Cuma Baca Judul Ternyata Tidak ada Kaitannya dengan Minat Baca

Bagi sebagian besar penulis, terutama penulis feature, pembaca yang cuma baca judul dianggap menjengkelkan.

Pada ilmu jurnalistik, tulisan/artikel feature adalah jenis tulisan yang mengandung unsur human interest, ditulis secara kreatif berdasarkan fakta, dan bersifat subjektif karena penulis boleh memasukkan opini pribadinya.

Karena ditulis secara kreatif dan terdapat opini penulisnya, tulisan feature lebih panjang dari berita. Bila pada artikel berita saja orang malas baca, apalagi feature. Maksud dari sebuah tulisan tidak akan tersampaikan kalau yang dibaca cuma judulnya.

Penulis bakal lebih geregetan kalau ada orang yang komentar hanya berdasarkan judul, mengakibatkan komentar itu melenceng dari konteks yang dimaksud dalam tulisan.

***

Pada survei lawas World's Most Literate Nations yang dilakukan Conneticut State University pada 2016, Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. 

Jangan berkecil hati, total negara di dunia ada 195, jadi survei dengan hanya menyertakan 61 negara bisa dianggap kurang representatif.

Hasil survei World's Most Literate Nation itu masih dipakai banyak media arus utama Indonesia sampai tahun 2020.

Kabar baik datang dari Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI yang mana indeks kegemaran membaca negara tahun 2020 kita ada di kategori sedang dengan skor 55,74.

Kabar lebih membahagiakan datang dari The Digital Reader yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan minat baca buku tertinggi selama tahun 2020. 

Kriteria utama yang dipakai oleh Conneticut State University, Perpusnas, dan The Digital Reader dalam melakukan survei adalah banyaknya penerbitan buku dan kemudahan akses juga koleksi perpustakaan.

Bila tolok ukur minat baca dilihat dari penerbitan dan perpustakaan, maka benar minat baca di Indonesia sangat rendah, penyebabnya:

1. Harga buku mahalnya minta ampun. Pulsa dan paket data bisa dibeli seharga Rp25.000 untuk akses internet selama sebulan. Sementara harga buku jauh berlipat-lipat diatas harga pulsa. 

Mahalnya harga buku semata bukan karena penerbitnya kemaruk. Pajak yang dibebankan pemerintah juga berkontribusi membuat harga buku mahal. Mestinya buku masuk kategori no tax on knowledge.

2. Perpustakaannya "menyeramkan". Orang miskin di perkotaan jarang mengunjungi perpustakaan karena tampilan gedungnya terlalu 'wah' untuk mereka masuki.

Mereka jadi enggan masuk karena serasa masuk ke gedung perkantoran, bukan perpustakaan.

Sementara itu di pedesaan, bangunan perpustakaannya ada, tapi isinya kosong alias koleksi bukunya cuma beberapa biji saja. Tidak ada buku baru karena tidak ada duit untuk membelinya. 

Mengharapkan bantuan buku bekas pun terkendala ongkos kirim yang mahal.

3. Distribusi buku tidak merata di seluruh Indonesia. Pada 2017, PT Pos Indonesia menggratiskan biaya kirim tiap tanggal 17 setiap bulannya bagi buku yang dikirim ke taman baca di seluruh Nusantara. 

Gratisnya ongkos kirim memudahkan pegiat literasi mendistribusikan buku sampai ke pelosok. Kita tahu kalau buku yang dikirim ke taman baca bukan cuma 2-3 kilogram saja, bisa belasan kilogram. 

Admin Emper Baca pernah akan mengirim buku ke Flores atas permintaan pengelola taman baca di sana.

Namun, ongkos kargonya lebih dari Rp1,5 juta, saking jauhnya buku yang bakal dikirim dengan berat hampir 10 kilogram. Karena tidak kuat menanggung ongkosnya, buku itu kemudian dikirim ke beberapa taman baca di Mage\lang, tidak jadi ke Flores.

