Cerpen: Sepiring Ubi Rebus

Hujan sudah mulai reda meski masih menyisakan rintik-rintiknya yang dingin. Andri menarik rapat jaketnya. Perasaan bosan mulai menyergap dirinya. Tuan rumah, Pak Dimar, yang juga adalah direktur di departemennya, belum juga keluar menemui mereka.

“Mas Andri enggak makan ubinya? Enak lho! Lumayan jadi pengganti makan malam,” kata Kimun sambil menyodorkan sepotong ubi rebus ke hadapan Andri.

Andri menggeleng, “Aku sudah kenyang.”

Sebenarnya Andri malas sekali berkunjung ke rumah atasannya itu. Hari Jumat jalanan selalu macet, akan bertambah parah macetnya kalau hujan. Jam berapa nanti dia akan bertemu teman-temannya di klub boling, sekarang saja sudah pukul delapan malam.

Pak Dimar baru pulang dari luar negeri tadi siang, sementara proposal yang sudah ditandatangani Pak Dimar harus siap Senin pagi. Itu harus sebabnya dengan terpaksa Andri mengantar draft proposal malam ini.

Beginilah risiko karyawan baru, selalu kena tugas yang tak mengenakkan. Pak Dimar direktur yang memimpin departemen marketing dan komunikasi di kantor pusat, tapi Andri baru satu dua kali bertatap muka dengan beliau karena dia juga baru satu bulan bekerja di perusahaan asuransi milik negeri Elizabeth itu. 
Jadi sungguh canggung sekali Andri bertamu ke rumah Pak Dimar.

Untunglah Kimun si office boy, yang memang dikenal sebagai office boy favorit di departemen Pak Dimar, bersedia menemaninya. Padahal tadi siang Andri hanya basa-basi memintanya ikut ke rumah Pak Dimar. Alasan Andri iseng mengajak Kimun karna dia belum berkeluarga sepertinya, jadi Kimun tidak bakalan terbebani jika pulang larut malam.

Yang menjadi soal, hari ini Andri sudah punya janji yang sudah dibuat jauh hari sebelumnya dengan teman-teman kuliahnya untuk pergi ke arena boling.

“Kalau sama Pak Dimar, apa yang sudah disuguhkan kepada kita artinya benar-benar boleh dimakan, Mas,” kata Kimun berusaha supaya Andri juga menikmati hidangan yang disediakan. "Bukan sekedar basa-basi."

Andri hanya tersenyum. Kimun mengambil potongan talas goreng yang langsung masuk ke mulutnya. Tak lama seruputan teh panas terdengar pula dari mulut Kimun.

Apa dikira mukaku seperti orang kampung jadi dihidangkan ubi rebus dan talas goreng? pikir Andri. Kalau dilihat dari besar dan megahnya rumah Pak Dimar yang berada di kompleks perumahan paling mewah di Jakarta, sulit membayangkan bahwa yang dihidangkan kepada tamu adalah ubi rebus dan talas goreng. Tanpa sebab yang jelas tiba-tiba ada rasa tersinggung berdesir di dada Andri yang disuguhi ubi rebus dan talas goreng. 
Ilustrasi (Cookpad/Ecefa)

Desiran yang berasal dari egonya sebagai lelaki metropolitan yang dibesarkan dengan moderen oleh orang tuanya.

“Maaf lama menunggu. Ayo silahkan dimakan lagi, mau tambah tehnya?” sapa Pak Dimar dari balik pintu besar rumahnya. Pak Dimar memakai sarung hitam dengan polo shirt warna hijau.

“Makasih, Pak,” jawab Andri dan Kimun bersamaan. "Ini sudah cukup," sahut Kimun kemudian.

Beberapa detik setelah Kimun menutup mulutnya, perempuan setengah baya pekerja rumah tangga Pak Dimar datang mengantar tiga cangkir kopi dan ubi rebus lagi. Setelah pekerjanya pergi, Pak Dimar mengambil sepotong ubi rebus dan mengunyahnya. Melihat Pak Dimar makan ubi rebus ketersinggungan yang tadi kental di dada Andri mendadak luntur dan berubah menjadi rasa malu.

“Ayo silahkan dimakan lagi. Santai saja, ini kan bukan di kantor dan bukan pula jam kantor,” kata Pak Dimar ramah.

“Kalian kena macet ya?” tanya Pak Dimar lagi. Pria lima puluh tahunan itu bertanya penuh perhatian.

“Sedikit, Pak,” Andri menjawab rikuh. Ia bingung harus basa-basi bagaimana di rumah bosnya itu.

“Ubi dan talasnya enak sekali, Pak. Rasanya pulen,” tiba-tiba Kimun menyeletuk. Andri merasa Kimun berani sekali.

Pak Dimar tertawa kecil. Rupanya Pak Dimar senang dengan kepolosan Kimun.

