Anda pasti punya akun Facebook, bukan?! Facebook jadi salah satu media sosial paling populer di Indonesia selain Twitter. Balita sampai nenek-nenekpun punya akun Facebook. Sementara saat ini di Indonesia (only in Indonesia) BBM merajai pesan instan yang paling banyak digunakan selain Whatsapp.
Admitted or not, kita lebih banyak berinteraksi di media sosial dan instant messaging daripada di dunia nyata. Lihat saja orang-orang muda yang tiada menit tanpa memegang ponsel, sekedar chatting, menulis status, atau mengomentari postingan orang lain.
Gilanya, bukan cuma anak muda, ibu-ibu muda juga banyak yang asyik bongkar-pasang foto profil dengan fotonya yang paling cantik. Padahal alih-alih mejeng di media sosial, ia bisa memanfaatkan waktu dengan mengobrol dan bermain bersama anak-anaknya, atau mengajari si anak keterampilan lainnya.
Kita juga mudah menemui anak-anak remaja lebih senang berkeluh-kesah dengan sesama temannya daripada kepada orangtuanya. Risikonya bila si anak dapat masukan yang salah dari temannya, bisa-bisa masalah si anak tambah rumit. Gilanya, orangtuanya seperti membiarkan si anak larut dalam dunia pesan instan tanpa mau repot bersabar hati berkomunikasi dengan sang anak.
Sebagai pemilik akun media sosial, kita juga lebih percaya pada status atau video yang diunggah di Facebook dan YouTube meski tidak ada sumbernya. Lihat contoh seorang dosen bernama Buni Yani.
Buni Yani memotong video ketika Ahok berpidato di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Selain memotong video yang durasi aslinya 1 jam lebih menjadi 1 menit, dia juga menulis transkrip dan menghilangkan kata "pakai" yang diucapkan Ahok.
Pemotongan video saja sudah memelencengkan konteks pidato yang disampaikan Ahok, apalagi sampai menulis transkrip yang tidak sesuai dengan videonya.
Alhasil Jakarta geger karena video yang dipotong dan transkrip yang menghilangkan kata "pakai" itu tersebar viral (melalui internet, media sosial, dan pesan instan). Padahal, mengutip pengurus NU Jakarta, kalau kita lihat pidato Ahok asli yang utuh tidak ada konteks Ahok menghina ulama apalagi kitab suci AlQuran.
Kita lihat contoh lain ada yang menulis status "tetangga saya kehilangan anak, pas anaknya kembali ada bekas operasi di punggung dan perut, diduga ginjal si anak diambil."
Gilanya, bejibun orang percaya berita itu. Ternyata kata kapolres Depok (Jabar) berita itu bohong, hoax alias tidak benar bin mengada-ngada.
Well, sebenarnya yang gila itu bukan media sosial tapi penggunanya yang euforia. Media sosial diciptakan untuk memudahkan berbagi momen bersama keluarga dan teman yang tinggal di lain wilayah. Tapi dimanfaatkan oleh oknum pengguna untuk menipu, memeras, membuat huru-hara dan kegaduhan serta berbuat kriminal.
Media sosial memang bisa digunakan untuk bisnis dan networking tapi tak perlu memaksakan diri untuk eksis tiap hari hanya supaya Anda dikenal orang. Membangun networking dan mengembangkan bisnis tetap lebih baik dijalankan di dunia nyata kecuali Anda berbisnis full online.
So, we remind ourselves supaya media sosial jangan sampai menguasai dan membuat kita gila, yah!
0 Comments
Posting Komentar