Fakta Sekolah Gratis, Makin Banyak Fasilitas dan Prestasi Makin Sekolahnya Susah Gratis

Spanduk bertuliskan Sekolah Gratis banyak kita temui ditempel di pagar sekolah-sekolah negeri dengan harapan menarik minat orang tua menyekolahkan anak mereka di sekolah itu tanpa terbebani biaya pembelajaran. 

fakta sekolah gratis

However, spanduk seperti itu tidak bakalan kita temukan di sekolah berakreditasi A, apalagi yang berstatus sekolah model dan sekolah unggulan. Selain itu ada yang namanya Sekolah Penggerak.

Sekolah Penggerak berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik yang mencakup kompetensi literasi, numerasi, dan karater, diawali dengan SDM yang unggul (kepala sekolah dan guru).

Walau Mas Menteri Nadiem telah mengatakan bahwa Sekolah Penggerak bukanlah sekolah unggulan, tapi telanjur ada persepsi sejak lama bahwa sekolah unggulan otomatis jadi Sekolah Penggerak. Itu terjadi karena sekolah unggul mutunya dianggap bagus karena peserta didik yang masuk kesana bagus-bagus (intelejensi, hasil tes masuk, dan kantong tebal orang tua).

Standar Nasional Pendidikan (SNP)


Adanya SNP secara otomatis melebur sekolah model, sekolah inti, dan sekolah unggulan, faktanya masih ada sekolah model, sekolah unggulan, dan sekolah penggerak.

Sebutan sekolah model, menurut definisi Kemdikbud, adalah sekolah yang dijadikan sebagai sekolah percontohan bagi sekolah lain yang akan menerapkan penjaminan mtu pendidikan secara mandiri.

Sekolah model punya tanggung jawab untuk mengimbaskan praktik penerapan mutu pendidikan kepada lima sekolah di sekitarnya. 

Karena harus jadi sekolah yang dicontoh dan harus mengimbas, maka sekolah model yang juga adalah sekolah unggulan harus punya fasilitas penunjang selain kegiatan belajar-mengajar rutin di sekolah.

Satu sekolah disebut telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan bila berhasil mencapai delapan standar, yaitu standar kelulusan, standar isi, standar proses, standar penilaian, standari pendidikan dan ketenagapendidikan, standar pembiayaan, standar pengelolaan, dan standar sarana dan prasarana.

Apa itu standar sarana dan prasarana?

Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007, standar sarana dan prasarana mengatur jumlah rombongan belajar dalam satu kelas, keselamatan bangunan termasuk penerangan dan tingkat kebisingan. 

Peraturan Menteri itu juga mengatur tentang prasarana yang harus dimiliki oleh sekolah, yaitu ruang kelas, UKS, perpustakaan, toilet, laboratorium, gudang, ruang pimpinan, tempat bermain, dan tempat beribadah atau berolahraga.

Anak kami (saya dan suami) bersekolah di SD Negeri malahan punya studio IT mini. Sebabnya karena makin banyak lomba dalam bentuk digital, seperti mading digital, vlog, pekan TIK, dan aneka lomba yang diadakan secara virtual sejak pandemi Covid-19 merebak.

Orang tua/wali diminta sumbangan sukarelanya untuk membuat studio IT itu. Selain studio, sekolah anak-anak kami juga membangun kamar untuk penjaga sekolah, toilet untuk siswa putra, dan ruang musik dan karawitan.

Kenapa sampai perlu ruang musik dan karawitan? 

Lagi-lagi karena sebagai sekolah model, sekolah penggerak, dan sekolah unggulan (walau sejak sistem zonasi diberlakukan tidak ada lagi istilah sekolah unggulan), sekolah anak-anak kami selalu diundang dan diminta untuk mengikuti macam-macam lomba, termasuk lomba yang sering diadakan yayasan-yayasan swasta.

