuk penghematan. Dan lain sebagainya yang boring dan ngapain
diomongin di WhatsApp, menurut June.
June dan Sidiq satu
ruangan walaupun berbeda divisi. Itu sebab June berharap supaya
percakapan di WhatsApp dengan Sidiq lebih pribadi, tidak urusan
kantor lagi, kantor lagi.
Sayang, harapan June tidak terwujud karena
Sidiq lalu mengucapkan selamat beristirahat yang diakhiri dengan
emotikon kiss, membuat June agak berbunga.
June menutup jendela
percakapan Sidiq karena pesan dari Jeni, yang mengonfirmasi
kehadirannya ke galeri, masuk ke WhatsApp.
Konfirmasi itu dijawab
June dengan huruf o dan k.
Besok aku ajak adikku
juga. Biar dia lihat dunia di luar kampusnya, tulis Jeni di
WhatsApp.
Dia mau? Ketik
Jeni.
Harus mau. Besok Sabtu
mumpung dia libur. Kalau tidak, dia bakal bertelur di kampus saking
semua waktunya habis di sana, balas Jeni.
June membalas dengan
huruf o dan k lagi karena sesungguhnya bukan pesan dari Jeni yang dia
harapkan. Toh kunjungan ke pameran di galeri sudah jauh-jauh hari
mereka rencanakan, jadi tidak perlu konfirmasi lagi.
Selepas berbalas pesan
dengan Jeni, June membaca ulang sekali lagi percakapannya dengan
Sidiq. Ternyata Sidiq sedang online!
June sigap mengetik.
Belum tidur?
Ditunggunya sedetik, dua
detik, lima detik. Sidiq masih online, tapi belum membalas
pesannya. Centangnya belum biru, yang artinya Sidiq sedang bercakap
dengan orang lain.
Masih, balas Sidiq
di detik ke-20.
Besok ada acara? Mau
temani aku ke galeri seni rupa di Bojong?
June agak menyesali
dirinya nekat mengajak Sidiq ke tempat yang belum tentu Sidiq suka.
Mau. Jam berapa?
Kujemput atau ketemu di sana?
June terlonjak nyaris
jatuh dari tempat tidurnya. Dia membaca sekali lagi balasan dari
Sidiq, memastikan tidak salah baca.
Sidiq mau!
Jam 10. Ketemu di
sana, ya. Soalnya enggak enak sudah janjian sama teman.
June mengetik sambil
mengeluarkan aura rindu dan manja sekuat tenaga, berharap Sidiq
merasakannya lalu dengan suka cita menawarkan untuk menjemput.
Aku akan ada di sana
jam 10. Sampai besok, balas Sidiq.
“Cuma gitu aja?!”
June memaki dalam hati, tidak puas.
Lalu Sidiq tidak lagi
online. June masih ingin berbalas pesan dengannya, tapi tiga
menit ditunggu Sidiq tidak juga online lagi. Maka dengan
keteguhan hati June mengirim pesan lagi.
Memang kamu tahu
tempat galerinya di Bojong sebelah mana?
Tahu.
Balasan dari Sidiq yang
lebih singkat dari proklamasi kemerdekaan RI membuat June kecewa
setengah mati, walau dia tahu kalau Sidiq memang sering menjawab
singkat seperti itu.
June memberi emotikon
bergambar senyum lagi kepada Sidiq. Tidak berbalas. Dia menggeser ke fitur
Status untuk melihat apa yang dipos teman-temannya guna mengusir
kecewa karena harapannya berlama-lama berbalas pesan dengan Sidiq
tidak terwujud.
Ternyata ada status baru
muncul dari Sidiq. Mata June membulat senang. Sidiq mengepos status
berupa kartun perempuan dan kata-kata mutiara tentang wanita salihah
yang jadi idamannya.
June ingin mengomentari,
tapi gengsinya lebih tinggi dari rindunya, apalagi Sidiq tadi cuma
menjawab alakadar. Bagaimana bila komentarnya malah tidak dibalas?
Pukul sebelas malam June
jatuh tertidur dengan ponsel terdekap di dadanya.
Sabtu pukul sepuluh pagi
Sidiq datang lima menit lebih awal dari June, Jeni, dan adik Jeni.
