Asmara Sebundar Bola

Budi mematut-matut dirinya di depan cermin. Penampilan Budi rapi sekali. Tubuhnya menebarkan bau harum bagi hidung siapapun yang kebetulan lewat di dekatnya. Melihat penampilan Budi yang seperti itu, dari balik pintu kamar Budi yang terbuka, Ponaryo masuk dan tak tahan untuk tak berkomentar.

“Rapi sekali seperti mau kondangan,”ujar Ponaryo sambil senyum-senyum.Yang ditanya diam saja namun menebarkan senyum lebar sambil menggeleng.

“Mau kencan.” Ponaryo mengangkat sebelah alisnya.

“Dengan siapa?” tanya Ponaryo penasaran.

“Perempuan cantik.” jawab Budi singkat.

Malam sudah menanjak tinggi waktu Budi mematut dirinya di cermin. Matahari sudah resmi berganti tugas dengan bintang dan bulan di malam minggu yang cerah ini. Keramahan sinar bulan membuat suasana di asrama yang penghuninya para pemain sepakbola ini terasa menyenangkan. Asrama ini memang ditinggalkan beberapa penghuninya yang sedang makan malam dengan keluarganya, juga ditinggal penghuni yang jalan-jalan di pusat perbelanjaan terdekat. Sementara yang lain pergi, ada penghuni lain yang memutuskan tinggal di asrama sambil bermain playstation atau menonton DVD. Mereka yang masih tinggal itu termasuk Budi dan Ponaryo.




“Siapa perempuan cantik itu?” tanya Ponaryo lagi tambah penasaran.

“Amelia. Teman sepupuku. Aku dikenalkan oleh sepupuku tiga bulan lalu. Tiga bulan waktu yang cukup untuk saling mengenal. Hari ini aku akan memintanya jadi pacarku,” Budi antusias. Nada suaranya sumringah bersemangat. “Doakan aku, ya.”

“Wah, senangnya! Moga kau berhasil merebut hatinya, Sob!” Ponaryo menepuk-nepuk pundak rekan setimnya itu bermaksud memberi dukungan. Ia ingat bahwa telah tiga kali Budi menyatakan cinta pada perempuan yang berujung pada penolakan.

“Kali ini benar-benar perempuan idamanku, Yo. Aku yakin bisa menjadikan dia sebagai pacarku,” Budi antusias. Ponaryo mengangguk-angguk sambil terus tersenyum. Seingat Ponaryo, selama tiga tahun ia bersama-sama Budi di klub sepakbola Persemut FC, sudah tiga kali Budi patah hati. Sebetulnya bukan patah hati karena sebelum Budi berhasil menjadikan wanita-wanita itu sebagai kekasihnya, dia sudah ditolak duluan.

Padahal Budi punya wajah yang tidak tergolong jelek. Sebagai atlet tentu badannya fit nan atletis. Soal materi Budi juga tidak kekurangan. Ia salah satu penyerang subur di klub dan gajinya tergolong besar. Perempuan mana yang tidak suka lelaki bertubuh atletis dengan uang berjejalan. Namun rupanya hal itu belum berlaku bagi Budi. Pada usianya sekarang yang merambat 28 tahun ia susah sekali mendapatkan perempuan tempat curahan cintanya. Padahal salah satu bintang los galacticos yang bernama Kaka saja sudah belasan kali gonta-ganti pacar sejak jadi pemain AC Milan di usia 21 tahun. Namun bukan berarti kisah cinta Budi sedemikian merananya. Ia juga pernah menolak cinta.

Satu saat lalu ada perempuan yang ditolak Budi karena ia bilang perempuan itu terlalu kaya dan cantik. Ada-ada saja. Nama perempuan itu Winny. Setiap Budi bertanding tandang di kota manapun Winny selalu datang melihat penampilan Budi. Rekan-rekan Budi di Persemut FC senang bila Budi berjodoh dengan Winny. Utamanya adalah karena Winny bilang ayahnya akan menjadi memberi sumbangan besar kepada Persemut FC bila Winny menjadi istri Budi. Tapi sayang Budi menolak dengan alasan dirinya masih ingin konsentrasi membela Persemut FC meraih gelar juara. Syukurlah ayah Winny yang jenderal bintang empat itu tak memaksakan kehendak dan mau mengerti bahwa pernikahan Budi dan Winny tidak bisa dipaksa. Sejak itu kabarnya Winny pergi keluar negeri dan bekerja disana. Sementara itu Budipun tetap dengan Persemut FC dan sempat dinominasikan sebagai pemain terbaik di Liga Bola Indonesia.

Menurut bisik-bisik yang beredar, Budi tidak mau punya istri yang asalnya dari status ekonomi sosial tinggi karena kuatir ketika berumah-tangga malah menginjak-injak dirinya sebagai suami. Entahlah bisik-bisik itu benar atau tidak, hanya Tuhan dan Budi yang tahu. Sejak saat itu rekan-rekannya di Persemut FC mengatakan bahwa sulitnya Budi mencari pacar mungkin karena kutukan dari Winny. Budi cuma bisa tersenyum simpul kalau teman-temannya menggoda demikian, Dan malam ini Budi akan menemui Amelia untuk menyatakan cintanya.

”Mau kau ajak kemana dia?” tanya Ponaryo lagi.

