Rakyat Sudah Cerdas Tapi Takut

Tahun 2018 adalah tahun politik dimana ada pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yang dilakukan serentak di sejumlah daerah.

Dalam beberapa berita ada pernyataan dari partai politik pengusung calon kepala daerah yang mengatakan, “Rakyat sudah cerdas, tidak akan terpengaruh isu SARA dan hoax.”
Bagi saya pernyataan itu cuma untuk menghibur diri sendiri atau untuk membohongi orang lain.

Pada setiap kampanye, dimanapun di dunia ini, pasti ada isu SARA yang disebarkan secara diam-diam lewat pesan instan seperti grup WhatsApp atau terang-terangan lewat media sosial seperti Facebook dan Twitter.

Jadi pernyataan yang mengatakan kalau rakyat sudah cerdas dalam memilih calon pemimpin adalah penyataan imajinatif.

Contoh nyata (dan sudah berulang-kali disampaikan banyak pengamat politik) adalah menangnya Anies Baswedan sebagai gubernur DKI karena menggunakan Almaidah ayat 51 untuk memaksa rakyat Jakarta supaya tidak memilih Basuki Tjahaja Purnama.

Warga Jakarta sudah cerdas. Tapi mereka juga takut karena semua TPS dijaga sekelompok orang yang memelototi mana-mana saja orang yang kira-kira akan mencoblos Basuki.

Orang yang sebelum sampai ke TPS sudah yakin akan memilih Basuki bisa jadi berubah mencoblos Anies karena ngeri dan takut akan keselamatannya.

Rakyat memang cerdas karena tahu bahwa agama dijual untuk kepentingan golongan. Mereka yang tidak terpengaruh kampanye hitam bisa berubah pikiran kalau merasa keselamatan diri dan keluarganya terancam.

Kejadian serupa di DKI bisa terjadi di daerah yang tahun ini menggelar pemilihan kepala daerah jika daerah itu dinilai strategis untuk kepentingan kelompok tertentu.

Apalagi alumni yang berhasil memenangkan Anies di DKI sudah mengklaim akan melakukan aksi serupa di daerah jika ada calon pemimpin yang seperti Basuki.

Itu artinya kalau agama tidak mempan untuk warga di daerah tertentu, maka apapun akan dilakukan supaya calon yang didukungnya menang.

Jadi ketimbang terus mengulang pernyataan bahwa rakyat sudah cerdas bla bla bla, untuk menghibur diri, lebih baik bikin saja tim khusus media sosial. Bayar tim itu untuk menghalau isu negatif sang calon dan mengupayakan agar program – program si calon dibaca target pemilih.

Spanduk tetap perlu tapi tujuannya cuma untuk mengingatkan bahwa, ini lho, si ini nanti bakal jadi bupatimu. Karena sekarang hampir semua orang punya telepon seluler untuk mengakses informasi. Spanduk kurang efektif lagi kecuali untuk manula miskin yang tidak punya ponsel dan tinggal di pedesaan.

Jangan malas juga berkawan dengan pendukung lawan supaya mudah mematahkan isu jelek yang ditujukan pada calon yang kita dukung.

Semoga calon yang Anda dukung menang.

0 Comments

Posting Komentar