Indonesia sedang bersukacita karena tim nasional sepakbola terbilang sukses di Piala AFF Suzuki Cup 2010 dengan menjadi juara grup dan masuk semifinal. Kaos timnas ludes dan tiket untuk semua kategori terjual habis. Sesi latihan timnas selalu dijubeli pengunjung yang ingin menyaksikan ketampanan Irfan Bachdim dari dekat. Ya, Irfan Bachdim adalah idola baru dari dunia sepakbola Indonesia.
Irfan
Bachdim adalah pendatang baru. Ia diimpor dari Belanda dan diberi
kewarganegaraan Indonesia kemudian diplot jadi pemain nasional. Selain
Irfan ada Christian Gonzales yang juga diberi kewarganeraan Indonesia.
Meski sama-sama pemain naturalisasi, Christian sudah lama dikenal karena
sudah 6 tahun bermain sepakbola di Indonesia sebelum jadi WNI. Ia juga
sudah 5 tahun tidak pernah pulang ke kampung halamannya di Uruguay dan
telah menikah dengan perempuan Indonesia. Bahasa Indonesia Christian
sangat fasih dibanding Irfan. Sampai tulisan ini dibuat, Irfan lebih
sering berbahasa Inggris.
Christian,
pemain Persib Bandung berjulukan El Loco (Si Gila) ini bermain sama
baiknya dengan Irfan Bachdim meski usianya sudah 34 tahun. Usia pensiun
untuk kebanyakan atlet. Ia bahkan menyumbang dua gol yang mengantar
Indonesia ke final bersama Malaysia.
Jalan
naturalisasi yang dilakukan PSSI ini memang ampuh mendongkrak pamor
sepakbola. Lebih lagi karena pemain-pemain naturalisasi punya wajah bule
yang aduhai dipandang dari mata orang Indonesia. Pun pelatih timnas
sekarangpun adalah Alfred Riedl dari Austria yang juga bule. Riedl juga
membawa asistennya, juga dari Austria, bernama Wolfgang Pikal. Ini membuat orang berduyun-duyun datang ke stadion untuk melihat permainan timnas rasa impor.
Naturalisasi
lazim terjadi di beberapa negara, seperti Korea Selatan, Filipina, dan
Jepang. Namun itu karena sepakbola bukan olahraga utama dan mereka tidak
punya stok pemain berbakat di negaranya. Lain halnya di Indonesia.
Di
negeri ini, sepakbola adalah olahraga rakyat. Setiap anak-anak hampir
dipastikan pernah bermain bola. Pada setiap peringatan hari kemerdekaan
banyak kampung yang menggelar pertandingan sepakbola. Siaran Liga Primer
Inggris, Seri A Liga Italia, atau Primera La Liga Spanyol selalu
mendapat penonton yang tak sedikit. Juga kita punya SSB (sekolah
sepakbola) yang berdiri dimana-mana. Artis Julia Perezpun membuka
sekolah sepakbola karena ia yakin tidak akan kekurangan murid.
Karenanya,
naturalisasi lebih pas dilakukan jika kita adalah negara dengan
penduduk yang tidak menjadikan sepakbola sebagai olahraga favoritnya.
Kekurangan stok pemain berbakat lebih disebabkan pada kegagalan
pembinaan usia dini, bukan karena kita tak punya bibit unggul.
Selama
ini PSSI yang dipimpin Nurdin Halid jarang menggelar
kompetisi-kompetisi untuk pemain-pemain muda. Padahal kompetisi untuk
anak dan remaja penting untuk mengasah bakat mereka dan menyaring pemain
unggul. Akan halnya kompetisi yang diselenggarakan swasta seperti Liga
Danone dan Liga Medco kurang bisa membangkitkan pembinaan sepakbola usia
dini karena tidak seiring sejalan dengan kemauan PSSI yang maunya serba
instant.
Tambah
parah lagi karena klub sepakbola profesional di Indonesia tidak punya
program pembinaan pemain muda. Klub yang punya pembinaan pemain junior
secara berkesinambungan hanya Arema Indonesia, Persebaya Surabaya, dan
Pelita Jaya. Klub lain seperti Persipura Jayapura, PSM Makassar, dan
Persib Bandung juga punya pembinaan pemain muda meski nilainya tak
sebagus tiga klub diatas. Sementara diluar itu, klub lain hanya membeli
pemain yang sudah jadi. Padahal pembinaan pemain muda seperti ini
penting supaya klub selalu punya stok pemain dengan kualitas unggul.
Banyak
pihak beranggapan bahwa naturalisasi lebih menghemat biaya daripada
mencetak anak-anak untuk jadi pemain unggul. Selain makan waktu lama,
pembinaan juga butuh banyak biaya. Ini tak salah, namun jangan lupa,
manfaat jangka panjang dari pembinaan usia muda jauh lebih besar
daripada sekedar mengimpor pemain.
Negara
ini kelak bisa mengekspor pemain bila berhasil mendidik anak-anak
sedari kecil. Seperti dulu Kurniawan Dwi Yulianto pernah bergabung di
Sampdoria, Italia, meski hanya jadi pemain cadangan. Juga ada Bambang
Pamungkas yang pernah merumput di Selangor FC. Jadi soal dana itu tak
perlu dipersoalkan karena anggaplah itu sebagai investasi. Akademi
sepakbola Barcelona di Spanyol bisa jadi contoh pembinaan yang berhasil.
Para siswa jebolannya sukses dimana-mana memperkuat banyak liga dunia.
Banyak jebolan akademi ini memperkuat tim nasional Spanyol yang jadi
juara dunia pada Piala Dunia kemarin. Lionel Messi, pemain terbaik dunia
2010, adalah salah satu jebolan akademi sepakbola Barcelona. Di dalam
negeri ada Persebaya dan Persipura yang pembinaan usia mudanya berhasil
menjadi pemasok utama para pemain klub.
Lebih
dari itu perusahaan-perusahaan Indonesia tampaknya tak keberatan
mensponsori kompetisi-kompetisi sekolah sepakbola sebagai bagian dari
biaya promosi. Jadi tidak ada pembinaan usia muda yang sia-sia kalau
dikelola dengan benar.
Sementara
itu pada program naturalisasi, seorang pemain kemungkinan besar akan
punya dua kewarganegaraan. Siapa bisa menjamin kewarganegaraan ganda itu
tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari?
Lebih
jauh lagi, naturalisasi bisa membuat sepakbola Indonesia kelak kembali
mati suri. Ini bisa terjadi karena pemain-pemain muda berbakat merasa
"dianaktirikan" dengan kehadiran pemain-pemain impor. Kemungkinan pula
akan timbul sifat "malas bersaing dan berlatih" dari pemain-pemain asli
Indonesia karena mereka mengganggap percuma berkompetisi jika PSSI lebih
suka menjadikan pemain impor sebagai tim nasional ketimbang memilih
mereka.
Akankah hal-hal seperti itu dipikirkan oleh para pendukung program naturalisasi?
Sekarang,
sementara ini, mari kita terus dukung pemain sepakbola nasional dan
berdoa semoga sepakbola Indonesia, terutama PSSI tidak lagi dikuasai
para mafia.
0 Comments
Posting Komentar