Delapan

Ikbal keluar bersama sepuluh temannya dari kantin lima menit sebelum jam makan malam berakhir pada pukul tujuh. Setelah bergurau beberapa saat mereka memisahkan diri ke arah yang berbeda.

Ikbal sendiri akan ke musala yang  bersisian dengan kantin untuk salat Isya, tapi matanya keburu melihat ke arah gerbang. Gerbang yang jadi satu-satunya akses keluar-masuk itu dalam keadaan terbuka untuk membiarkan tiga mobil jip lewat.

Ikbal segera tahu bahwa jip-jip itu membawa para mahasiswa baru yang akan dia mentori.

Para mahasiswa baru masuk satu minggu lebih lambat dari para mahasiwa tingkat atas di bulan September. Jeda waktu seminggu  dipakai Akademi untuk memberi pemantapan materi dan penyesuaian jadwal pada mahasiswa Trooper yang akan jadi mentor.

“Pastikan apa yang kau lakukan benar-benar mementori, bukan memelonco,” Ikbal ingat Profesor Sanker berkata seperti itu sampai tiga kali kepadanya pada tiga kesempatan berbeda.

Ikbal paham—meski Profesor Sanker tidak mengatakannya—bahwa dia sedang diingatkan agar kejadian saat dirinya jadi mahasiswa baru, yang angkatannya dimentori tiga orang Trooper, direndam dalam kolam renang selama satu jam pada tengah malam saat hujan deras.

Akibatnya lima temannya harus dirawat di klinik karena demam dan dua puluh lima sisanya diliburkan selama satu hari dari seluruh latihan dan perkuliahan. Lalu ketiga mentor dan teman-temannya dihukum menginap di sel kantor kepolisian resort setempat selama tujuh hari dan diperlakukan seperti tahanan kriminal. Sejak itu kamera pengawas diperbanyak bahkan dipasang di lorong-lorong asrama. Bisik-bisik bernada protes ramai diantara para mahasiswa, terutama yang saling menjalin kasih, karena diawasi seperti dalam penjara. Tapi tidak ada yang berani mengutarakan langsung pada Profesor Sanker atau para instruktur. Mereka hanya berani protes pada mentor yang juga tidak punya kekuasaan mengubah apapun di Akademi.

Ikbal kemudian masuk ke dalam musala. Senyum percaya diri tersungging di bibirnya.

Setiap tahun Akademi memindai lebih dari dua setengah juta remaja berusia tujuh belas tahun  yang melakukan perekaman kartu tanda penduduk, melalui kamera resolusi tinggi dan laser yang terhubung dengan pemindai biometrik milik direktorat kependudukan, untuk dipindai kimia otaknya.

  Nama-nama remaja yang punya kadar dopamin, norephineprin, serotonin, asetilkolin, asam glutamat, dan noradrenalin yang paling seimbang akan terkirim ke Kamar Kendali Akademi.

Segera setelah nama-nama itu lulus sekolah menengah atas, drone nano berbentuk mirip capung bergerak mengikuti mereka selama delapan jam sehari.  Drone dikendalikan di Kamar Kendali dan memantau apakah kegiatan siempunya nama berpotensi terlibat narkotika, pidana, asusila, perundungan, dan penilaian lain yang subjektif dari para dosen dan instruktur.

Mereka yang lolos kualifikasi akan diundang belajar dengan semua biaya ditanggung penuh Akademi.

Selalu ada penolakan dari orangtua dan wali yang keberatan kegiatan anaknya dimata-matai (sekaligus dipaksa untuk bergabung), tapi para instruktur sudah terlatih untuk bicara secara persuasif dan efektif. Berbekal surat izin kejaksaan dan kepolisian yang membolehkan Akademi memantau, maka tidak pernah ada gugatan hukum kepada Akademi.

Ketiga mobil itu masuk dan parkir di garasi luas beratap seperti hanggar dengan satu jendela lebar pada dindingnya.

 Zulfikar, Johan, dan Firzan turun dari Toyota hitam bersama Teddy dan Soni, dua instruktur yang menjemput mereka.

