Filter bubble atau gelembung filter adalah keadaan isolasi intelektual ketika algoritma situs web atau media sosial menebak informasi apa yang ingin dilihat pengguna berdasarkan riwayat penelusuran.
Selain dari riwayat penelusuran, algoritma di website atau media sosial "menebak" berdasarkan lokasi dan kebiasaan klik yang sering dilakukan pengguna.
Cara Kerja Filter Bubble
Algoritma
dalam internet, termasuk di media sosial dan mesin pencari, menyaring
informasi dan menunjukkan hanya yang kita sukai saja.
Maka
hasil pencarian tiap orang bisa berbeda walau mengetikkan kata kunci
yang sama di Google. Algoritma Google akan menyuguhkan informasi
tergantung riwayat pencarian, lokasi, dan perilaku kita di dalam
internet.
Contohnya, saat kita penasaran tentang khilafah lalu mencari info soal itu di Google, Twitter, dan Facebook. Esok harinya karena masih penasaran tentang sistem khilafah, kita mencarinya lagi.
Saat itu itulah algoritma di Google, Twitter, dan Facebook
bekerja merekam hasil penelusuran, apa yang kita baca, dan ada dimana
kita saat mengakses informasi itu.
Kalau kita cenderung
lebih sering melihat dan membaca tentang keunggulan khilafah, maka
hasil penelusuran yang akan ditampilkan lebih banyak tentang kebenaran
dan keunggulan khilafah. Pun sebaliknya kalau kita lebih sering melihat
dan membaca tentang efek buruk khilafah untuk Indonesia, maka yang akan
ditampilkan di internet adalah informasi seperti itu.
Karena itulah istilah filter bubble disebut juga sebagai bingkai ideologis.
Secara
tidak langsung dan tidak disadari, seseorang dapat menjadi fanatik atau
membenci suatu hal berdasarkan apa yang dia lihat dan baca
terus-terusan di internet.
Asal Mula Istilah Filter Bubble
Istilah gelembung filter dibuat oleh aktivis internet Eli Pariser sekitar tahun 2010 dan dibahas dalam bukunya tahun 2011 dengan nama yang sama.
Menurut Pariser, ketika perusahaan internet berusaha menyesuaikan layanan mereka (termasuk berita dan hasil pencarian) dengan selera pribadi kita, didalamnya ada konsekuensi berbahaya yang tidak diinginkan, yaitu filter bubble, yang mana kita cuma dapat informasi yang itu-itu saja.
Hal yang begitu tidak bakalan memperluas wawasan karena kita terjebak pada wawasan yang itu-itu saja dan cuma melihat hal-hal yang sudah kita senangi tanpa adanya kemungkinan kita menyukai informasi dari sisi lain.
Filter Bubble untuk Iklan
Filter bubble juga digunakan untuk kepentingan para pemasang iklan di aplikasi, media sosial, dan situs web. Apa yang sering kita cari dan kita baca di internet akan terbaca oleh algoritma. Algoritma lalu akan menampilkan iklan sesuai dengan perilaku internet kita.
Misal, kita sering mencari info tentang cara melangsingkan tubuh, maka iklan yang muncul di medsos, aplikasi, atau website yang sedang kita kunjung adalah obat pelangsing.
Pun kalau kita beberapa kali mengakses atau mengunduh lagu, maka iklan yang muncul adalah iklan aplikasi streaming atau paket musik dari provider simcard.
Dampak Buruk Filter Bubble
Hal ini terjadi karena filter bubble hanya menyediakan informasi hanya yang kita sukai, walaupun informasi itu sebenarnya bohong atau palsu.
Pikiran yang terpapar berita bohong terus-terusan bisa jadi sesat. Sesat berpikir dapat mencetus sesat logika. Akhirnya kita jadi merasa paling benar.
2. Memilih pemimpin yang salah. Contoh nyata dampak buruh filter bubble terjadi di Amerika Serikat (AS).
Pada pemilihan presiden 2017 Pendukung Hillary Clinton di dunia nyata jauh lebih banyak. Hasil survei juga selalu memenangkan Hillary, tapi pendukungnya lantas terlena.
