Makin lama orang yang mau bekerja di sawah makin sedikit. Hanya orang-orang tua (rata-rata 50 tahun keatas) yang masih mau melakukannya. Anak-anak muda dari ekonomi lemah lebih memilih bekerja di toko, pabrik, atau jadi pekerja bangunan.
Pekerja sawah diupah 50rb perhari. Tenaga mereka dibutuhkan untuk membajak sawah, mengairi, menanam benih, memupuk, menghalau hama (jika diperlukan), memanen, dan memperbaiki irigasi yang mengaliri sawah (jika diperlukan).
Masih manual? Pakai teknologi pertanian dong. Modernisasi pertanian gitu.
Sudah. Traktor termasuk salah satu teknologi pertanian (dulu membajak sawah pakai sapi atau kerbau). Mesin pemanen padi juga sudah ada. Padi langsung dipotong, dirontokkan dan masuk karung jadi gabah kering, tidak perlu lagi tenaga manusia memakai arit untuk memanennya. Tapi, mesin pemanen dan penanam padi sulit digunakan di lahan sawah yang landai dan berbukit-bukit.
Mesin-mesin seperti itu mudah digunakan dilahan pertanian yang rata (tidak berbukit) dan membentang luas. Lahan sawah yang berbukit masih memerlukan tenaga manusia.
Sama seperti membangun gedung, bagaimanapun canggihnya alat konstruksi tetap memerlukan tenaga manusia untuk melakukan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan mesin.
Mesin-mesin itu bisa didapat dengan cara sewa kepada kelompok tani atau perusahaan penggilingan padi, atau perorangan. Pada sawah tadah hujan, petani harus menyewa mesin penyedot air seharga Rp100rb – Rp150rb perjam untuk mengaliri sawah.
Jadi petani itu, seperti halnya semua pekerjaan di dunia ini, tidak gampang. Tidak sekedar menanam lalu duduk manis sampai panen. Ada banyak usaha agar bulir padi yang dihasilkan bagus dan menghasilkan nasi yang enak.
Orang yang punya lahan sawah berhektar-hektar tentu mendapat laba yang besar saat panen (setelah dipotong biaya dan upah), sementara pemilik yang cuma punya lahan 1500 – 2500 meter persegi laba bersihnya berkisar Rp2.500.000 – Rp4.000.000 tergantung kualitas padi yang dipanen.
Orang-orang yang berteriak-teriak soal cara kuno petani dalam mengelola lahan dan mengeluhkan harga beras yang mahal adalah orang-orang yang tidak paham bagaimana mekanisme dari mulai padi ditanam sampai distribusi ke tangan pemakan nasi.
I personally agree kalau pemerintah impor beras terbatas untuk cadangan nasional. Kalau terjadi gagal panen karena banjir, kemarau panjang, dan hama, maka rakyat tidak sulit mencari beras.
Karena bagaimanapun makanan pokok mayoritas Indonesia itu ya nasi. Mau diganti pakai kentang atau ubi tetap carinya nasi.
0 Comments
Posting Komentar