***

Bila tiga hal itu tidak berubah dan minat baca selalu dikaitkan dengan buku dan perpustakaan, maka sampai Lebaran Kuda pun minat baca di Indonesia tetap jongkok.

Mereka akan terus menyukai kabar yang berseliweran di medsos dan grup Whatsapp, plus bakal lebih sering menyimpulan suatu hal pada artikel hanya dari judulnya saja. 

Ilusrasi membaca (VectorStock)

Kenapa Orang Sukanya Cuma Baca Judul?


1. Judul dianggap mewakili isi tulisan. Orang akan meneruskan membaca seluruh isi tulisan bila mereka menilai judulnya menarik atau sesuai dengan yang mereka cari.

Bila judulnya dianggap berbau ilmiah dan keilmuan, mereka bakal berpikir isi tulisannya pasti bikin kening berkerut saking "beratnya", padahal (mereka menganggap) beban hidup sehari-hari saja sudah berat.

2. (Mengganggap) tidak punya banyak waktu untuk membaca. Pagi berangkat kerja, pulangnya sudah malam, istirahat, tidur lagi. Besok paginya mengulang rutinitas yang sama.

Bagi anak sekolahan dan kuliahan, main gim, baca medsos, dan nonton YouTube jauh lebih menyenangkan daripada membaca berita, apalagi buku.

3. Lebih senang bergunjing. Tipikal orang di negara yang belum maju adalah senang bergunjing. Mereka sukarela menghabiskan berjam-berjam membicarakan apa saja alih-alih duduk diam dan membaca walau hanya 30 menit.

Apakah penulis harus mengikuti selera pasar yang seringnya cuma baca judul?

Tergantung tujuan si penulis.

1. Ya, jika kita berorientasi profit jangka pendek. Kami sebut profit karena banyak penulis yang menulis untuk mendapat tambahan uang. Mereka akan menulis apa saja sesuai keinginan klien atau topik yang saat itu sedang tren, termasuk membuat judul clickbait.

Judul clickbait adalah judul yang bombastis dan sensasional dengan maksud memancing orang untuk membaca suatu artikel. Di media online, judul clickbait sering tidak ada hubungannya dengan isi berita.

Salah satu penulis yang berorientasi profit jangka pendek adalah wartawan media online dan narablog (blogger). 

Narablog dapat penghasilan dari iklan yang dipasang di blognya atau dari kerjasama dengan pihak lain.

Itu sebabnya sebuah blog yang ingin dikomersialkan harus punya niche (topik khusus) yang disesuaikan dengan target pembacanya. 

Seorang kolumnis juga termasuk yang menulis untuk profit jangka pendek, walau tanpa menulis pun kantongnya sudah cukup untuk sekedar bayar langganan internet. 

Kolumnis menulis karena dia dianggap mumpuni di suatu bidang, tapi dia tetap harus menulis sesuai tren saat itu yang dihubungkan dengan disiplin ilmu atau keahliannya.

2. Tidak, jika kita ingin benefit jangka panjang. Penulis seperti ini menulis dengan topik terbaru yang ulasannya masih relevan sampai bertahun-tahun karena ditulis dari disiplin ilmu tertentu, seperti jenis in-depth reporting dalam jurnalistik.

Penulis yang menulis untuk benefit jangka panjang adalah pengarang, yaitu novelis, cerpenis, dan penulis puisi. Pengarang perlu konsisten menulis karya secara yang bagus supaya punya basis pembaca yang loyal.

***

Menulis dengan tujuan dibaca oleh orang-orang yang tidak suka membaca memang sangat menantang.

Para harus membuat judul yang menarik dengan tulisan yang dibuat ringan, tidak bertele-tele, dan disisipi humor. Bila tidak, hanya segelintir orang saja yang sudi membaca suatu artikel secara utuh. Lainnya tetap cuma baca judul saja.

0 Comments

Posting Komentar