Seberapa
banyak dari kita, umat Islam Indonesia yang benar-benar memaknai hari
Lebaran alias Idul Fitri sebagai hari kemenangan? Kemenangan setelah
selama sebulan penuh dari pagi sampai sore menahan segala hawa nafsu
dan keluar sebagai pemenang yang dosa-dosanya dihapus. Sampai dimana
kita menyadari bahwa untuk melengkapi kemenangan itu kita diwajibkan
minta maaf dan memaafkan orang-orang agar sempurna kesucian kita tanpa
dosa seperti bayi yang baru lahir?
Saya
kira hanya sedikit dari kita yang memahami hal itu, termasuk saya.
Karena sayapun ketika Ramadan inginnya selalu makan enak. Puasa saya
kurang khusyuk karena sibuk memikirkan nanti buka puasa makan apa, juga
sibuk berburu barang diskon di pusat perbelanjaan. Malahan jauh sebelum
Lebaran datang saya sudah menimbun barang-barang, baik yang akan dipakai
atau tidak, saat Lebaran tiba. Padahal saya tahu Lebaran bukan hari
pesta. Islam tidak menganjurkan pesta kecuali pesta pernikahan.
Ya,
saya mewakili puluhan juta umat Islam Indonesia yang sudah
terkontaminasi gaya hidup barat dimana pesta adalah segalanya.
Padahal
Islam justru mewajibkan umatnya puasa agar paham kesederhaan. Paham
penderitaan orang miskin, paham ajaran Islam yang sebenarnya, dan paham
arti iman dan takwa pada Allah.
Dan
seperti jutaan umat Islam lainnya saya juga mudik, meskipun tak punya
kampung. Saya ikut orangtua yang mudik kekampung halaman mereka,
meskipun orangtua saya juga sebenarnya sudah lahir dan besar di Jakarta.
Dan, inilah yang unik dari Idul fitri di Indonesia; mudik.
Tradisi
mudik hanya ada di Indonesia karena pembangunan tidak merata dan orang
terlalu merasa sibuk untuk silaturahmi selain hari Lebaran. Dan
pemberian THR (tunjangan hari raya) juga rasanya hanya ada di
Indonesia. Adanya THR menjadi salah satu sebab orang kalap belanja. Dan
kalapnya belanja disebabkan oleh nafsu memberikan banyak barang dan
uang kepada sanak kerabat supaya dianggap sudah berhasil hidup di kota
besar.
Memberi
barang kepada orang lain, dalam Islam, tidak dilarang. Menghadiahkan
pakaian atau makanan juga dibolehkan, dan memberi uang juga tidak
dilaknat, hanya saja kalau pemberian itu melampaui kemampuan kita
bukannya dapat pahala malah dapat dosa. Kenapa? Karena kita dianggap
pamer dan berlebihan. Dua hal yang tidak disukai Islam.
Dulu
saya pernah punya sahabat sekaligus rekan kerja yang gajinya dibawah
saya., ia juga tidak datang dari keluarga kaya. Gajinya meningkat dua
kali lipat karena ia dapat THR. Sebelum pulang ke kampung ia belanja
baju, celana, sarung, dan mukena di Pasar Tanah Abang untuk diberikan
kepada orangtua, adik-adiknya. Ketika sampai di kampung ia
membagi-bagikan uang kepada sanak saudara.
Dan ketika kembali ke Jakarta
ia mengeluh bahwa seluruh uangnya habis tak bersisa. Ia bahkan harus
berhutang untuk biaya transportasi balik dari kampung ke Jakarta. Ketika
saya tanya kenapa harus membagikan uang kalau ia sendiri uangnya
pas-pasan? Ia menjawab : "Ga enak, Yan. Orang kan taunya aku kerja
kantoran, masak orang kantoran ga punya duit, malu kan."
Lalu
saya timpali lagi, kalau gitu kasih uangnya sedikit-sedikit saja yang
penting semua kebagian. Dan iapun menjawab : "Ga bisa, Yan, dari dulu
aku selalu ngasih minimal seratus ribu buat sepupu-sepupu. Kalo
dikurangin kan ga enak. Kalau orangtua sih ga dikasih ga apa-apa, yang
penting orang lain soalnya kan buat kebanggaan orangtua juga kalo aku
bisa ngasih ke saudara yang lain."
Olala.
Dalam hati saya menghitung. Kalau ia punya 10 sepupu (ia belum menikah)
berarti 10 dikali seratus ribu sama dengan satu juta rupiah. Wah jelas
uangnya langsung ludes. Lagipula bukannya orangtua harusnya diutamakan
daripada sepupu? Dan alhasil ia terpaksa meminjam kas kantor untuk
membayar hutangnya itu. Sungguh melenceng dari ajaran Islam, bukan?!
Ada
lagi sahabat saya yang menggadaikan emasnya sebelum puasa mulai dengan
alasan jaga-jaga kerena kebutuhan untuk bulan puasa pasti meningkat
sementara suami belum memberi uang ekstra. Uang hasil gadai emas itu ia
gunakan untuk membeli sembako dan keperluan lain seperti sirup,
buah-buahan, daging-dagingan, dan aneka kue untuk satu bulan penuh. Dan
kebetulan ia belanja dengan saya dan ketika saya tanya untuk apa belanja
keperluan rumah tangga untuk sebulan? Biasanya kan mingguan.
Ia
menjawab : "Kalau belanja sebelum puasa banyak diskon trus kalo ga
belanja sekarang nanti ga sempet lagi. Kalau puasa apalagi menjelang
Lebaran kan harga makin mahal."
Oh
ya ya kalau ratusan ribu orang berpikir sama dengannya pantas saja
supermarket selalu sesak dan pastinya harga-harganya naik sebelum
waktunya.
Dan
beberapa hari sebelum Lebaran ia menebus emasnya di pegadaian berkat
uang THR suaminya. Ia bilang emas itu akan dipakai saat Lebaran di
kampung. Dia juga bilang kalau ketemu saudara tanpa perhiasan emas
rasanya gimana gitu, masak emas saja tak punya. Hihihi, saya jadi tak
enak, soalnya saya tak punya emas sampai berenteng-renteng begitu. Orang
mau bilang saya miskin tak apa, lha wong saya memang bukan orang kaya.
Lalu
para sahabat yang saya ceritakan diatas itu kemudian pulang ke kampung
halaman dua hari sebelum Lebaran. Sementara saya tetap di Jakarta karena
orangtuanya orangtua saya juga sudah meninggal dan keluarga mereka ada
di Jakarta semua. Jadi kami tidak lagi mudik.
Meskipun
tradisi mudik sudah tidak murni silaturahmi karena sudah diracuni
konsumerisme, tapi mudik adalah suatu kebanggaan. Sebagian orang
benar-benar tulus ikhlas mudik untuk temu kangen dengan sanak keluarga
tanpa dibebani ia harus membawa harta berlimpah ke kampung. Dan bagi
sebagian yang lain mudik adalah penunjukkan identitas bahwa yang
bersangkutan menganggap dirinya sudah sukses di kota besar, terlepas
dari kenyataan bahwa hidupnya di kota besar tak beda jauh dengan orang
di kampung.
0 Comments
Posting Komentar