Budi mematut-matut dirinya di depan cermin. Penampilan Budi rapi sekali. Tubuhnya menebarkan bau harum bagi hidung siapapun yang kebetulan lewat di dekatnya. Melihat penampilan Budi yang seperti itu, dari balik pintu kamar Budi yang terbuka, Ponaryo masuk dan tak tahan untuk tak berkomentar.
Ilustrasi: Pokemon Fandom |
“Rapi
sekali seperti mau kondangan,”ujar Ponaryo sambil senyum-senyum.Yang ditanya
diam saja namun menebarkan senyum lebar sambil menggeleng.
“Mau
kencan,” jawab Budi singkat.
“Dengan
siapa?” tanya Ponaryo penasaran.
“Perempuan
cantik.”
Malam
sudah menanjak tinggi waktu Budi mematut dirinya di cermin. Matahari sudah
resmi berganti tugas dengan bintang dan bulan di malam minggu yang cerah ini.
Keramahan sinar bulan membuat suasana di asrama yang penghuninya para pemain
sepakbola ini terasa menyenangkan.
“Siapa perempuan cantik itu?” Ponaryo tambah penasaran.
“Amelia.
Aku dikenalkan oleh sepupuku tiga bulan lalu. Tiga bulan waktu yang cukup untuk
saling mengenal. Hari ini aku akan memintanya jadi pacarku,” Budi antusias.
Nada suaranya sumringah bersemangat. “Doakan aku, ya.”
“Wah,
senangnya! Moga kau berhasil merebut hatinya, Sob!” Ponaryo menepuk-nepuk
pundak rekan setimnya itu bermaksud memberi dukungan.
“Kali ini
benar-benar perempuan idamanku, Yo. Aku yakin bisa menjadikan dia sebagai
pacarku,” Budi bersungguh-sungguh.
Ponaryo
mengangguk-angguk sambil terus mendukung
sahabatnya itu. Seingat Ponaryo, selama tiga tahun ia bersama-sama Budi di
Persemut FC, sudah tiga kali Budi patah hati. Sebetulnya bukan patah hati,
sebelum Budi berhasil menjadikan wanita-wanita itu sebagai kekasihnya, dia
sudah ditolak duluan.
Padahal
Budi punya wajah yang tidak tampan. Sebagai atlet tentu badannya bugar nan
atletis. Soal materi Budi juga tidak kekurangan. Ia salah satu penyerang subur
di klub dan gajinya tergolong besar.
Perempuan mana yang
tidak suka lelaki bertubuh atletis dengan uang berjejalan. Namun rupanya hal
itu belum berlaku untuk Budi. Pada usianya sekarang yang merambat 27 tahun ia
susah sekali mendapatkan perempuan yang jadi tempat curahan cintanya.
Padahal salah satu
bintang Los Galacticos jaman rikiplik yang bernama Kaka saja sudah belasan kali
gonta-ganti pacar sejak usianya 21 tahun.
Sebenarnya kisah cinta
Budi tidak sedemikian merananya.
Satu saat
lalu ada perempuan yang ditolak Budi karena ia bilang perempuan itu terlalu
kaya dan cantik. Ada-ada saja. Nama perempuan itu Winny.
Setiap Budi bertanding
di kota manapun Winny selalu datang demi mendukung Budi.
Rekan-rekan Budi di
Persemut FC senang bila Budi berjodoh dengan Winny. Utamanya karena Winny
bilang ayahnya akan menjadi memberi sumbangan besar kepada Persemut FC bila
Winny menjadi istri Budi. Tapi sayang Budi menolak dengan alasan dirinya masih
ingin konsentrasi membela Persemut FC meraih gelar juara.
Syukurlah ayah Winny
yang jenderal bintang tiga itu tak memaksakan kehendak dan mengerti bahwa
pernikahan Budi dan Winny tidak bisa dipaksa.
Sejak itu kabarnya
Winny pergi keluar negeri dan bekerja disana. Sementara itu Budipun tetap
dengan Persemut FC dan sempat dinominasikan sebagai pemain terbaik di Liga Bola
Indonesia.
Menurut
bisik-bisik yang beredar, Budi tidak mau punya istri yang asalnya dari status
ekonomi sosial tinggi karena kuatir ketika berumah-tangga malah menginjak-injak
dirinya sebagai suami. Entahlah bisik-bisik itu benar atau tidak, hanya Tuhan
dan Budi yang tahu.
Sejak saat itu
rekan-rekannya di Persemut FC mengatakan bahwa sulitnya Budi mencari pacar
mungkin karena kutukan dari Winny. Budi cuma bisa tersenyum simpul kalau
teman-temannya menggoda demikian, Dan malam ini Budi akan menemui Amelia untuk
menyatakan cintanya.
”Mau kau
ajak kemana dia?” tanya Ponaryo lagi.
”Ada lah,
pokoknya makan malam romantis,” jawab Budi.
Tiba-tiba
dari pintu kamar yang terbuka itu muncul Bambang yang menyeruak ingin tahu bau
wangi apa yang menguat menganggu hidungnya.
”Siapa
yang pakai parfum wangi sekali ini?” tanya Bambang. Ponaryo menunjuk Budi.
