Hikikomori adalah sindrom gangguan mental di mana seseorang sengaja menarik diri dari lingkungan sosial dan tidak berinteraksi dengan siapa pun kecuali dengan keluarga inti.
Pemerintah Jepang mulai menyadari hikikomori di akhir 1990-an sampai kemudian jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun.
Berdasarkan sensus pemerintah Jepang pada 2016, orang yang mengisolasi diri di kamar dan rumah mereka ada 540.000 jiwa. Jumlah ini meningkat pada 2019 menjadi 800.000 orang. Mayoritas laki-laki berusia 15-39 tahun.
Melansir The Conversation, saat ini diperkirakan sudah 1,2 persen dari total penduduk Jepang yang mengidap hikikomori. Artinya sudah jutaan orang Jepang mengisolasi diri dalam jangka waktu lama.
Dari Mana Istilah Hikikomori Berasal?
Istilah hikikomori dicetuskan oleh psikiater Jepang Tamaki Saito pada tahun 1998, atas tanggapan terhadap krisis yang terjadi di kalangan pemuda Jepang.
Pada masa itu sudah banyak anak muda menghindari sekolah dan acara sosial, sering tinggal di rumah selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tanpa berkomunikasi dengan keluarga atau teman-teman.
Hikikomori diperburuk oleh kecanduan internet dan game, serta kemajuan teknologi yang memungkinkan orang tidak perlu berinteraksi di luar rumah untuk menjalankan hidup.
Ciri Seseorang Mengidap Hikikomori
- Para pelajar tidak mau berangkat ke sekolah. Orang yang punya pekerjaan tidak mau lagi berangkat bekerja.
- Sulit berinteraksi dengan orang di luar anggota keluarga.
- Menghindar dari lingkungan, situasi, dan interaksi sosial selama enam bulan berturut-turut.
Pengidap hikikomori dapat mengisolasi diri di rumah selama bertahun-tahun tanpa ada keinginan keluar rumah atau melakukan kontak dengan teman.
Penyebab HIkikomori
Sebelum mengisolasi diri, para pengidap hikikomori sering merasa tidak disukai, menganggap dunia tidak adil terhadapnya, kecewa terhadap suatu hal, takut berbuat salah, atau karena perundungan.
Ada juga yang melakukan hikikomori sebagai bentuk hukuman terhadap diri sendiri yang gagal memenuhi harapan orang tua, masyakarat, atau lingkungan sosial.
Misal, anak seorang chef ternama yang diharap mampu meneruskan usaha kuliner orang tuanya, ternyata tidak berbakat masak karena dia lebih tertarik menjadi penari.
Tidak tahan pada desakan banyak orang (termasuk media massa dan orang tuanya sendiri) yang menginginkannya jadi chef dan pengusaha kuliner andal, lantas memicu anak melakukan hikikomori. Mengisolasi diri alih-alih berkarya di bidang lain dan tidak memedulikan perkataan orang.
Produk Budaya atau Lemah Mental?
Kita tahu dulu Jepang punya jam kerja panjang yang mana para pekerjanya bekerja 12-14 jam sehari. Selain jam kerja yang panjang, perekrutan tenaga kerja yang tertutup dan kesenjangan karir di Jepang juga lebar.
Di Indonesia, lulusan SMA sederajat dapat menjadi manajer sampai kepala cabang kalau dia berprestasi dan sudah melanjutkan kuliah sembari bekerja.
Di Jepang, pada masa lalu, tidak begitu. Lulusan perguruan tinggi pasti berkarir moncer dengan berbagai tunjangan dan fasilitas. Kesempatan bekerja dan berkarir seperti itu tidak didapat mereka yang cuma lulusan SMA, mengakibatkan mereka cuma bekerja sebagai pegawai rendahan atau di sektor informal.
Sektor usaha informal adalah sektor usaha yang tidak punya izin usaha serta usahanya tidak terdaftar pada lembaga pemerintah. Jenis usaha ini adalah UMKM seperti warung sembako, warteg, ibu rumah tangga yang menjual asinan, dan sejenisnya.
Bila generasi Jepang yang lampau memilih mengakhiri hidup karena tekanan pekerjaan dan hidup, generasi yang lebih muda memilih hikikomori.
Disamping budaya Jepang yang punya jam kerja panjang, ada kebiasaan yang membudaya pada masa lalu bahwa seorang ibu haruslah sayang kepada anaknya, terutama anak laki-laki tertua.
