Beberapa waktu ini banyak cerita dan berita tentang cara mengajar guru yang kelewatan, seperti mencubit, memukul, menjemur di terik matahari, sampai melempar dengan benda berat. Kisah cara mengajar guru kepada muridnya ini membuat saya ingat kejadian serupa saat masih sekolah dulu. Ini “sepenggal kisahnya.”
Tahun 1987 – 1993 saya sekolah di SDN Rawa Barat 01 Kebayoran Baru Jaksel (sekarang sekolah ini digantikan oleh SMK negeri). Di sekolah itu ada 2 guru yang terkenal kejam karena tak segan-segan memukul dan mencubit, bahkan melempar penghapus kayu kepada murid-murid yang dianggap nakal. Guru pertama adalah Ibu Ratna (almarhumah), guru kelas 1 dan Pak Rahman, guru kelas 4.
Beruntung bagi saya, karena dianggap anak pintar dan berprestasi, saya jarang kena cubitan atau pukulan kedua guru itu. Malang bagi teman-teman saya, kalau berisik di kelas, mereka sering kena pukul telapak tangannya oleh penggaris besi atau tamparan yang diayunkan Pak Rahman. Kalau ketahuan ngobrol di kelas, penghapus kayu akan mampir ke kepala mereka, kalau PR-nya salah, apalagi tidak dikerjakan, mereka akan disuruh berdiri depan kelas dengan satu kaki.
Tahun 1993 – 1996 saya masuk SMPN 56 di Jalan Melawai (sekarang sekolah ini pindah ke daerah Jeruk Purut). Disini juga ada guru yang sama sadisnya seperti dua guru saya di SD. Satu guru bernama Ibu Lina, guru bahasa Inggris yang suara cemprengnya sanggup memecahkan telinga siapapun. Ia hobi sekali mencubit lengan siswa sampai merah sedikit biru. Juga kerap memukul pakai penggaris ke telapak tangan siswa.Padahal kesalahan siswa sepele saja, tak bisa menghafal vocab atau lupa susunan grammar. Beruntunglah saya, bersama beberapa siswa lain, karena merupakan anggota paskibra yang dianggap berprestasi mengharumkan nama sekolah dengan selalu menang lomba, maka kami sering bebas dari hukuman dan dapat dispensasi untuk tidak mengerjakan PR. Karena itulah kami sering terhindar dari cubitan dan teriakan maut Bu Lina.
Guru yang lain bernama Pak Simatupang, guru olahraga. Kalau mengajar di lapangan, tak peduli salah atau tidak, suka sekali memukul pantat siswa perempuan. Siswa lelaki juga sering kena tamparan atau pukulannya meski tidak melakukan kesalahan. Saya ingat suatu hari Pak Simatupang pernah membenturkan kepala dua teman satu sama lain. Untunglah tidak terjadi apa-apa pada mereka. Kejadian itu sempat membuat satu kelas kaget setengah mati.
Kalau sedang berbaris menjelang olahraga dimulai, Pak Simatupang sering menendang siswa laki dan memukul pantat siswa perempuan. Entah apa tujuannya.
Tahun 1996 – 1999 saya belajar di sekolah swasta milik Deplu, SMU Cenderawasih 1 di Jalan Fatmawati. Alhamdulillah, di sekolah ini tenang, nyaman, dan damai. Tidak ada teriakan guru, tidak ada pukulan atau cubitan, tidak ada penghapus melayang, dan sama sekali tidak ada guru yang galak, kecuali guru yang pelit senyum. Memang, karena sekolah swasta, uang sekolah kami mahal. Saat teman saya yang sekolah di SMUN 6 iurannya 35 ribu, sekolah saya 81 ribu.
Untuk guru yang gemar memukul daripada menasehati, beruntunglah orang sekarang lebih peka, jadi mau tidak mau Anda harus mengubah cara mengajar sebelum terjadi sesuatu pada Anda dan murid Anda. Sekarang ini kalau guru sekali saja mencubit seorang murid, orang tua bisa lapor dan guru bisa dikenai UU Perlindungan Anak maupun tindak pidana pasal.
