Cerpen: Cappuccino dalam Semangkuk Mie Ayam

Cipto mematikan laptop dan memasukkan ke dalam tasnya. Diperiksanya pesan instan di ponselnya apakah ada pesan dari Riana atau tidak. Ada. Tercatat pesan itu datang lima belas menit lalu.a

Jangan terlambat, ya, nanti. Aku gak mau kelamaan nunggu.

Oke, oke. Memangnya kapan aku pernah terlambat? Cipto membatin. Dilihatnya jam di tangan kirinya, pukul lima sore.

Meski janji temu dengan Riana masih satu jam lagi tapi Cipto tetap pada niatnya semula untuk pergi tepat setelah jam kantor selesai.

Toh dia tidak akan bisa cepat sampai karena jalanan pasti macet. Dia juga tidak keberatan menunggu andai datang lebih dulu dari Riana.

Cipto keluar dari ruangannya dan menyapa lima orang sales anak buahnya yang masih mengecek stok obat dalam daftar penjualan mereka.

“Pulang tenggo, Mas?” tanya salah satunya.

Cipto mengangguk.

“Tumben,” timpal yang lain.“

“Ada urusan,” jawab Cipto singkat.

Anak buahnya terkekeh saling melempar gurauan bahwa itu pasti urusan cinta. 

Kemudian ada suara yang mengatakan bahwa Mas Cipto belum punya pacar. Yang lain menimpali bahwa mereka harus syukuran kalau Mas Cipto benar punya pacar.

Cipto hanya tersenyum dan tidak menghiraukan gurauan-gurauan yang ditujukan padanya. Dia keluar kantor menuju lift sambil menyampaikan sampai jumpa di hari Senin, kepada para anak buahnya itu.

Jalanan di Jumat sore belakangan ini tidak semacet sebelum dibangun MRT, jadi Cipto masih bisa memacu sedannya merayapi jalan, tidak tersendat-sendat dan terhenti mendadak seperti siput tertabrak kura-kura. Cipto menyetel lagu pop kesukaannya yang lalu mengalun merdu memenuhi kabin.

Tiga puluh menit kemudian Cipto sampai di Grand Indonesia. Dia sengaja mencari parkiran di basement yang lebih lapang.

Ada pesan masuk di ponselnya, dari Riana.

Maaf aku agak terlambat. Harus rapat mendadak. Klien complaint.

Cipto membalas bahwa dia tidak keberatan dan akan menunggu di Caffé Milano, tempat temu janji mereka. Lalu emoji hati warna biru muncul dari balasan Riana.

Suasana di Caffé Milano masih sepi. Cipto menyebut nama Riana sebagai pemesan tempat, dan dia dibawa oleh pelayan ke meja dengan sofa melingkar berwarna krem. Dia memesan cappucino dan menangguhkan memesan makanan sampai Riana datang.

Ini tempat favorit Riana. Katanya makanannya enak-enak. Adonan dough pizzanya renyah tapi kenyal, beda dari pizza yang ada di Indonesia karena dimasak oleh chef asli Italia. Yang paling disuka Riana adalah Smoke Salmon Burata yang dia bilang menu andalan kafe ini.

Apapun yang Riana suka, Cipto juga menyukainya meskipun makanan Italia terasa aneh dilidahnya.

Sebenarnya dia kenal Riana sejak SMP. Mereka pernah satu kelas dan beberapa kali mengerjakan tugas kelompok bersama. Dan Riana anak yang ramah ketika mengobrol dan bercanda tapi serius bila bicara soal pelajaran.

Cipto juga sebenarnya pernah naksir Riana, tapi dia tidak pernah mengungkapkannya karena malu. Siapalah dia, sementara Riana anak orang kaya, cantik, dan banyak cowok keren yang juga naksir padanya.

Mereka pisah sekolah ketika lulus. Riana ke SMA swasta dan Cipto ke sekolah negeri yang dikenal punya murid yang pintar-pintar.

Saat di SMA Cipto juga naksir seorang perempuan teman sekelasnya karena punya pembawaan mirip Riana, tapi lagi-lagi dia malu mengungkapkan isi hatinya. Baru setelah kuliah dia melupakan Riana sepenuhnya.

Dunia ternyata sempit dan jodoh memang tidak kemana. Lima tahun setelah lulus kuliah, Cipto bertemu lagi dengan Riana di acara penandatanganan kontrak antara kantornya—distributor obat milik perusahaan farmasi terkemuka—dengan kantor Riana.

Riana ternyata mendirikan perusahaan komunikasi riset. Cipto memerlukan jasa konsultasi milik Riana untuk branding produk penurunan berat badan.

Riana kuliah di Singapura lalu melanjutkan ke sekolah bisnis Harvard. Selepasnya dia bekerja di perusahaan milik seorang konglomerat Amerika selama tiga tahun lalu pulang ke Indonesia.

Lucunya mereka baru dekat justru setelah kontrak kerjasama kantornya dengan perusahaan Riana selesai.

Berawal dari bertukar nomor ponsel, ngopi bareng, bertukar pesan, bertemu, dan kali ini adalah pertemuan mereka yang ketiga dalam dua bulan terakhir, di kafe favorit Riana.

