Cerpen: Raden Mas

Semua orang Jawa tahu kalau ada yang punya nama depan Raden Mas berarti termasuk bangsawan. Raden Mas muda yang sedang duduk tepekur di halaman rumahnya ini keturunan keluarga keraton Solo dari garis ayahnya.

Ibunya kebetulan juga masih berdarah bangsawan Bali. Jadi, darah Raden Mas mungkin berwarna biru kental, bukan sekedar darah biru.Raden Mas memandangi bergantian pohon pepaya, mangga, dan rambutan sambil menghisap rokok lalu menghembuskan asapnya sampai asap itu memendar dan hilang.

Tetangga satu dusunnya ada yang ketiban rejeki dapat duit ratusan ribu dari hasil beli kupon berhadiah. Raden Mas kepingin juga, apalagi warungnya sepi terus. Pembeli setianya cuma dua keponakan istrinya yang rumahnya sepelemparan batu dari warungnya.

Warung kecil Raden Mas menjual alat tulis, rokok, dan sembako. Menyediakan pula aneka minuman dan mi instan untuk santap di tempat. Tapi tidak setiap hari ada yang beli. Jadi waktu ada tetangganya yang cuma modal dua puluh ribu dapat untung jadi tiga ratus ribu, Raden Mas kepingin juga.

Kala menikmati bulan madu bersama istrinya, Raden Mas berbangga hati karena tidak keluar duit seperak pun waktu menikah. Mas kawin dibeli istrinya, seserahan disediakan ibu tirinya, katering dan sewa macam-macam untuk pesta diadakan oleh kakak dan adik istrinya.

Raden Mas juga bangga karena hampir semua keluarga mertuanya kagum padanya yang ningrat. Lebih kagum lagi pada kemampuannya mengobati orang yang kena ilmu hitam. 

Sayangnya, sekarang orang yang berobat padanya sudah tidak ada. Semua orang punya BPJS dan yang tidak punya pun memilih ke puskesmas atau mantri.

Meski yakin keluarga mertuanya masih kagum padanya dan mau melayani hajat hidupnya, tapi Raden Mas merasa perlu punya duit dari hasil usaha sendiri. Warung yang dia punya ini modal dari duit istrinya.

Maka pergilah Raden Mas ke orang yang menjual kupon berhadiah. Dibelinya empat kupon seharga empat puluh ribu yang uangnya diambil dari laci warung. Kalau tembus dia yakin bakal dapat lima ratus rib.

Sepulangnya dari beli kupon berhadiah, Raden Mas duduk tekun di warungnya. Dia merapalkan doa-doa dengan maksud supaya kupon yang dibelinya menang hadiah.

Rapalan demi rapalan meluncur deras dari bibirnya. Sampai istrinya pulang dari kantor pun dia masih merapal. Raden Mas berhenti merapal karena lapar. Dilahapnya udang goreng tepung beserta nasi panas yang disiapkan istrinya. Lalu kembali dia merapal doa-doa sampai tengah malam.

Hari yang dinanti pun tiba.

Raden Mas berjalan cepat-cepat ke rumah penjual kupon berhadiah yang kebetulan masih satu dusun dengannya. Di sana sudah ada lima orang yang juga menanti peruntungan. 

Benar saja. Rapalan doa-doanya jitu!

Raden Mas menang besar. Keempat kuponnya dapat hadiah dan ternyata dia bukan hanya dapat lima ratus ribu, tapi satu juta rupiah!

Girang betul Raden Mas sampai diajaknya lima orang yang ada dirumah penjual kupon itu minum kopi dan makan mi rebus di warungnya saat itu juga.

Namun, Raden Mas merasakan keanehan ketika sampai di warungnya. Dia memanggil pembantunya. Ditanyanya dalam bahasa Jawa ngoko dimana motornya kepada mbok pembantunya itu.

Pembantunya menjawab berulang-kali, "Nyuwun pangapunten, kulo wau nembe isah-isah piring wonten wingkeng, mboten midanget wonten swara motor," dengan wajah pucat takut kena damprat.

Raden Mas tambah mangkel campur lemas setelah mengetahui bahwa lima slop rokok dan dua renceng kopi instan di warungnya ikut lenyap. Mbok pembantu menangis sambil minta ampun sejadi-jadinya karena takut dituduh atau dianggap sekongkol dengan pencurinya.

Perasaan Raden Mas campur aduk. Dia sepenuhnya lupa pada duit satu juta rupiah yang menggembung di saku celana pendeknya.

Raden Mas duduk tepekur di halaman rumahnya sembari menunggu istrinya pulang kerja. Istrinya harus diberitahu bahwa motor yang dicicil dari gaji istrinya itu hilang digondol maling.

0 Comments

Posting Komentar