”Sudah
ya. Aku sudah hampir telat, nih. Kasihan Amelia kalau dia yang datang duluan,”
kata Budi sekaligus pamit. Ia keluar asrama dan menuju tempat makan malam yang
diharapnya akan romantis.
Makan
malam itu berlangsung di restoran sebuah hotel mewah. Budi melihat Amelia
cantik sekali dengan riasan tipis. Hatinya berbunga-bunga dan rasanya matanya
tak bisa lepas memandangi Amelia. Caranya tersenyum, caranya bicara, caranya
makan, minum, semua menyenangkan untuk dilihat.
Pertama kali bertemu
Budi sudah senang dengan Amelia. Gadis itu pintar, rendah hati, dan tidak suka
kehidupan hura-hura.
Amelia
lulusan sekolah tinggi seni tari dan sekarang mengajar di sebuah sanggar tari
milik keluarganya yang sudah berusia puluhan tahun. Sungguh Budi merasakan
sayang kepada Amelia.
Setelah hampir satu
jam mereka berbincang sambil makan malam, Budi merasa sudah saatnya
mengutarakan isi hatinya yang ia yakin Amelia punya perasaan sama.
“Aku sayang sama kamu.
Mudah-mudahan kamu punya perasaan yang sama denganku. Apa kamu mau jadi
pacarku?” tanya Budi usai mengeluarkan
isi hatinya pada Amelia. Batu besar yang selama ini mengganjal hatinya seolah
lepas.
Amelia tersenyum
tipis.
Gadis
manis itu menyeruput kahlua coffee-nya dengan pelan. Kemudian terlihat
ia menghela nafas. “Aku sudah tahu kamu akan bilang begitu, makanya aku mau
kamu ajak kemari karena aku juga ingin mengatakan sesuatu,” jawab Amelia.
Tiba-tiba
Budi merasakan ada firasat tidak enak dari ucapan Amelia itu. Tapi ditahannya
semua perasaan agar raut mukanya tetap tenang. Amelia melanjutkan perkataannya
lagi sambil memegang tangan Budi.
“Maaf, aku tak mau
jadi pacarmu. Aku mau pacar yang selalu ada di dekatku. Kalau aku jadi pacarmu,
aku akan ditinggal terus karena kamu selalu keliling kota lain untuk
bertanding. Belum lagi kalau kamu masuk tim nasional, kapan aku bisa bertemu
kamu.”
Penolakan
terang-terangan itu sungguh menusuk hati Budi.
Bagaimanapun
seringnya ia ditolak wanita, tapi sungguh rasanya tetap tidak enak ditolak
perempuan yang jadi idamannya. “Aku kan tinggal di kota ini, aku pasti akan sering
menemuimu,” tegas Budi.
Amelia tersenyum lagi
dengan manisnya. “Iya, tapi aku bukan tipe wanita yang suka ditinggal-tinggal.”
Susah payah Budi
meyakinkan Amelia bahwa kecemasan yang dikatakan Amelia tadi bisa diatasi
dengan mudah. Tapi rupanya Amelia tetap menolak cintanya mentah-mentah.
Perempuan cantik ini
rupanya punya hati sekeras batu yang susah ditaklukkan. Semua usaha untuk
meyakinkan Amelia selalu mentok terbentur pada batu itu.
Maka tak ada jalan
lain bagi Budi untuk sementara menerima keputusan penolakan itu. Lemas rasanya
seluruh tulang. Otak di kepala seperti berganti menjadi kapas.
Budi
sampai di asrama pukul sembilan malam. Di teras ia kebetulan bertemu dengan
Ponaryo dan Bambang yang sedang main gitar. Melihat Budi pulang dengan langkah
gontai mereka membatin kali ini mungkin Budi ditolak lagi.
“Kenapa?” tanya
Bambang. Budi tetap lesu dan tak menjawab. Bambang dan Ponaryo saling
berpandangan.
Tiba-tiba Budi
mengambil bola yang ada di sudut teras. Dipegangnya bola itu sambil menerawang
dalam benaknya membayangkan enaknya menjadi seperti Nurhidayat yang ditempel
selebgram seksi, atau seperti para pemain bola di Eropa yang ganti pacar
semudah ganti mobil. Sedangkan dia sendiri untuk mendapatkan seorang gadis saja
susahnya setengah mati. Hatinya panas merana.
Lalu
ditendangnya bola sekencang-kencangnya dengan sasaran tembok asrama.
Bola memantul dari
tembok dan jatuh ketanah. Tapi tiba-tiba Budi merasakan urat betisnya menegang
kencang. Budi meringis-ringis dan terduduk memegang betis.
Bambang dan Ponaryo
segera menolong Budi. Hampir tuli telinga Bambang dan Ponaryo karena Budi
dengan kerasnya melolong, “Aduuuuuhh!! Cintakuuu!”
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusHmm... artinya Amelia ngga cinta mati dengan Budi. Pemain kelas dunia kan semua punya pendamping. Tentunya karena berjodoh dengan wanita yang mencintainya pula.
BalasHapusSalam kangenku, Teh Yana.
Iya, semoga Budi dpt wanita yg cocok & saling mencintai 😄
HapusMatur nuwun sanget sudah mampir, Mbak Ayra Amirah 😇