Perjanjian pranikah wajar dilakukan oleh pasangan nonmuslim untuk memisahkan harta bawaaan laki-laki dan perempuan supaya tidak tercampur dengan harta bersama.
Selain itu, perjanjian pranikah juga mengatur pembagian penghasilan selama pernikahan dan pembagian harta bersama jika terjadi perceraian.
Namun, perlukan pasangan suami-istri yang beragama Islam membuat perjanjian pranikah mengingat sudah ada Kompilasi Hukum Islam dan UU Perkawinan?
Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah himpunan hukum Islam yang disusun berdasarkan ijtima ulama yang dasarnya adalah Al-Qur'an dan Hadis dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menjelaskan bahwa "Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat miitsaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah."
KHI sifatnya melengkapi UU Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi tidak ada tumpang tindih antara KHI dan UU Perkawinan,
Batas Usia Minimum Calon Pengantin
Batas usia minumum ditetapkan supaya saat menikah, kedua calon pengantin bukan cuma siap fisiknya saja, melainkan psikisnya juga. Kesiapan fisik dan psikis untuk menghindarkan terjadinya perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga juga risiko kesehatan pada perempuan ketika dia hamil dan melahirkan.
Hanya saja ada perbedaan dalam usia minimum pasangan pengantin, Pada UU No. 16 Tahun 2019 disebutkan usia minimal calon pengantin pria dan wanita adalah 19 tahun, seperti yang dikutip dari lama Kemenag.
Sedangkan pada Kompilasi Hukum Islam, batas usia minumum untuk calon pengantin laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
Walau begitu, yang dipakai oleh Kantor Urusan Agama (KUA) adalah UU Perkawinan, bukan Kompilasi Hukum Islam. Maka calon pengantin perempuan yang belum berusia 19 tahun harus dapat dispensasi dari pengadilan agama supaya diizinkan menikah.
Dispensasi yang telah diputuskan Pengadilan Agama inilah yang jadi landasan KUA untuk menikahkan perempuan yang belum berusia 19 tahun.
Kenapa KUA memakai UU Perkawinan alih-alih Kompilasi Hukum Islam?
Walau usia minimal calon pengantin adalah 19 dan 16 tahun, tapi pada Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam, batas usia anak untuk bisa disebut dewasa adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut belum pernah melakukan perkawinan.
Jadi KUA bukan saja mengikuti UU Perkawinan, tapi juga berada di tengah antara KHI dan UU Perlindungan Anak yang menyebut bahwa batas usia anak untuk disebut dewasa adalah 18 tahun.
Terus terang, perbedaan batas usia dewasa ini bikin bingung orang awam. Kenapa tidak disamakan saja? Apa mungkin perbedaan ini sengaja dibuat untuk mengakomodir kasus hukum yang berbeda yang dialami anak? Entah.
Harta Bersama
Harta bersama adalah semua uang, barang, investasi, tabungan dan usaha yang dihasilkan selama pasangan terikat dalam pernikahan. Sering disebut juga sebagai harta gono-gini.
Pada fikih hukum Islam (Al-Qur'an, Hadis, dan mahzab) tidak dikenal adanya harga bersama dalam perkawinan. Namun, di Indonesia ada harta bersama yang merupakan hasil ijtihad ulama-ulama Indonesia.
Hal itu tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 85-Pasal 97 disebutkan bahwa harta perkawinan dapat dibagi atas:
- Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum perkawinan;
- Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum perkawinan;
- Harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi harta bersama suami istri;
- Harta hasil dari hadiah, hibah, waris, dan shadaqah suami, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan;
- Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah istri, yaitu harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan
Sedangkan menurut Pasal 35 UU Perkawinan menyebut bahwa harta dalam perkawinan (rumah tangga) dibedakan menjadi:
- Harta yang diperoleh selama perkawinan yang menjadi “harta bersama”; dan
- Harta bawaan masing-masing suami istri, baik harta tersebut diperoleh sebelum menikah atau dalam pernikahan yang diperoleh masing-masing sebagai harta pribadi, contohnya, hadiah atau warisan. Harta pribadi sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dengan demikian, walau
si istri tidak bekerja dan tidak punya nafkah sendiri, dia tetap berhak
atas harta gono-gini andai terjadi perceraian dengan suaminya. Pun jika suami tidak bekerja dan istrilah si pencari nafkah, dia juga berhak atas harta bersama andai mereka bercerai.
Suami yang tidak bekerja, tapi tetap dapat harta inilah yang paling sering diperselisihkan oleh keluarga besar istri, terlebih kalau perceraian terjadi karena istri meninggal. Siapalah yang mau uang, perhiasan, dan barang hasil kerja istri dibagi ke suami yang modal ko**** doang alias mokondo.
Jika perselisihan harta bawaan antar-keluarga berlarut-larut, mereka bisa membawanya ke Pengadilan Agama. Hakim di Pengadilan Agama akan mempertimbangan pembagian dan pemisahan harta tersebut sesuai UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Menikah Adalah Ibadah
Dalam ajaran Islam menikah termasuk ibadah. Suami yang mencukupi semua kebutuhan istri sama artinya dia sedang beribadah walau memang wajib baginya menafkahi anak-istri.
Istri yang mentraktir suami dengan gajinya juga ibadah baginya walau tidak wajib dia memberi nafkah dan uang hasil keringatnya kepada suami.
Istri harus minta izin kepada suami jika ingin menggunakan uang hasil pemberian nafkah suami untuk keperluan di luar rumah tangga.
Namun, istri berhak tidak minta izin kalau uang itu adalah hasil keringatnya sendiri. Dia berhak menggunakan uangnya sendiri untuk keperluan apapun (yang baik, bukan untuk membiayai perselingkuhan, misalnya).
Landasan menikah adalah ibadah itu juga yang membuat suatu keluarga tenteram dan bahagia. Apalagi soal harta sudah diatur dalam UU Perkawinan Nomor 16 dan Kompilasi Hukum Islam.
Maka sebenarnya tidak perlu ada perjanjian
pranikah pada pasangan yang beragama Islam.
0 Comments
Posting Komentar