Kutulis ini untuk adikku.
Banyak perempuan gelisah saat memasuki usia 30 tahun belum punya pacar apalagi menikah. Ada kekhawatiran dibilang perawan tua, tidak laku, sampai takut tidak bisa punya anak karena masa suburnya sebentar lagi selesai. Padahal kekhawatiran itu akibat bullying dari orang-orang sekitar yang menakuti-nakuti mereka sehingga para perempuan itu percaya bahwa hidup single di usia 30-an adalah kesengsaraan.
Akibat perundungan yang dialaminya, para perempuan itu akhirnya menikah dengan “siapa saja” yang mau jadi pacarnya, padahal lelaki itu belum tentu yang terbaik untuknya. Semua hanya demi menyenangkan orangtua, keluarga, dan teman, bukan demi kebahagiaan dia sendiri.
Ini bukan rekayasa imajinasi saya, tapi kenyataan. Saya banyak menemukan perempuan usia 31-46 tahun yang akhirnya menikah karena “sudah berumur” bukan karena mereka ingin bahagia.
Saudara saya menikah dengan lelaki yang pekerjaannya—tidak mengecilkan profesi apapun—dai, tinggal di daerah sejauh 285 km dari Jakarta. Sedangkan saudara saya itu manajer perusahaan swasta dengan gaji lumayan. Sejak awal ia tahu bahwa ia bisa mendapatkan lelaki yang “selevel” dengannya. Akan tetapi, desakan orangtuanya membuat ia akhirnya menikah dengan lelaki yang disodorkan teman ibunya itu. Sekarang ia tetap di Jakarta dan suaminya tetap di daerah. Suaminya menginginkan dia pindah ke daerah untuk mengurus ibunya (mertuanya). Sementara saudara saya itu masih enggan melepas karir di Jakarta. Ia merasa penghasilan suaminya sendiri masih kurang untuk hidup bertiga.
Lalu ada saudara suami saya yang menikah dengan lelaki yang lebih muda 15 tahun darinya, pengangguran, dan sampai sekarang hidup lelaki itu masih ditanggung penuh oleh si perempuan.
Para perempuan berumur tentu bisa hidup sebagai seorang single yang happy tanpa khawatir nelangsa seorang diri sampai mati. Toh jodoh di tangan Allah, Allah menyediakan banyak pilihan jodoh untuk seorang perempuan. Bila diminta, Allah akan memberi jodoh yang paling baik untuknya dan mempertemukannya di tempat yang baik pula (kantor, kampus, seminar, pelatihan, dan tempat baik lainnya). Tapi desakan sosial membuat mereka akhirnya menyerah dan merelakan diri ke pelukan lelaki yang tidak bisa menjadi imam dunia akhirat untuknya.
Tapi diluar sana banyak juga perempuan yang bertahan tetap single sampai mereka benar-benar menemukan lelaki yang tepat. Mereka belum menikah bukan karena mempertahankan karir, bukan juga karena mau bebas, dan mereka juga tidak pilah-pilih lelaki. Mereka “hanya” yakin akan ada lelaki yang tepat untuknya cepat atau lambat.
Guru SMA saya menikah di usia 48 tahun. Saat saya SMA umur beliau sekitar 25-27 tahun. Ia berhijab sejak belum banyak perempuan beejijab seperti sekarang. Ia salah satu guru favorit karena cara mengajarnya mudah dimengerti, dan sering pulang bareng murid-murid naik metromini. Dan setelah menikah beliau bahagia lahir batin. Ia kenalan dengan suaminya (duda 1 anak) di acara yang diadakan PGRI. Darimana saya tahu beliau happy? Dari cerita-ceritanya dan tulisan-tulisan di blognya.
Menjadi perempuan itu berat. Dan kalau Anda perempuan maka berhentilah menanyakan, “kapan nikah, anak gue aja udah tiga nih,” kepada perempuan yang Anda tahu belum menikah. Kalau tetap melakukannya Anda bisa dibilang melakukannya bullying/perundungan. Juga jangan coba-coba menawarkan perjodohan dengannya dengan menjadi mak comblang kalau tidak diminta olehnya.
Tidak ada salahnya sibuk mengurus hidup kita sendiri daripada mengurusi hidup orang yang belum menikah.
