Pemerintahan Jokowi tampak berusaha keras mencegah negara ini terbenam resesi. Sejak Mei 2020, Gugus Tugas (sekarang Satuan Tugas) sudah berancang-ancang kehidupan akan kembali normal di bulan Juli, dengan protokol kesehatan atau Adaptasi Kebiasaan Baru. Semua kegiatan bisnis dibuka bertahap kecuali hiburan malam.
Laporan Badan Pusat Statistik yang rilis pada 5 Agustus lalu menyebutkan bahwa produk domestik bruto (PDB) RI pada kuartal II-2020 minus 5,32 persen. Kontraksi ini lebih dalam dari perkiraan pasar maupun ekspektasi pemerintah dan Bank Indonesia di kisaran 4,3 hingga 4,8 persen.
Bukan hanya Indonesia saja, semua perekonomian negara dunia merosot karena pandemi Corona, beberapa diantaranya sudah mengumumkan resesi Singapura, Jerman, Amerika Serikat, Prancis, Italia, Korea Selatan, Jepang, dan Filipina.
Lalu apakah resesi itu? Dan mengapa pemerintah mati-matian mencegah resesi?
Abdul Rahman Suleman dalam bukunya berjudul Ekonomi Makro (2020) menyebut resesi ekonomi adalah penurunan signifikan dalam kegiatan ekonomi yang berlangsung selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Resesi ekonomi yang berlangsung lama akan menyebabkan depresi ekonomi, dan depresi ekonomi akan menyebabkan kebangkrutan ekonomi.
Meski banyak pihak meyakini RI pasti resesi, namun ekonom UI Fithra Faisa Hastiadi menyatakan jika resesi ekonomi benar terjadi maka Indonesia tidak perlu terlalu khawatir. Resesi yang terjadi bukan karena guncangan fundamental yang berasal dari dalam tapi dari eksternal yakni Covid-19.
Selain karena faktor eksternal seperti yang dikatakan Fithra Faisa, Bank Indonesia juga telah memberi stimulus Rp503,8 triliun ke perbankan terutama ditujukan untuk menjaga likuiditas bank.
Sementara itu, pemerintah telah mengucurkan total stimulus sekitar Rp 438,3 triliun, terbagi atas stimulus I, II, dan III masing-masing sebesar Rp 10,3 triliun, Rp 22,9 triliun, dan Rp 405,1 triliun. Dari tiga stimulus yang telah dikucurkan, stimulus III ditujukan langsung untuk memerangi virus corona sekaligus menekan dampaknya terhadap perekonomian nasional.
Stimulus III meliputi Rp 75 triliun untuk insentif tenaga kesehatan dan penanganan kesehatan, Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp 70,1 triliun untuk mendukung industri, serta Rp 150 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional.
Setelah kartu prakerja yang diberikan untuk memperpanjang napas para pengangguran dan pekerja yang kena PHK, kini insentif tambahan gaji juga dikucurkan sebagai bagian dari pemulihan ekonomi nasional.
Insentif ini akan diberikan kepada 13 juta karyawan non-ASN dan non-BUMN yang bergaji dibawah Rp5jt.
Kenapa sih? Kok buang-buang anggaran saja, belum tentu efektif.
Insentif sebesar Rp600rb/perbulan yang rencananya diberikan mulai September selama 4 bulan ini akan dibelanjakan oleh para karyawan tadi, misalnya di warung sembako atau minimarket.
Barang-barang yang dibeli para karyawan tadi akan membuat perputaran uang terjadi dengan cepat karena supply-demand seimbang. D
begitu, walaupun RI resesi, menurut ekonom Bank Permata Josua Pardede, percepatan penyaluran stimulus dan insentif tersebut dapat membuat ekonomi kembali positif pada kuartal IV-2020. Stimulus, subsidi, dan insentif yang diberikan pemerintah memang ditujukan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Hal ini mungkin juga yang membuat Ketua Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Budi Gunawan Sadikin mengatakan ada kemungkinan ekonomi pada kuartal III-2020 tidak negatif.
Meski terdapat perbedaan ekonom dalam menyikapi resesi, namun semua sepakat bahwa penanganan Covid-19 harus lebih baik. Disiplin mematuhi protokol kesehatan tidak boleh kendor supaya perekonomian bisa pulih lebih cepat seperti prediksi IMF.
Dana moneter internasional tersebut memprediksi perekonomian Indonesia terbaik ke-3 setelah Tiongkok dan India saat wabah Corona menghantam perekonomian dunia.
0 Comments
Posting Komentar