”Ada lah, pokoknya makan malam romantis,” jawab Budi.

Tiba-tiba dari pintu kamar yang terbuka itu muncul Bambang yang menyeruak ingin tahu bau wangi apa yang tadi sempat menerpa hidungnya itu.

”Siapa yang pakai parfum wangi sekali ini?” tanya Bambang. Ponaryo menunjuk Budi. Yang ditunjuk belagak cuek.

”Sudah ya. Aku sudah hampir telat, nih. Kasihan Amelia kalau dia yang datang duluan,” kata Budi sekaligus pamit. Ia keluar asrama dan menuju tempat makan malam yang diharapnya akan romantis.

Makan malam itu berlangsung di restoran sebuah hotel mewah di kota itu. Budi melihat Amelia cantik sekali dengan riasan tipis. Hatinya berbunga-bunga dan rasanya matanya tak bisa lepas memandangi Amelia. Caranya tersenyum, caranya bicara, caranya makan, minum, semua menyenangkan untuk dilihat. Pertama kali bertemu Budi sudah senang dengan Amelia. Gadis itu pintar, rendah hati, dan tidak suka kehidupan hura-hura.

Amelia lulusan sekolah tinggi seni tari dan sekarang mengajar di sebuah sanggar tari milik keluarganya yang sudah berusia puluhan tahun. Sungguh Budi bisa merasakan sayang kepada Amelia. Setelah hampir satu jam mereka berbincang sambil makan malam, Budi merasa sudah saatnya mengutarakan isi hatinya yang ia yakin Amelia punya perasaan sama. “Aku sayang sama kamu. Mudah-mudahan kamu punya perasaan yang sama denganku. Apa kamu mau jadi pacarku?” tanya Budi usai sesorah mengeluarkan isi hatinya pada Amelia. Batu besar yang selama ini mengganjal hatinya seolah lepas. Amelia tersenyum tipis.

Gadis manis itu menyeruput kahlua coffee-nya dengan pelan. Kemudian terlihat ia menghela nafas. “Aku sudah tahu kamu akan bilang begitu, makanya aku mau kamu ajak kemari karena aku juga ingin mengatakan sesuatu,” jawab Amelia.

Tiba-tiba Budi merasakan ada firasat tidak enak dari ucapan Amelia itu. Tapi ditahannya semua perasaan agar raut mukanya tetap tenang. Amelia melanjutkan perkataannya lagi sambil memegang tangan Budi. “Maaf, aku tak mau jadi pacarmu. Aku mau pacar yang selalu ada di dekatku. Kalau aku jadi pacarmu, aku akan ditinggal terus karena kamu selalu keliling kota lain untuk bertanding. Belum lagi kalau kamu masuk tim nasional, kapan aku bisa bertemu kamu.” Penolakan terang-terangan itu sungguh menusuk hati Budi.

Bagaimanapun seringnya ia ditolak wanita, tapi sungguh rasanya tetap saja tidak enak ditolak perempuan yang jadi idamannya. “Aku kan tinggal di kota ini, aku pasti akan selalu pulang kesini,” tegas Budi. Amelia tersenyum lagi dengan manisnya. “Iya, tapi aku bukan tipe wanita yang bisa ditinggal-tinggal.” Susah payah Budi meyakinkan Amelia bahwa kecemasan yang dikatakan Amelia tadi bisa diatasi dengan mudah. Tapi rupanya Amelia tetap menolak cintanya mentah-mentah. Perempuan lembut ini rupanya punya hati sekeras batu yang susah ditaklukan. Semua usaha untuk meyakinkan Amelia selalu mentok terbentur pada batu itu. Maka tak ada jalan lain bagi Budi untuk sementara menerima keputusan penolakan itu. Lemas rasanya seluruh tulang. Otak di kepala seperti berganti menjadi kapas.

Budi sampai di asrama pukul sembilan malam. Di teras ia kebetulan bertemu dengan Ponaryo dan Bambang yang sedang main gitar. Melihat Budi pulang dengan langkah gontai mereka membatin kali ini mungkin Budi ditolak lagi. “Kenapa?” tanya Bambang. Budi tetap lesu dan tak menjawab. Bambang dan Ponaryo saling berpandangan. Tiba-tiba Budi mengambil bola yang ada di sudut teras. Dipegangnya bola itu sambil menerawang dalam benaknya membayangkan enaknya menjadi seperti Christiano Ronaldo yang terakhir kabarnya ditempel oleh si seksi Paris Hilton, atau seperti para pemain bola di Eropa sana yang gampang cari istri dan pacar dari jajaran model dan artis cantik. Sedangkan dia sendiri untuk mendapatkan seorang gadis saja susahnya setengah mati. Hatinya panas merana.

Lalu ditendangnya bola sekencang-kencangnya dengan sasaran tembok asrama. Bola memantul dari tembok dan jatuh ketanah. Tapi tiba-tiba Budi merasakan urat betisnya menegang kencang. Budi meringis-ringis dan terduduk memegang betis. Bambang dan Ponaryo segera menolong Budi. Hampir tuli telinga Bambang dan Ponaryo karena Budi dengan kerasnya melolong, “Aduuuuuhh!! Cintakuuu!”


0 Comments

Posting Komentar