Diresensi oleh : Nisa Ayu Amalia Elvadiani
Weblog : resensi-nisa.blogspot.com
Sampul
Membaca
kumpulan cerita Rahasia Selma rasanya seperti membaca sebuah
penuturan. Saya cukup tergelitik dengan judul buku “Rahasia Selma”.
Rahasia Selma sendiri merupakan salah satu judul cerita dalam buku ini.
Pada bagian sampul, saya menemukan kemiripan
konsep dengan
sampul buku berjudul Lolita karangan Vladimir Nabokov. Konsep memajang kaki bersepatu
memang tidak asing, bedanya Lolita berkesan lebih menyedihkan dengan
tampilan hitam-putih daripada Rahasia Selma yang berwarna
lebih dinamis dalam pandangan saya. Sampul ini saya katakan sesuai
dengan kisah Rahasia Selma yang menggambarkan keingintahuan seorang
gadis bernama Selma akan dunia luar. Ia merasa kesepian dan kemudian
melakukan perjalanan secara sembunyi-sembunyi. Saya pikir sampul buku
ini tidak merepresentasikan isi cerita-cerita yang ada dalam bukunya.
Plot
Penulis buku ini
menggunakan alur deskripsi yang kuat. Setidaknya setiap memulai cerita
baru atau sub bab baru penulis selalu menuliskan detail suasana dan
tempat secara detail meski dengan alur waktu yang maju-mundur.
Ceritanya
menggambarkan kisah sederhana, sehari-hari dengan cara yang unik.
Pemilihan kata-kata dalam kalimat-kalimatnya pun kaya. Namun entah
bagaimana, saya kurang “akrab” dengan cerita-cerita itu. Layaknya cerita
harian, cerita-cerita di sana menjadi milik “sendiri”. Sangat aneh
rasanya ketika membaca “Pohon Kersen” misalnya saya harus menemukan
“kopi robusta” dan “Ham Lam” di tengah jajaran karakter “Mak Sol” atau
“Yu Ani”. Atau seperti membaca Rahasia Selma, ketika menemukan karakter
Pak Suhana yang muncul dan kemudian muncul lagi nama Wilhelmus. Saya
jadi kebingungan menentukan cerita ini mengambil setting di mana?
Nah,
kegalauan saya adalah, meski cara penulisannya yang liris, kaya tema
dan memiliki jalinan cerita yang kuat, saya selalu tidak paham dengan
ending-ending dari tiap ceritanya. Apakah ini berkaitan dengan cerita
catatan hati, saya tidak bisa menangkap maksudnya. Butuh pikiran yang
tenang untuk paham satu persatu ceritanya, dan pembaca bukan seseorang
yang selalu dalam keadaan serius dan penuh fokus saat membaca. Rahasia
Selma tampaknya tidak cocok untuk pembaca cepat. Kehilangan satu
paragraph saja maka hilanglah jalinan cerita. Berkaitan dengan endorser
seperti yang saya kemukakan sebelumnya, hal ini lah yang saya rasa
menjadi penyebab mengapa penulis berusaha menarik perhatian pembaca
puisi. Cerita yang disuguhkan sarat dengan bahasa symbol yang lekat
dengan tema kemanusiaan yang berat, penyajian bahasanya ini lah yang
memungkinkan bahwa penikmat puisi atau bahasa syair diharapkan menikmati
karya ini.