Tahun 1987 – 1993 saya sekolah di SDN Rawa Barat 01 Kebayoran Baru Jaksel (sekarang sekolah ini digantikan oleh SMK negeri). Di sekolah itu ada 2 guru yang terkenal kejam karena tak segan-segan memukul dan mencubit, bahkan melempar penghapus kayu kepada murid-murid yang dianggap nakal. Guru pertama adalah Ibu Ratna (almarhumah), guru kelas 1 dan Pak Rahman, guru kelas 4.
Beruntung bagi saya, karena dianggap anak pintar dan berprestasi, saya jarang kena cubitan atau pukulan kedua guru itu. Malang bagi teman-teman saya, kalau berisik di kelas, mereka sering kena pukul telapak tangannya oleh penggaris besi atau tamparan yang diayunkan Pak Rahman. Kalau ketahuan ngobrol di kelas, penghapus kayu akan mampir ke kepala mereka, kalau PR-nya salah, apalagi tidak dikerjakan, mereka akan disuruh berdiri depan kelas dengan satu kaki.
Tahun 1993 – 1996 saya masuk SMPN 56 di Jalan Melawai (sekarang sekolah ini pindah ke daerah Jeruk Purut). Disini juga ada guru yang sama sadisnya seperti dua guru saya di SD. Satu guru bernama Ibu Lina, guru bahasa Inggris yang suara cemprengnya sanggup memecahkan telinga siapapun. Ia hobi sekali mencubit lengan siswa sampai merah sedikit biru. Juga kerap memukul pakai penggaris ke telapak tangan siswa.Padahal kesalahan siswa sepele saja, tak bisa menghafal vocab atau lupa susunan grammar. Beruntunglah saya, bersama beberapa siswa lain, karena merupakan anggota paskibra yang dianggap berprestasi mengharumkan nama sekolah dengan selalu menang lomba, maka kami sering bebas dari hukuman dan dapat dispensasi untuk tidak mengerjakan PR. Karena itulah kami sering terhindar dari cubitan dan teriakan maut Bu Lina.
Guru yang lain bernama Pak Simatupang, guru olahraga. Kalau mengajar di lapangan, tak peduli salah atau tidak, suka sekali memukul pantat siswa perempuan. Siswa lelaki juga sering kena tamparan atau pukulannya meski tidak melakukan kesalahan. Saya ingat suatu hari Pak Simatupang pernah membenturkan kepala dua teman satu sama lain. Untunglah tidak terjadi apa-apa pada mereka. Kejadian itu sempat membuat satu kelas kaget setengah mati.
Kalau sedang berbaris menjelang olahraga dimulai, Pak Simatupang sering menendang siswa laki dan memukul pantat siswa perempuan. Entah apa tujuannya.
Tahun 1996 – 1999 saya belajar di sekolah swasta milik Deplu, SMU Cenderawasih 1 di Jalan Fatmawati. Alhamdulillah, di sekolah ini tenang, nyaman, dan damai. Tidak ada teriakan guru, tidak ada pukulan atau cubitan, tidak ada penghapus melayang, dan sama sekali tidak ada guru yang galak, kecuali guru yang pelit senyum. Memang, karena sekolah swasta, uang sekolah kami mahal. Saat teman saya yang sekolah di SMUN 6 iurannya 35 ribu, sekolah saya 81 ribu.
Untuk guru yang gemar memukul daripada menasehati, beruntunglah orang sekarang lebih peka, jadi mau tidak mau Anda harus mengubah cara mengajar sebelum terjadi sesuatu pada Anda dan murid Anda. Sekarang ini kalau guru sekali saja mencubit seorang murid, orang tua bisa lapor dan guru bisa dikenai UU Perlindungan Anak maupun tindak pidana pasal.
Jadi, marilah berbagi ilmu bukan berbagi kekerasan.
0 Comments
Posting Komentar