Indonesian Insights - Prediksi Ekonomi Indonesia Pada 2018-2019

Prediksi ekonomi Indonesia dua tahun kedepan ini bersumber dari DBS Research yang disarikan oleh Nukman Luthfie, lulusan teknik nuklir UGM yang dikenal sebagai pakar media sosial.

Ada yang khawatir dengan masalah utang Indonesia, namun laporan DBS Group Research menunjukkan sikap positif. Fundamental ekonomi masih dianggap kuat. Rasio utang pemerintah berada di bawah 30 persen dari PDB.

Gundy Cahyadi, ekonom DBS Group Research, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan naik jadi 5,3 persen dan 5,4 persen pada 2018 dan 2019.
Angka pertumbuhan itu bisa tercapai apabila pemerintah dapat mengakumulasikan berbagai indikator untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat.
Untuk memacu pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu mendorong investasi swasta yang sejak 2013 mengalami penurunan.

Upaya pemerintah melalui pembangunan infrastruktur tampaknya sudah menuai hasil. Ini terlihat dari pertumbuhan investasi yang mencapai 7,1 persen pada kuartal III-2017, tertinggi sejak kuartal I-2013.

DBS Group Research m perkirakan, defisit akan mencapai 2,6 persen pada 2018, lebih tinggi dari perkiraan pemerintah sebesar 2,2 persen, masih di bawah batasan UU yang 3% PDB.

Kenaikan defisit itu bukan didorong oleh kenaikan anggaran belanja. DBS Group Research meperkirakan, penyebabnya adalah penurunan penerimaan pajak.

Untungnya, tren harga minyak mentah dunia akan naik tahun 2018. Perhitungan DBS Group Research, setiap kenaikan harga minyak sebesar 10 persen akan memberikan tambahan anggaran Rp 6,7 triliun dalam APBN.

Indonesia masih mengandalkan sektor komoditas, terutama batu bara yang tumbuh 49 persen, minyak sawit mentah sebesar 44 persen, dan migas sebesar 21 persen. Ekspor produk manufaktur? Hanya tumbuh 2,5 persen.

Ketergantungan terhadap produk komoditas terus dikurangi melalui 16 paket reformasi kebijakan dalam dua tahun terakhir. Ini yang membuat peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business yg dirilis Bank Dunia membaik dari peringkat 106 pada 2016 menjadi 72 pada 2018.

Hasilnya? Investasi asing langsung ke sektor manufaktur pun mencatat rekor tertinggi sebesar US$ 16,6 miliar pada 2016. Sektor pertambangan bukan lagi sebagai tujuan utama investor, melainkan sektor permesinan dan elektronik.

Bagaimana dengan inflasi 2018? DBS Group Research meperkirakan harga barang stabil karena upaya pemerintah memperbaiki jalur distribusi, sehingga disparitas harga antardaerah berkurang.

Risiko inflasi terbesar berasal dari kenaikan harga minyak mentah, terutama di sektor transportasi dan listrik yang menyumbang sekitar 25 persen terhadap indeks harga konsumen.

Berbagai indikator ini diharapkan dapat mendorong konsumsi rumah tangga. Sayangnya,konsumsi barang non-pokok malah turun menjadi 4,5 persen, jauh di bawah kondisi tiga tahun lalu sebesar 6 persen.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih tinggi jika pertumbuhan konsumsi barang non-pokok atau discretionary goods masyarakat lebih tinggi,” kata Gundy Cahyadi, ekonom DBS Group Research.


Sumber : https://www.dbs.com/aics/templatedata/article/generic/data/en/GR/112017/171120_insights_indonesia_in_201819_higher_gear.xml

Twitter @nukman

0 Comments

Posting Komentar