Cerpen: Semangkuk Sup Hangat

Semangkuk Sup Hangat 

Pengarang: Inong Islamiyati

Aku suka sekali sup buatan ibu. Ibuku pandai memasak dan masakan ibu yang sangat aku sukai adalah sup sayur spesial. 

Aku ingat saat pertama kali makan sup spesial itu. Hari itu adalah hari kepergian ayah, aku menangis dalam selimut karena tidak percaya ayah telah pergi meninggalkan kami. Kakakku, Nara, berulang kali membujuk aku untuk makan, tapi aku tidak mau.

“Sudah, Nara, biar Ibu saja,” kata Ibu, “Nara tunggu di meja makan saja, ya."

Di atas meja sudah ada semangkuk sup sayur dengan tambahan makaroni dan sosis ayam. Hangat. Rasanya enak sekali. Aku sampai ingin menangis karena teringat Ayah sekaligus merasakan kelezatan yang penuh kasih sayang dari Ibu.

“Nayla tenang saja, ya. Ayah justru akan sedih kalau Nayla sedih. Makan yang banyak dan belajar yang rajin supaya Ayah bangga. Bagaimana supnya? Enak, kan?” tanya Ibu.

“Iya, Ibu, enak sekali.”

Ibu adalah orang yang berharga bagiku dan Kak Nara. Ibu menghidupi keluarga kami dengan berjualan kue keliling dan menjadi buruh cuci-setrika baju para tetangga. 

Kami sebagai anak tentu tidak ingin mengecewakan Ibu. Berkat usaha keras ibu, Kak Nara berhasil lulus kuliah dan mendapat pekerjaan di BUMN terkenal. Kebetulan aku mendapat beasiswa untuk kuliah di kota yang sama dengan kantor Kak Nara bekerja. 

Kami sering mengajak Ibu untuk tinggal bersama, tapi Ibu selalu menolak.

“Kalian saja yang tinggal di kota. Ibu ingin menjaga rumah peninggalan ayah kalian ini. Lagi pula Ibu lebih senang di desa,” ujar Ibu dengan nada penuh keyakinan.

Akhirnya kami pergi meninggalkan Ibu. Saat libur kuliah atau long weekend, aku selalu menyempatkan diri pulang ke rumah Ibu. Setiap kali pulang, aku selalu rindu sup buatan Ibu. Sup hangat yang menyemangati aku. Walaupun aku selalu berusaha membuat sup itu sendiri, cita rasanya tidak seenak buatan Ibu.

Empat tahun berlalu, aku membawa kabar gembira kalau aku mendapat pekerjaan di perusahaan keuangan di Jakarta. Aku tidak sabar memberi kejutan untuk Ibu. Maka setelah berkemas aku pulang kampung. Seperti biasa Ibu memeluk aku erat dan mencium pipiku.

“Ibu sehat?” tanyaku sambil menaruh berbagai oleh-oleh di atas meja makan.

“Alhamdulillah sehat, Nak. Kamu belum makan ya? Makan sup buatan ibu dulu, ya. Tetapi, maaf Nayla sayang, Ibu mau istirahat sebentar. Hari ini Ibu lelah sekali,” kata Ibu.

“Iya, Ibu, tidak apa-apa," jawabku.

Aku memperhatikan Ibu dari belakang. Tampak punggungnya sudah agak membungkuk. Aku memperhatikan sekeliling dan tampak kalau rumah ini kurang bersih.

Yang mengejutkan, sup spesial buatan Ibu ini terasa hambar. Mungkin Ibu benar-benar lelah, bahkan untuk memasak sup saja beliau kelelahan.

Aku baru menyadari Ibu semakin menua. Bagaimana mungkin aku tega meninggalkan Ibu sendirian? 

Seketika aku bimbang. Tetap mengambil pekerjaan di Jakarta atau kembali ke desa menemani Ibu. Ibu bilang Ayah pasti bangga kalau aku sukses, tapi kalau sukses itu diraih dengan membiarkan Ibu rasanya aku tidak sanggup.

Malam menjelang, Ibu yang sudah terbangun duduk bersamaku di ruang tamu.

“Kapan kamu wisuda, Nayla?”

“Minggu depan, Bu. Ibu bisa datang, kan?”

“Iya, Ibu akan datang. Ngomong-ngomong kamu nanti mau kerja apa, dengan nilaimu itu Ibu yakin kamu akan dapat pekerjaan bagus di kota.”

Aku menggeleng, “Nayla mau bekerja di sini saja, Ibu. Nayla mau bersama Ibu.”

“Kamu yakin,Nayla? Sayang, lho, nilaimu itu.”

“Bu, bagi Nayla pekerjaan manapun akan jadi yang terbaik bagi Nayla. Sekarang bagi Nayla yang penting adalah menjaga Ibu. Ibu sudah berjuang keras menghidupi Nayla dan Kak Nara. Biarkan Nayla sekarang yang merawat Ibu.”

Ibu memeluk aku dari samping. Hangat dan erat. Aku tidak menyesal menolak tawaran pekerjaan itu. Yang penting bagiku sekarang adalah menjaga Ibu. Karena Ibu telah memberikan aku kasih sayang yang hangat. Sehangat sup buatannya.

***

Inong Islamiyati tinggal di Ciputat, Tangerang Selatan. Visinya saat ini adalah "life with a miracle".


0 Comments

Posting Komentar