Museum Jogya Kembali, Mengingatkan Kemerdekaan Didapat dari Perjuangan Sengit bukan Hadiah

Ada berita yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia didapat setelah negara kita membayar ribuan gulden ke Belanda. 
Diorama perjanjian Roem Royen 7 Mei 1948 (emperbaca.com)

Ada juga yang bilang kalau Indonesia merdeka karena Belanda murah hati memberikannya sebagai hadiah untuk kita.

Bukti sejarah yang tersimpan di Museum Jogya Kembali telah membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia 100% didapat hasil dari tetesan darah, keringat, air mata, dan nyawa rakyat Indonesia selama ratusan tahun.

Pelajaran sejarah di Sekolah Dasar saya lihat sangat kurang dibanding zaman saya dulu. Mungkin diyakini banyak sejarah yang dilencengkan, mungkin juga dianggap tidak perlu pelajaran sejarah, maka pelajaran sejarah terkesan alakadar.

Salah satu medium kita untuk belajar sejarah perjuangan bangsa adalah museum. Di Jakarta kita punya Monumen Nasional (Monas), yang sekaligus jadi ikon kota itu. Bendera pusaka yang dijahit Ibu Fatmawati tersimpan di Monas. Pun naskah asli teks proklamasi kemerdekaan RI. 
Bentuk bangunan Museum Jogya Kembali yang menyerupai tumpeng. (emperbaca.com)



Di Yogya kita punya Museum Monumen Jogja Kembali yang secara umum berisi perebutan Yogyakarta dari tangan Belanda melalui pertempuran terbuka yang diawali dengan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Pada 1946, ibu kota RI pindah ke Jogya karena Jakarta sudah dikuasai Belanda yang datang dengan membonceng tentara sekutu.

Dua tahun kemudian, tahun 1948, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Agus Salim diasingkan ke Brastagi seiring dengan masuknya agresi militer Belanda II. Sejak itu Belanda melakukan propaganda bahwa Indonesia sudah hancur. Para pemimpin ditangkap dan diasingkan supaya para pejuang tidak lagi mempertahankan kemerdekaan RI. 
Kursi yang dipakai untuk menandu Jenderal Besar Soedirman saat memimpin perang gerilya tahun 1949 (emperbaca.com).


Itulah yang menjadi latar belakang Serangan Umum 1 Maret 1949, merebut kembali RI yang dikuasai militer Belanda.

Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan hanya terjadi di Yogyakarta. Pada hari itu serangan serentak dilakukan di seluruh Indonesia. Di Yogya, serangan itu menjadi istimewa karena sekaligus mempertahankan ibu kota negara.

Efektifnya serangan gerilya ini kemudian ditiru Vietnam Utara dalam melawan Vietnam Selatan yang dikuasai Amerika Serikat.

Di Museum Jogya Kembali atau disingkat sebagai Museum Monjali, banyak bukti sejarah, termasuk foto, video, seragam Sultan Hamengkubuwono, furnitur di Gedung Agung tempat Soekarno berkantor saat Jogya menjadi ibu kota RI tahun 1946-1950.

Tiket masuk ke museum ini murah, Rp15.000 per orang. Buka tiap hari kecuali Senin dan libur nasional. Rombongan dari panti asuhan dapat diskon 10 persen.

Bila mau memotret kita diminta membayar Rp1.000 untuk satu kamera/ponsel. 
Karcis izin memotret yang kita bayar di loket. Memotret dengan ponsel dianggap sama dengan kamera (emperbaca.com)

Seperti layaknya museum yang sepi dan bikin merinding, Museum Mojali juga begitu. Di ruangan diorama di lantai 2 kurang terang menjurus temaram. Wajar, ya, kalau terang aura perjuangannya mungkin tidak terasa.

Kalau ke sini cuma berdua atau bertiga pasti rasanya creepy banget. Di ruangan Museum I, II, dan III di lantai 1 juga sama temaramnya. Mana banyak patung pula.

Di lantai 3 ada ruangan besar kosong untuk mengheningkan cipta bagi para pahlawan kemerdekaan.

Topi baja tembus peluru

Yang paling mengesankan buat saya adalah topi baja tembus peluru yang dikenakan Soepanoto. Dia gugur dalam pertempuran di Sleman, tahun 1949. Sayang, saking terharunya saya lupa memoto topi baja itu.

Foto Soepanoto juga dipasang di bingkai di atas topi. Konon, dia masih pelajar waktu ikut bertempur di Sleman dibawah Brigade 17. Brigade 17 adalah kesatuan yang semua prajuritnya pelajar.

Sudah begitu kok masih ada yang bilang Indonesia bayar ke Belanda untuk dapat kemerdekaan. Kalau bayar untuk apa Soekarno dan para pemimpin RI sampai diasingkan ke luar pulau.

Kalau kemerdekaan ini hadiah dari Belanda, untuk apa mereka repot-repot membonceng tentara sekutu ke Indonesia demi menguasai negara kita. 
Patung merpati pos yang digunakan TNI untum berkomunikasi antarpos (emperbaca.com)


Di dalam museum dapat kita tonton film karya Des Alwi tentang penangkapan Soekarno dan para pemimpin RI untuk kemudian diasingkan ke Brastagi. Terlihat tidak ada sama sekali raut wajah takut atau gentar dari Soekarno, Hatta, Agus Salim, dan Sutan Sjahrir. Malahan para londo itu yang terlihat segan pada para founding fathers kita.

Tentara londo itu bilang mereka hanya menuruti perintah. Lalu Soekarno menepuk-nepuk bahu si londo. Si londo manggut-manggut setengah menunduk seolah berhadapan dengan pemimpinnya sendiri.

Kita dapat melihat pula bagaimana Serangan Umum 1 Maret ternyata mengagetkan dan memukul Belanda. 
Pintu masuk Museum Monjali (emperbaca.com)


Satu prajurit RI tertangkap. Dia dipaksa melihat pemakaman tentara londo yang mati kena tembak prajurit RI, lalu prajurit RI itu dieksekusi mati.

Foto-foto, diorama, film, dan barang peninggalan masa perjuangan yang ada di museum ini bikin kita bergidik sekaligus bangga bahwa Indonesia mampu merebut kemerdekaan dengan tangannya sendiri.

Saya sarankan setelah Anda selesai menikmati suasana perjuangan dan akan keluar ke tempat parkir, kembalilah ke area lantai 1 dan keluar dari tempat Anda masuk.

Dengan begitu Anda akan hemat tenaga tidak memutari museum dari pintu keluar yang jaraknya lumayan jauh ke tempat parkir.

0 Comments

Posting Komentar