“Alhamdulillah kalau kamu suka. Ini penganan kegemaran saya. Kemarin saya ke luar negeri untuk berobat, dokter bilang penyakit saya tambah parah. Saya jadi sakit karena dalam undangan rapat atau pesta sering makan, yang kalian bilang makanan enak itu. Akhirnya segala macam penyakit saya derita. Karena itulah untuk menghindari penyakit saya makin parah, saya lebih doyan ubi rebus,” kata Pak Dimar yang tertawa pelan.

Oh, jadi Pak Dimar ke luar negeri benar untuk berobat. Andri jadi malu karena lebih percaya pada gosip teman-temannya yang bilang Pak Dimar ke luar negeri untuk berlibur dan belanja. Padahal Mas Wingky, manajernya di kantor, sudah mengatakan Pak Dimar berobat.

“Mana draft proposal yang kamu bawa?” tanya Pak Dimar pada Andri.

“Ini, Pak,” Andri menyerahkan amplop putih besar berisi draft dimaksud. Sambil menunggu Pak Dimar selesai membaca mau tak mau Andri menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah. 

Malam itu menjadi malam yang akrab bagi Andri dan Kimun di rumah Pak Dimar. Apalagi, selagi menunggu Pak Dimar memeriksa proposal, Bu Dimar sempat menghangatkan suasana dengan cerita-cerita romansa bersama Pak Dimar selagi mereka muda.

Sesekali Andri dan Kimun saling menceritakan kisah dan pengalaman masing-masing karena diminta Bu Dimar. Kimun ternyata punya banyak cerita menarik dari masa kecilnya di pedalaman Gunung Kidul sana.

Kesempatan itu juga dimanfaatkan Andri untuk berdiskusi seputar industri asuransi yang dia masih awam didalamnya. Dari cerita-cerita Pak Dimar Andri berkesempatan menyerap banyak ilmu dan pengalaman berharga. 

Sebelumnya empat tahun Andri bergelut di bidang periklanan, bidang yang amat bertolak belakang dari asuransi. 

Bayangan Andri tentang sosok Pak Dimar seperti yang dia simpulkan dari rekan-rekan kantornya ternyata tidak terbukti. Pak Dimar memang orang kaya sejak lahir, tapi pembawaannya lebih membumi daripada Andri.

Tak terasa waktu bergerak makin malam. Pukul sepuluh malam hampir lewat. Andri melirik Kimun dan menunjuk jam tangannya. Kimun mengangguk tanda mengerti.

“Maaf, Pak. Sudah jam sepuluh lewat, kami mau pamit dulu, kuatir makin mengganggu istirahat Bapak,” kata Andri.

“Iya, Pak,” Kimun mengiyakan.

“Oh iya. Kalian sudah kemalaman ya, harus istirahat juga,” jawab Pak Dimar. Ia lalu memanggil istrinya. Ibu Dimar pun menghampiri dengan membawa dua bungkusan di tangannya.

“Ini oleh-oleh untuk kalian,” Ibu Dimar menyerahkan bungkusan itu masing-masing ke tangan Andri dan Kimun membuat mereka berdua semringah sekaligus canggung  menerimanya.

Seperti anak panti asuhan saja berkunjung diberi bingkisan, pikir Andri.

“Juga ini untuk pengganti transpor kalian berkunjung kesini,” lagi-lagi Ibu Dimar menyerahkan dua amplop berisi lima lembar seratus ribuan langsung ke tangan Andri dan Kimun, membuat mereka takbisa menolak sekaligus takbisa menahan malu.

“Terima kasih, Bu. Kami jadi malu karena merepotkan seperti ini,” kata Kimun menempatkan diri berbicara mewakili Andri.

“Iya, Bapak dan Ibu mestinya tak usah repot-repot,” sambung Andri.

“Tidak apa, kan tidak setiap hari kalian kesini. Setiap hari pun boleh. Kalau saya tidak ada ngobrol saja dengan Mas Kirman," ujar Pak Dimar sambil menyebut nama penjaga keamanannya. 
Bu Dimar mengiyakan.

“Kalau begitu kami pamit pulang, Pak Dimar, Ibu,” kata Andri dan Kimun sambil menyalami keduanya dengan tubuh sedikit membungkuk tanda hormat.

Dalam perjalanan pulang Andri mengutarakan perasaannya pada Kimun yang lalu ditimpali Kimun, “Kan sebelumnya saya sudah bilang sama Mas Andri, Pak Dimar itu beda, makanya saya hormat sekali sama beliau,” katanya tersenyum lebar.

Andri juga merasakan hal yang sama seperti Kimun. Dalam sinar lampu-lampu kota yang buram karena rintik hujan, Andri mengemudikan mobilnya dengan senang dan lega. Perasaan ini lebih menyenangkan dibanding main boling bersama teman-temannya.

0 Comments

Posting Komentar