.
Banyak perempuan gelisah saat memasuki usia 30 tahun belum punya pacar apalagi menikah. Ada kekhawatiran dibilang perawan tua, tidak laku, sampai takut tidak bisa punya anak karena masa suburnya sebentar lagi selesai. Padahal kekhawatiran itu akibat bullying dari orang-orang sekitar yang menakuti-nakuti mereka sehingga para perempuan itu percaya bahwa hidup single di usia 30-an adalah kesengsaraan.
Akibat perundungan yang dialaminya, para perempuan itu akhirnya menikah dengan “siapa saja” yang mau jadi pacarnya, padahal lelaki itu belum tentu yang terbaik untuknya. Semua hanya demi menyenangkan orangtua, keluarga, dan teman, bukan demi kebahagiaan dia sendiri.
Ini bukan rekayasa imajinasi saya, tapi kenyataan. Saya banyak menemukan perempuan usia 31-46 tahun yang akhirnya menikah karena “sudah berumur” bukan karena mereka ingin bahagia.
Saudara saya menikah dengan lelaki yang pekerjaannya—tidak mengecilkan profesi apapun—dai, tinggal di daerah sejauh 285 km dari Jakarta. Sedangkan saudara saya itu manajer perusahaan swasta dengan gaji lumayan. Sejak awal ia tahu bahwa ia bisa mendapatkan lelaki yang “selevel” dengannya. Akan tetapi, desakan orangtuanya membuat ia akhirnya menikah dengan lelaki yang disodorkan teman ibunya itu. Sekarang ia tetap di Jakarta dan suaminya tetap di daerah. Suaminya menginginkan dia pindah ke daerah untuk mengurus ibunya (mertuanya). Sementara saudara saya itu masih enggan melepas karir di Jakarta. Ia merasa penghasilan suaminya sendiri masih kurang untuk hidup bertiga.
Lalu ada saudara suami saya yang menikah dengan lelaki yang lebih muda 15 tahun darinya, pengangguran, dan sampai sekarang hidup lelaki itu masih ditanggung penuh oleh si perempuan.
Para perempuan berumur tentu bisa hidup sebagai seorang single yang happy tanpa khawatir nelangsa seorang diri sampai mati. Toh jodoh di tangan Allah, Allah menyediakan banyak pilihan jodoh untuk seorang perempuan. Bila diminta, Allah akan memberi jodoh yang paling baik untuknya dan mempertemukannya di tempat yang baik pula (kantor, kampus, seminar, pelatihan, dan tempat baik lainnya). Tapi desakan sosial membuat mereka akhirnya menyerah dan merelakan diri ke pelukan lelaki yang tidak bisa menjadi imam dunia akhirat untuknya.
Tapi diluar sana banyak juga perempuan yang bertahan tetap single sampai mereka benar-benar menemukan lelaki yang tepat. Mereka belum menikah bukan karena mempertahankan karir, bukan juga karena mau bebas, dan mereka juga tidak pilah-pilih lelaki. Mereka “hanya” yakin akan ada lelaki yang tepat untuknya cepat atau lambat.
Guru SMA saya menikah di usia 48 tahun. Saat saya SMA umur beliau sekitar 25-27 tahun. Ia berhijab sejak belum banyak perempuan beejijab seperti sekarang. Ia salah satu guru favorit karena cara mengajarnya mudah dimengerti, dan sering pulang bareng murid-murid naik metromini. Dan setelah menikah beliau bahagia lahir batin. Ia kenalan dengan suaminya (duda 1 anak) di acara yang diadakan PGRI. Darimana saya tahu beliau happy? Dari cerita-ceritanya dan tulisan-tulisan di blognya.
Menjadi perempuan itu berat. Dan kalau Anda perempuan maka berhentilah menanyakan, “kapan nikah, anak gue aja udah tiga nih,” kepada perempuan yang Anda tahu belum menikah. Kalau tetap melakukannya Anda bisa dibilang melakukannya bullying/perundungan. Juga jangan coba-coba menawarkan perjodohan dengannya dengan menjadi mak comblang kalau tidak diminta olehnya.
Tidak ada salahnya sibuk mengurus hidup kita sendiri daripada mengurusi hidup orang yang belum menikah.
.
0 Comments
Posting Komentar