Komang dan Firzan juga turun dari mobil yang lain lalu menurunkan tas-tas bawaan mereka dari bagasi atas perintah Instruktur Ardo dan Dimas.

Dari mobil terakhir turun Karlie, Yasmine, dan Kiki. Mereka sudah mengeluarkan tas dari bagasi dibantu Instruktur Benny dan Helen.

Mereka semua memakai baju kasual berupa jeans dan celana panjang dengan kaos dan hanya Yasmine yang memakai dress motif bunga-bunga selutut warna biru lembut dengan sepatu flat warna senada. Dia juga yang membawa koper paling besar sementara yang lain hanya membawa ransel dan koper kabin.

Semuanya datang dengan pesawat bersama para instruktur yang menjemput. Hanya Karlie dan Firzan yang tidak karena mereka datang dari Jakarta dan Bogor yang bisa ditempuh menggunakan jalan darat. Tapi mereka pun harus menunggu lebih dulu di Bandar Udara Ngloram di Blora agar bisa bersama-sama teman seangkatannya berangkat ke Akademi di Jepara.

Instruktur Benny memberi isyarat dengan tangannya agar mereka mendekat, “Kita ke gedung Pranala. Kalian akan bertemu Profesor Sanker di sana.”

Sementara Benny membawa para mahasiswa baru ke Gedung Prabala, para instruktur yang lain pergi ke kantin untuk makan malam.

 “Siapa itu Profesor Sanker?” tanya suara milik Johan ketika Instruktur Benny menyebut nama tersebut.

“Kepala Akademi,” jawab Benny, “rektor kalau di universitas.”

“Ini semua punya Akademi atau bagaimana?” tanya Komang kepada Johan yang berjalan disebelahnya saat melihat tiga minivan, dua minibus, dan satu bus besar yang parkir rapi berjajar dengan sepuluh motor sport, dan lima motor bebek automatic.

 “Pastinya bukan punya opungku,” jawab Johan.

Komang melempar pandangannya lagi pada semua kendaraan yang ada di garasi. Matanya membesar dan mulutnya membulat ketika pandangannya tertumbuk pada Range Rover—mobil kesukaannya—yang parkir terpisah dari mobil-mobil yang lain. Range Rover itu tampak sedang diperbaiki oleh dua mekanik.

“Pak Benny, kendaraan semua ini punya Akademi?” tanya Komang.

Instruktur Benny tidak langsung menjawab karena dia lebih dulu menyapa seorang perempuan berkuncir kuda berbaju bengkel yang sedang menenteng aki.

“Iya—jangan panggil saya Pak, panggil nama saja tanpa embel-embel— semua kendaraan kami dapat dari lelang.”

Komang ingin menaksir berapa harga semua kendaraan di garasi tapi mereka keburu masuk ke dalam koridor kaca.

Koridor itu berupa terowongan kaca sepanjang  lima belas meter yang pada atap tingginya dipasang panel surya. Koridor kaca itu menghubungkan garasi dengan Gedung Prabala.

Instruktur Benny mengetikkan tujuh angka pada panel elektronik yang menempel pada pintu besi berkaca. Pintu menuju Gedung Prabala pun terbuka.

Bentuk Gedung Prabala seperti balok yang disusun asal tumpuk dengan warna coklat, abu-abu, dan merah hati. Pada  atap dan dinding-dinding luar gedung dipasang panel surya untuk mencukupi kebutuhan listrik di gedung itu. Cahaya matahari yang diserap panel surya disimpan dalam baterai. Energi pada baterai digunakan untuk menyalakan lampu, penyejuk ruangan, dan semua peralatan elektronik. Sedangkan panel surya yang dipasang di atap garasi digunakan juga untuk mengisi ulang daya mobil dan motor listrik.

Suasana formal kantoran langsung terasa saat memasuki lobi. Lantai marmer warna putih bergradasi marun memantulkan suara ketak-ketok dari sepatu Rita yang berhak.