Musik instrumental di Caffé Milano lamat-lamat terdengar dan mulai mengeras seiring dengan bertambah banyaknya orang yang datang.

Cipto memesan cappucinonya yang kedua. Riana belum juga datang, hanya pesan darinya yang muncul.

Maaf setengah jam lagi aku sampai. Tunggu, ya.

Cipto membalas singkat dengan huruf o dan k besar. Dia bersedia menunggu dan tidak merasa diremehkan meski harus menunggu hampir satu jam, karena Riana pantas untuk ditunggu.

Perempuan itu selalu memberi perhatian dengan cara tak terduga. Riana pernah mengirim makan siang untuk semua orang di kantor Cipto. Alhasil kepala cabang dan anak buahnya mengira Cipto sedang berulang tahun.

“Cipto, aku minta maaf, maaf banget, I’m very very late.” Riana datang, duduk di sebelah Cipto, memanggil pelayan, dan langsung memesan spaghetti oglio olio.

“Kenapa kamu gak pesan makanan?” tanyanya pada Cipto.

Cipto menggeleng, “Aku sudah kembung minum,” dia menunjuk dengan kepalanya dua cangkir cappucino di depannya.

“Maaf kamu kelamaan menunggu. Rapat tadi benar-benar mendadak karena karyawan baru salah kirim laporan ke klien,” Riana menggenggam tangan Cipto erat, meminta permakluman.

Cipto tersenyum, “Tidak apa-apa, aku ngerti. Tadi susah cari parkir?” katanya menutupi kegugupannya karena pertama kali disentuh oleh Riana.

Riana menggeleng, “Aku naik ojek.C

Cipto tersedak, “Yang benar?!”

“Cuma ojek yang bisa cepat sampai. Mobil kutinggal di kantor.”

Pesanan makanan dan minuman Riana datang dan dia melahapnya dengan cepat sampai Cipto mengira dia tidak makan berhari-hari.

“Lapar berat. Aku tadi belum makan siang,” sahut Riana.

“Cipto, apa kamu punya perasaan terhadapku?” tanya Riana ketika dia selesai mengunyah suapan terakhirnya.

“Perasaan yang bagaimana?”

“Jatuh cinta.”

Cipto tidak langsung menjawab. Diseruputnya lagi cappucinonya. Dipandanginya wajah Riana yang berambut panjang itu. Mata Riana kelihatan bersinar dan berbinar.

“Jadi?!” Riana mendesak.

“Apa?”

“Bagaimana perasaanmu terhadapku?”

“Aku suka padamu.”

Riana tidak puas, “Lalu?”

Cipto mengerti maksud Riana, tapi tiba-tiba dia tidak yakin dengan perasaannya sendiri. Diseruputnya lagi cappucinonya sampai tetes terakhir.

“Kau tahu, aku menikmati setiap detik bersamamu. Aku juga menyukai semangatmu, kemandirianmu, dan semua perhatianmu untukku…” Cipto mengambil napas panjang alih-alih melanjutkan.

Riana duduk mendekat pada Cipto sampai tubuh mereka hampir saling menyentuh.

“Kau mau melanjutkan hubungan kita atau tidak?"

Batin Cipto menggumam, hubungan yang mana? Kita belum pernah ada hubungan apapun.

Tiba-tiba bayangan perempuan lain berkelebatan di benak Cipto. Perempuan yang dia kenal sebagai kerabat tetangganya.

“Cipto?”

“Ya?”

"Bagaimana?”

“Apanya?” 

Riana menghela napas. Ditatapnya Cipto dalam-dalam, “Kau menyukaiku, menikmati waktu bersamaku, tapi tidak ingin melanjutkan hubungan denganku sebagai sepasang kekasih. Begitu maksudmu?”

Cipto tidak mampu menjawab karena Riana sudah mengatakan apa yang sebenarnya Cipto rasakan.

“Maafkan aku, Riana.”

“It’s alright. Terima kasih untuk waktumu, Cipto,” Riana mengecup pipi Cipto yang membuat wajah Cipto merona menahan malu dikecup di tengah keramaian Caffé Milano.

“Oh ya, kau yang bayar tagihannya, ya,” lanjut Riana yang lalu berdiri dan langsung menghilang dari pandangan Cipto.

Cipto merasa tak enak karena tampaknya dia telah menyakiti Riana, tapi sekaligus terpana pada sikap Riana yang tidak menuntut karena perasaannya diabaikan.

Sesampainya ditempat parkir Cipto tidak langsung pergi, tapi mencari nomor perempuan yang tadi muncul diingatannya. Perempuan manis dari kampung yang bekerja di butik. 


“Eni? Hai. Kau pulang jam berapa? Boleh aku jemput? Kebetulan aku dekat dengan tempat kerjamu. Kita makan malam. Mie ayam dekat rumah? Oke. Aku ke tempatmu sekarang, ya. Tunggu aku.”

Cipto memacu mobilnya sambil bersiul mengikuti lagu What a Wonderful World dari suara Ray Charles yang berkumandang di kabin sedannya.

***

For Puji Suripto, died in June 2021 due to Covid-19. May you rest in peace, my old friend.

0 Comments

Posting Komentar