Dua saudara saya sebentar lagi akan menikah tapi mereka masih bingung akan tinggal dimana setelah menikah nanti, apakah tetap bersama orangtua atau mertua atau pisah mandiri. Salah satu saudara untuk sementara waktu ingin tinggal di rumah kontrakan terpisah dari orangtua dan mertua sampai mampu membeli rumah sendiri. Tapi mertuanya tidak ingin anak gadisnya hidup susah di rumah kontrakan, maka sang calon mertua menawari pasangan itu tinggal di rumahnya. Lagipula daripada uang dipakai untuk bayar kontrakan lebih baik ditabung, begitu kata sang calon mertua.
Sang gadis juga nampaknya keberatan kalau hidup di rumah kontrakan karena berarti ia harus mengerjakan sendiri urusan dari membayar tagihan listrik, air, telepon, sampai iuran sampah dan keamanan dilingkungan rumah. Belum lagi kebutuhan dapur dan mandi seperti beras, sabun cuci, gula dan lainnya, sampai urusan cuci-setrika-bebenah rumah. Hmm, kedengerannya kok ribet banget ya. Saya dan suami kan berdua kerja kantoran, mana sempat ngurus rumah. Kalo gitu nebeng orangtua dulu deh. Begitu pikir calon istri saudara saya. Akhirnya saudara saya itu mengalah dan nanti setelah menikah akan tinggal bersama mertuanya.
Benar memang, kalau setelah menikah tinggal dengan orangtua/mertua, tiap hari terasa seperti bulan madu karena pagi berangkat kerja bareng, pulang sore sama-sama. Mau makan malam diluar atau di rumah terserah saja. Apalagi sudah ada pembantu gajian orang tua yang mengurus pekerjaan rumah. Tiap weekend bisa plesiran berdua atau kumpul dengan teman-teman. Lebih lagi kalau sudah punya bayi, sehari-hari kita bisa fokus di kantor karena bayi kita dijaga orangtua sehingga tidak perlu capek ganti popok, memberi ASI, memandikan, mengganti bajunya atau sekedar menggendongnya sepanjang hari.
Eits, tampak luar memang lebih mudah hidup di rumah orangtua. Memang menyenangkan buat kita tapi buat pasangan kita, mereka mengakui atau tidak, pasti menderita beban mental. Idealisme rumah tangga tidak bisa dibangun karena harus mengikuti pola rumah tangga mertua. Kitapun tidak bisa bebas ngapa-ngapain karena harus tunduk pada "aturan" orangtua. Apalagi jika kita punya anak yang dititipkan pada orangtua, anak itu akan diasuh mengikuti pola orangtua, bukan kita sndiri. Sungguh sayang kebanyakan kita menitipkan anak untuk diasuh orang lain pada masa golden age 0 sampai 2 tahun, dimana pembentukan sel-sel otak, kerpibadian, dan karakter tumbuh maksimal. Jika si anak kurang mendapat "nafkah batin" seperti kasih sayang dan nilai-nilai spritual, maka ketika besar nanti si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang "apa adanya". Sayang bukan?!
Oya, kembali ke saudara saya yang lain, yang juga akan menikah, ia beranggapan bahwa jika menikah ia harus pisah dari orangtua dan mertua. Ia juga bilang sudah siap mental membimbing calon istri yang diakuinya masih ingin tinggal bersama orangtuanya. Karena hari pernikahannya tinggal sebulan lagi maka saudara saya itu, Alhamdulillah, sudah dapat rumah kontrakan di daerah Bekasi. Kenapa Bekasi? Katanya kalau disana dengan uang Rp10juta pertahun bisa sewa rumah yang lumayan besar. Sementara di Jakarta uang segitu cuma dapat lokasi di gang kumuh nan sempit. Lagipula kantornya ada di Cawang jadi relatif dekat dari Bekasi. Begitu keputusan salah satu saudara saya.
Pilihan menetap di rumah mertua atau ngontrak berdua adalah pilihan yang membawa konsekuensi masing-masing. Pasangan harus sepakat atas pilihan itu dan siap dengan konsekuensinya. Tapi menurut saya, mengontrak, apalagi kalau sudah punya rumah sendiri, adalah pilihan paling baik daripada nebeng mertua. Kenapa? Karena dengan menikah berarti kita berniat membentuk keluarga baru. Ibarat kapal idealnya keluarga baru dipimpin oleh nakhoda baru. Tidak lazim ada kapal baru keluar dari galangan berlayar dengan cara ditarik oleh kapal lama lantaran nakhoda, awak, dan penumpangnya ada dalam kapal lama. Pisah dengan mertua dan orangtua segera setelah menikah juga mempercepat kedewasaan suami-istri dalam berumahtangga sehingga fondasi keluarga yang kokoh akan cepat terbentuk.
Sekali lagi, apapun pilihannya yang penting telah ada kesepakatan diantara pasangan. Jangan yang satu memaksa sementara yang lain hanya iya-iya saja meski dalam hati keberatan. Tapi meski kelihatannya rumit dan ribet, tinggal terpisah dari orangtua dan mertua segera setelah menikah tetap lebih baik karena selain lebih cepat membentuk fondasi, agama (Islam) juga menyarankan demikian kepada umatnya. Kalau agama sudah menyarankan begitu pasti ada manfaatnya, bukan?!