Dia menunggu berdiri di depan pintu galeri dan bersandar pada tiang
besar. Tangan kirinya dimasukkan pada saku jeansnya sementara tangan
kanannya memegang ponsel.
June senang bukan
kepalang. Jantungnya bedebar dan mulutnya ingin terus menyunggingkan
senyum. Persis remaja yang baru merasakan pengalaman cinta monyet
dengan lawan jenis.
Otot lengan Sidiq tampak
kokoh dibalik kaos oblongnya, membuat June rasanya ingin bersandar.
Wajah Sidiq tidaklah
tampan, tapi juga tidak jelek. Kulitnya putih. Meskipun tinggi
badannya tidak termasuk kriteria lelaki idamannya, June menyukai
pembawaan Sidiq yang tenang, senang bercanda, dan mudah bergaul
dengan orang bermacam karakter.
Sidiq orang paling lama
yang bekerja di divisinya, yang terkenal punya turn over tinggi,
karena yang lain hanya bertahan satu tahun saja bekerja dibawah
direktur yang sulit. Sidiq menjadi tempat curhat para karyawan probie
yang merasakan tekanan tanpa batas. Itu menjadikan Sidiq kepanjangan
tangan para karyawan sekaligus orang kepercayaan direktur.
Setelah Sidiq dan Jeni
saling berkenalan dan berbasa-basi tentang lalu lintas yang
tumben-tidak-macet, mereka masuk ke galeri, diekori adik Jeni
yang menggerutu tentang betapa tidak menariknya melihat batu-batu
dipahat.
June melihat Sidiq tidak
kesulitan menikmati seni pahat, bahkan yang oleh orang awam dianggap
vulgar berupa patung putri duyung berkemben dengan lelaki yang nyaris
telanjang. June agak tercengang. Andai Sidiq pura-pura menikmati,
maka kepura-puraan itu sempurna.
Sementara adik Jeni juga
tampak tertarik memandangi pahatan berbentuk lelaki bertubuh
asimetris, walau setelahnya dia mengeluh betapa anehnya bentuk-bentuk
seni yang ada di pameran itu.
Harapan June mengobrol
selain urusan pekerjaan dengan Sidiq akhirnya tercapai.
Sidiq bertanya mengapa
June menyukai seni pahat. June bertanya apa yang membuat Sidiq mau
menemaninya ke pameran.
Sidiq menanyakan berapa lama June bersahabat
dengan Jeni. June menanyakan apakah Sidiq juga sering hangout
bersama adiknya seperti Jeni atau tidak.
Begitulah mereka bertukar
tanya sembari melihat-lihat aneka bentuk pahatan kontemporer.
Pukul setengah satu siang
Sidiq pamit meninggalkan pameran karena ada janji makan siang dengan
orang lain.
June kecewa karena
sebetulnya dia juga berencana mengajak Sidiq makan siang.
Sidiq dan June berpisah
di depan galeri, betapapun June telah merayu dan berakting kesepian
supaya Sidiq mau makan siang dengannya, tidak menggugah Sidiq.
Pekan berikutnya June
hanya tiga kali berbalas pesan dengan Sidiq. Mereka tidak bertemu
lagi di kantor karena Sidiq dipromosikan jadi asisstant vice
president yang membuatnya pindah ruangan ke lantai 5.
June kemudian juga sibuk
bersama tim humas untuk pembukaan kantor agen baru dan gathering
bersama para wartawan. Pekerjaan yang menyita waktu di Makassar dan
Palembang membuat June melupakan Sidiq sejenak.
Tiga pekan berikutnya, di
kamarnya yang beraroma lavender, June berniat menanyakan kabar dan
pekerjaan Sidiq di jabatan barunya, tapi June tergerak untuk lebih
dulu menggeser fitur WhatsAppnya ke bagian Status sebelum menyapa
Sidiq.
June hampir merasa
jantungnya copot melihat status WhatsApp Sidiq berisikan foto dirinya
sedang berdiri berhadapan dengan perempuan berjilbab ungu yang
bajunya berwarna sama dengan Sidiq.
Jantung June sekarang
copot betulan saat membaca keterangan foto “Bismillah. Melamarmu
menuju keluarga sakinah insyaallah.”
Dilemparnya ponsel ke
lantai dan June sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan bantal.
0 Comments
Posting Komentar