Di medsos dan internet, mereka selalu dapat informasi tentang keunggulan Hillary, tapi tidak melihat bahwa pendukung Trump begitu masif dan giat memakai medsos untuk menyebarkan berita bohong.
Karena terlena dan menganggap Hillary pasti menang, banyak pendukung yang tidak memberikan suaranya karena memilih berlibur. Situasi makin suram karena penghitungan suara di AS memakai sistem electoral college di mana calon presiden yang dapat suara terbanyak tidak otomatis jadi pemenang.
3. Menyuburkan paham radikal dan ekstremisme. Melansir kompas.com, sejumlah pengamat terorisme mengatakan bahwa internet dan media sosial berperan besar dalam menyebarkan paham radikal termasuk khilafah.
Paham khilafah sudah dilarang di Indonesia karena dianggap melakukan makar terhadap ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul "Simak Sistem, Tahapan dan Perhitungan Suara Pilpres AS 2020", Klik selengkapnya di sini: https://kabar24.bisnis.com/read/20200220/19/1203731/simak-sistem-tahapan-dan-perhitungan-suara-pilpres-as-2020.
Author: Denis Riantiza Meilanova
Editor : Nancy Junita
Download aplikasi Bisnis.com terbaru untuk akses lebih cepat dan nyaman di sini:
Android: http://bit.ly/AppsBisniscomPS
iOS: http://bit.ly/AppsBisniscomIOS
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul "Simak Sistem, Tahapan dan Perhitungan Suara Pilpres AS 2020", Klik selengkapnya di sini: https://kabar24.bisnis.com/read/20200220/19/1203731/simak-sistem-tahapan-dan-perhitungan-suara-pilpres-as-2020.
Author: Denis Riantiza Meilanova
Editor : Nancy Junita
Download aplikasi Bisnis.com terbaru untuk akses lebih cepat dan nyaman di sini:
Android: http://bit.ly/AppsBisniscomPS
iOS: http://bit.ly/AppsBisniscomIOS
Ini juga yang jadi sebab para pendukung NKRI ramai di medsos menyamai ramainya propaganda khilafah dan radikalisme.
Bila tidak dilampaui, minimal diimbangi, maka yang terus muncul di algoritma internet dan media sosial adalah khilafah, ekstremisme, dan radikalisme. Orang kemudian akan menganggap itu sebagai kebenaran.
Apakah Filter Bubble Hanya Terjadi di Internet?
Tidak.
Filter bubble juga terjadi di suatu komunitas. Misal, di perumahan
mewah, sekolah elit, atau komunitas keagamaan. Anggota dari kelompok,
kompleks, atau komunitas tersebut akan menganggap bahwa hidup seperti
yang mereka jalani itulah yang paling baik.
Jadi, saat mereka
dihadapkan pada kenyataan yang bertolak belakang dari apa yang mereka
lihat dan alami sehari-hari, mereka akan menolak dan menutup diri dari
kenyataan itu.
Namun, di sisi media ada kecenderungan orang yang menonton berita di televisi dan radio tidak mudah terperangkap filter bubble.
Ini dikarenakan televisi dan radio mainstream tidak menyiarkan berita sesuai selera kita, melainkan berdasarkan fakta yang sedang terjadi, kecuali bila radio atau televisi itu memang merupakan media propaganda yang sengaja menyebarkan suatu paham atau pandangan.
***
Makin sering mengakses informasi itu-itu saja, makin mudah kita terperangkap filter bubble yang membuat wawasan kita tidak berkembang dan pola pikir malah jadi makin sempit.
Makanya
tidak heran kalau pendukung radikalisme dan ekstremisme amat susah
untuk kembali ke NKRI karena telah terperangkap filter bubble.
Penyebabnya karena yang mereka akses itu-itu saja yang akhirnya dianggap
sebagai kebenaran.
0 Comments
Posting Komentar