Selamat berkeluarga :)
Sang gadis juga nampaknya keberatan kalau hidup di rumah kontrakan karena berarti ia harus mengerjakan sendiri urusan dari membayar tagihan listrik, air, telepon, sampai iuran sampah dan keamanan dilingkungan rumah. Belum lagi kebutuhan dapur dan mandi seperti beras, sabun cuci, gula dan lainnya, sampai urusan cuci-setrika-bebenah rumah. Hmm, kedengerannya kok ribet banget ya. Saya dan suami kan berdua kerja kantoran, mana sempat ngurus rumah. Kalo gitu nebeng orangtua dulu deh. Begitu pikir calon istri saudara saya. Akhirnya saudara saya itu mengalah dan nanti setelah menikah akan tinggal bersama mertuanya.
Benar memang, kalau setelah menikah tinggal dengan orangtua/mertua, tiap hari terasa seperti bulan madu karena pagi berangkat kerja bareng, pulang sore sama-sama. Mau makan malam diluar atau di rumah terserah saja. Apalagi sudah ada pembantu gajian orang tua yang mengurus pekerjaan rumah. Tiap weekend bisa plesiran berdua atau kumpul dengan teman-teman. Lebih lagi kalau sudah punya bayi, sehari-hari kita bisa fokus di kantor karena bayi kita dijaga orangtua sehingga tidak perlu capek ganti popok, memberi ASI, memandikan, mengganti bajunya atau sekedar menggendongnya sepanjang hari.
Eits, tampak luar memang lebih mudah hidup di rumah orangtua. Memang menyenangkan buat kita tapi buat pasangan kita, mereka mengakui atau tidak, pasti menderita beban mental. Idealisme rumah tangga tidak bisa dibangun karena harus mengikuti pola rumah tangga mertua. Kitapun tidak bisa bebas ngapa-ngapain karena harus tunduk pada "aturan" orangtua. Apalagi jika kita punya anak yang dititipkan pada orangtua, anak itu akan diasuh mengikuti pola orangtua, bukan kita sndiri. Sungguh sayang kebanyakan kita menitipkan anak untuk diasuh orang lain pada masa golden age 0 sampai 2 tahun, dimana pembentukan sel-sel otak, kerpibadian, dan karakter tumbuh maksimal. Jika si anak kurang mendapat "nafkah batin" seperti kasih sayang dan nilai-nilai spritual, maka ketika besar nanti si anak akan tumbuh menjadi pribadi yang "apa adanya". Sayang bukan?!
Oya, kembali ke saudara saya yang lain, yang juga akan menikah, ia beranggapan bahwa jika menikah ia harus pisah dari orangtua dan mertua. Ia juga bilang sudah siap mental membimbing calon istri yang diakuinya masih ingin tinggal bersama orangtuanya. Karena hari pernikahannya tinggal sebulan lagi maka saudara saya itu, Alhamdulillah, sudah dapat rumah kontrakan di daerah Bekasi. Kenapa Bekasi? Katanya kalau disana dengan uang Rp10juta pertahun bisa sewa rumah yang lumayan besar. Sementara di Jakarta uang segitu cuma dapat lokasi di gang kumuh nan sempit. Lagipula kantornya ada di Cawang jadi relatif dekat dari Bekasi. Begitu keputusan salah satu saudara saya.
Pilihan menetap di rumah mertua atau ngontrak berdua adalah pilihan yang membawa konsekuensi masing-masing. Pasangan harus sepakat atas pilihan itu dan siap dengan konsekuensinya. Tapi menurut saya, mengontrak, apalagi kalau sudah punya rumah sendiri, adalah pilihan paling baik daripada nebeng mertua. Kenapa? Karena dengan menikah berarti kita berniat membentuk keluarga baru. Ibarat kapal idealnya keluarga baru dipimpin oleh nakhoda baru. Tidak lazim ada kapal baru keluar dari galangan berlayar dengan cara ditarik oleh kapal lama lantaran nakhoda, awak, dan penumpangnya ada dalam kapal lama. Pisah dengan mertua dan orangtua segera setelah menikah juga mempercepat kedewasaan suami-istri dalam berumahtangga sehingga fondasi keluarga yang kokoh akan cepat terbentuk.
Sekali lagi, apapun pilihannya yang penting telah ada kesepakatan diantara pasangan. Jangan yang satu memaksa sementara yang lain hanya iya-iya saja meski dalam hati keberatan. Tapi meski kelihatannya rumit dan ribet, tinggal terpisah dari orangtua dan mertua segera setelah menikah tetap lebih baik karena selain lebih cepat membentuk fondasi, agama (Islam) juga menyarankan demikian kepada umatnya. Kalau agama sudah menyarankan begitu pasti ada manfaatnya, bukan?!
Selamat berkeluarga :)
Sip ma
BalasHapus