Dari mana sekolah negeri bisa memenuhi semua itu kalau dana BOS cuma cukup untuk membayar guru honorer, karyawan tata usaha, dan operasional sekolah? Dari sekolah gratis?

Dana BOS dan Sumbangan Wali Siswa melalui Komite Sekolah


Semua hal diatas tidak dicukupi hanya dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dikucurkan pemerintah. Maka sekolah minta kepada komite supaya menghimpun dana dari orang tua/wali siswa agar fasilitas sekolah terpenuhi.

Andaipun dana BOS cukup, bila komputer, laptop, overhead projector, dan segala alat-alat penunjang pembelajaran dibeli dari dana BOS, maka alat itu harus dikembalikan ke dinas pendidikan setempat bila nilai asetnya menyusut atau tidak digunakan dalam tahun ajaran berjalan. 

Akibatnya sekolah harus beli lagi alat-alat itu bila sewaktu-waktu memerlukannya. Malah jadi pemborosan anggaran.

Lain halnya bila dibeli dari uang komite alias uang orang tua/wali siswa, maka alat-alat tersebut sepenuhnya jadi milik sekolah dan sekolah tidak perlu melaporkan penggunaannya ke dalam laporan BOS. 

Menurut Kemdikbud yang dilansir beritasatu.com, komite sekolah tidak boleh memungut uang dari orang tua/wali, tapi boleh menerima sumbangan dalam bentuk penggalangan dana sukarela.

Pada sekolah unggulan karena inputnya dianggap unggul, maka komite sekolah biasanya tidak kesulitan menghimpun dana untuk memenuhi fasilitas sekolah, termasuk membayar honor pelatih ekstrakurikuler.

Sekolah Gratis

Jadi, apa maksudnya spanduk sekolah gratis yang dipasang di pagar sekolah negeri? 

Yang gratis adalah biaya iuran pendidikannya. Dulu disebut sebagai SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan). Sekarang sekolah dilarang memungut uang dari orang tua/wali untuk alasan apa pun karena kebutuhan operasional sekolah dianggap sudah cukup dipenuhi lewat dana BOS.

Faktanya, bagi banyak sekolah, dana BOS tidak pernah cukup. Sebagian karena harus membayar upah para guru honorer, tenaga tata usaha, dan penjaga sekolah, sebagian untuk bayar listrik dan internet, dan sisanya untuk pengadaan buku-buku perpustakaan.

Maka itu, sekolah dibolehkan bekerjasama dengan komite sekolah. Nanti komite sekolah akan meninjau urgensitas fasilitas yang diminta sekolah. 

Jika komite menolak, sekolah boleh mengajukan lagi ke komite di tahun ajaran berikutnya. Bila komite setuju, komite akan menghimpun dana dari orang tua/wali siswa untuk pengadaaan fasilitas yang diminta sekolah.

Di tingkat kelas, kebutuhan dana itu dipenuhi oleh paguyuban. Paguyuban menghimpun dana untuk membeli modul (dulu namanya LKS-Lembar Kerja Siswa), perlengkapan kelas seperti spidol, penghapus whiteboard, kemoceng, sapu, dan lainnya, juga bahan-bahan prakarya untuk mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya.

Orang tua/wali akan membayar iuran paguyuban yang besarnya sesuai kesepakatan bersama. Uang hasil iuran paguyuban juga bisa digunakan untuk keperluan non-sekolah, misal uang duka keluarga siswa, sumbangan bagi orang tua atau anak yang sakit, dan apa saja sesuai kesepakatan orang tua/wali.

Sekolah gratis sudah terwujud dan sudah terbukti membantu banyak anak mendapat pendidikan yang layak. Namun, sekolah yang benar-benar gratis tanpa orang tua/wali keluar duit sepeserpun hanya bisa terjadi di sekolah negeri yang hanya punya 1-2 kegiatan ekstrakurikuler (ekskul), cuma punya perpustakaan alakadar, dan hampir tidak pernah ikut lomba antarsekolah.

0 Comments

Posting Komentar