Nyatanya, rasa sayang berlebihan malah jadi kemanjaan. Si anak tidak mandiri karena si ibu terlalu melindungi. Alih-alih mengatasi segala rintangan yang menghampirinya, si anak malah menyerah.
Bibit hikikomori biasanya sudah terlihat sejak usia dini di mana anak tidak mampu menyelesaikan masalah sederhana di sekolah, dengan teman, atau sangat tersinggung jika ditegur guru.
Kenapa Hikikomori Disebut Gangguan Mental?
Normalnya, manusia adalah makhluk sosial yang selalu butuh berinteraksi dengan sesama manusia. Orang yang punya kesulitan untuk berperilaku dan berpikir seperti manusia normal menandakan ada yang tidak sehat pada mentalnya.
Maka itu dinamakan gangguan mental. Hikikomori secara sengaja mengisolasi diri hanya karena tekanan yang bagi orang normal dianggap wajar dan bisa diatasi. Pengidap hikikomori memilih mengisolasi diri daripada menyelesaikan masalahnya, dan karenanya termasuk gangguan mental.
Karena itu orang yang mengetahui ada kerabat atau teman yang mengidap hikikomori harus minta bantuan psikolog dan psikiater karena penderitanya tidak bisa hanya sekadar diajak curhat.
Walau termasuk gangguan mental, hikikomori berbeda dengan social anxiety (kecemasan sosial) yang mana penderitanya sangat takut bertemu dengan orang di tengah keramaian. Pun tidak sama dengan beberapa jenis fobia yang berhubungan dengan orang banyak dan lingkungan sosial.
Dampak Hikikomori Bagi Jepang
Hikikomori yang diidap generasi mudanya mengakibatkan Jepang kekurangan tenaga kerja. Usia produktif melimpah, tapi sangat jarang dari mereka yang bekerja.
Karena itu Jepang terpaksa mengimpor banyak ekspatriat atau tenaga kerja asing berpendidikan tinggi dan digaji besar.
Populasi negeri sakura itu juga terus menurun. Menurut Nikkei Asia, penduduk Jepang berkurang 644.000 jiwa di 2022, terbesar dalam 26 tahun terakhir.
Hikikomori memperburuk penurunan populasi Jepang karena mereka tidak menikah dan tidak punya anak.
Beban Orang tua dan Negara
Seorang hikikomori hanya diam di rumah dan tidak melakukan apa pun untuk menghasilkan uang. Mereka juga sama sekali tidak produktif menghasilkan suatu karya. Tidak pula mengurus atau merawat apapun dan siapa pun.
Karena tidak punya penghasilan, hikikomori hidup dari gaji atau uang pensiun orang tua. Bila ODGJ tidak mampu bekerja karena kehilangan akal kewarasannya, hikikmori tidak mau bekerja karena memilih mengisolasi diri.
Di mata Jepang, hikikomori juga merugikan karena tidak punya penghasilan untuk bayar pajak, tidak punya asuransi kesehatan, tidak berpartisipasi dalam aktivitas sosial, dan malah menghabiskan uang orang tua.
Bagaimana Seorang Hikikomori Menghabiskan Waktu?
Berada di kamar atau di rumah sepanjang waktu amat membosankan. Bahkan seorang introvert dan solitude juga perlu berkegiatan di luar rumah walau tidak bergabung dengan kelompok sosial mana pun, hanya sekadar menghirup udara segar.
Namun, pengidap hikikomori betah menghabiskan seluruh waktunya dengan bermain game, berselancar di internet, membaca buku, memasak sendiri, atau aktivitas lain yang tidak mengharuskannya ke luar rumah.
Pengidap hikikomori amat jarang pernah keluar rumah walau untuk ke warung membeli kebutuhan sehari-hari. Kebanyakan mereka memesan bahan makanan dan kebutuhan harian via online,
Apakah Hikikomori Hanya Terjadi di Jepang?
Yang jelas hikikomori tidak bakal terjadi di Indonesia. Walau para tetangga dan netizen di negeri ini julid, nyinyir, dan merasa paling benar, tapi di rumah kita masih punya mertua, ipar, menantu, anak, dan pekerja rumah tangga yang membuat kita tidak sendirian menghadapi tekanan hidup.
Bila tekanan datang dari keluarga, orang Indonesia masih bisa mencari pelarian dengan curhat di medsos, jadi selebgram, atau YouTuber kontroversial.
Sementara itu, hikikomori juga menjalar ke anak-anak muda di Amerika Serikat, India, Korea Selatan, Prancis, dan Spanyol.
0 Comments
Posting Komentar