Pot Subur Hutan Gundul

Seratus juta pohon harus ditanam di Indonesia, kata pemerintah beberapa tahun lalu.
Maka mulailah ibu-ibu PKK, anak sekolah, pegawai negeri, sampai tentara semua tumplek-blek menanam tumbuhan di pot, kebun, halaman rumah dan sekolah, atau taman kota. Bagus sekali dan perlu didukung supaya kota jadi segar dan hijau royo-royo. Penduduk jadi sadar lingkungan.

Tapi sepertinya ada yang ketinggalan nih. Ketinggalan ini mungkin hanya berlaku bagi saya yang kurang pergaulan alias kuper dan kurang informasi. Sepertinya program reboisasi atawa penanaman kembali hutan kok kurang digalakkan?! Bukankah hutan yang rusak dan gundul merupakan salah satu penyebab pemanasan global?! Rusaknya hutan juga berarti hilangnya habitat hewan dan musnahnya keanekaragaman hayati, bukan?! Jadi kenapa tidak ada usaha keras untuk menyelamatkan hutan selain merazia kayu gelondongan ilegal?!

Penyelamatan hutan (reboisasi, penghijauan, dan pemeliharaan) lebih mendesak dilakukan karena selain menghambat pelepasan gas-gas hasil polusi, punahnya hewan karena habitatnya rusak bisa dicegah, juga bencana seperti banjir dan longsor. Selain itu pepohonan memang mengikat gas karbondioksida, karena itulah ia mampu mencegah polusi dan membuat udara segar. Namun, pohon-pohon yang mati akan melepaskan kembali karbondioksida yang dulu disimpan pada jaringan kulitnya. Jika tidak ada pohon baru yang menggantikan mengikatnya, maka karbondioksida itu akan lepas ke atmosfer dan menumpuk di rumah kaca, menyebabkan panas yang dikirim ke bumi lebih banyak.


Karena itulah rehabilitasi hutan harus sama galaknya dilakukan seperti penanaman pohon oleh ibu-ibu, anak-anak, dan tentara itu. Memang tak mudah melakukannya.

Pepohonan yang akan ditanam dihutan tentu bukan bibit pohon kecil-kecil seperti yang ditanam di pot atau kebun, melainkan tanaman yang sudah besar dan cukup umur. Untuk memelihara pohon yang akan ditanam di hutan, dari pembibitan sampai cukup umur perlu waktu bertahun-tahun, ada yang sampai 10 tahun. Belum lagi berhadapan dengan perusahaan pemegang HPH, juga masyarakat yang ingin mengubah hutan menjadi kebun sawit dan karet. Selain itu butuh pengawasan, pula butuh dana yang besar.

Tapi semua pasti bisa dilakukan. Kalau peraturan dan pengawasan berjalan sesuai koridor, masyarakat dilibatkan, dan sabar (karena pemulihan hutan butuh waktu lama), tentu kerusakan hutan masih bisa diperbaiki.
Atau mungkin negara kita merasa tak perlu serius melakukan rehabilitasi hutan karena memang “sudah tak punya hutan”?! Padahal hutan hujan di Indonesia adalah salah satu yang terbesar dan berperan besar bagi pengendalian iklim di bumi. Ya sudahlah.
Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”


0 Comments

Posting Komentar