Rita mengatakan bahwa di lantai satu terdapat ruangan tempat Profesor Sanker berkantor. Dia juga menyebut bahwa Instruktur Benny, Profesor Dorita, Tugis, dan para dosen punya ruangan di lantai ini juga (yang lain celingukan saling mencari tahu siapa gerangan Profesor Dorita dan Tugis).

Instruktur Benny menyuruh para lelaki membantu Yasmine membawa koper besarnya menaiki tangga ke lantai dua. Yasmine berkata bahwa seharusnya ada lift seperti yang biasa ada di kampus-kampus moderen. Instruktur Benny tidak menghiraukan ucapan Yasmine dan terus menaiki anak tangga.

Lantai dua sepi dan lengang karena staf administrasi dan kesekretariatan hanya bekerja sampai pukul delapan belas. Berbeda dengan garasi yang terang-benderang, semua lampu di sini sudah  dimatikan sehingga pandangan yang didapat hanya temaram saja. Lampu yang masih menyala berasal dari langit-langit dibawah tiga meja kerja yang menandakan siempunya masih bekerja. Meja-meja kerja di ruangan itu bersekat-sekat seukuran dada dengan panel warna-warna muda hijau, biru, dan kuning.

Cahaya yang berpendar dari lampu di lapangan masuk melalui jendela-jendela besar dan lebar yang tidak ditutup tirai sehingga ikut membantu pencahayaan di lantai dua Gedung Prabala itu.

Nampak sofa dan meja beralas karpet di beberapa sudut ruangan yang bila dilihat lebih cocok sebagai tempat bersantai seperti kafe daripada tempat untuk bekerja. Yang paling mencolok adalah keberadaan tiga meja bundar yang menempel dengan sofa bersandaran tinggi yang semuanya berjajar dekat jendela.

 Instruktur Benny disambut oleh perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Rita, sekretaris Profesor Sanker. Lalu Rita memperkenalkan Mita yang disebutnya sebagai sekretaris Profesor Dorita. Dan ada Ranti yang diperkenalkan sebagai kepala administrasi dan tata usaha.

“Kita ke ruang rapat, Benny?” kata Rita. Alis kirinya sedikit naik diatas kacamatanya yang berbingkai mata kucing. Perawakan wajahnya yang matang menyuratkan bahwa Rita berusia awal tiga puluhan.

Benny mengangguk, “Semuanya, kita ke ruang rapat,” katanya pada kedelapan mahasiswa baru tersebut.

Di meja ruang rapat telah ada laptop dan di pojok ruangan tersusun ransel-ransel hitam berukuran tiga puluh liter.

Masing-masing telah duduk di kursi  dengan laptop di depan mereka. Rita memberitahu bahwa laptop tersebut terbatas untuk kebutuhan belajar dan mengerjakan tugas.

“Tidak ada internet, tidak ada hiburan dan komunikasi, dan hanya untuk keperluan akademik. Tata tertib, panduan, dan peraturan-peraturan Akademi bisa dibaca pada berkas dalam laptop,” kata Rita. “Sekarang tolong keluarkan ponsel, jam tangan, laptop, tablet dan elektronik lain yang kalian bawa dari rumah.”

Mereka sudah diberitahu bahwa pemakaian barang elektronik pribadi hanya boleh dilakukan pada hari Minggu dan libur nasional jadi—dengan berat hati dan keengganan yang luar biasa—mereka  menyerahkan gawai-gawai mereka pada Ranti diiringi gerutuan kecil dari Yasmine yang tidak bisa lagi memajang foto dan video di media sosialnya.

Setelah tidak ada lagi gawai  pribadi yang disimpan, Mita bergerak membagikan ransel-ransel di pojok ruangan. Ransel itu tidak berat tapi juga bisa dibilang ringan. Isinya tiga pasang seragam latihan, dua pasang seragam kuliah, sepasang sepatu kets warna marun beserta kaus kakinya, sepasang sepatu pantofel hitam, buku-buku tulis, alat tulis, topi, dua kaos marun lengan panjang dan jaket marun bertulisan Akademi Insidental dan Keamanan Khusus, baju renang model selam, dan peralatan mandi berupa sabun batangan, sikat gigi, sampo, dan pasta gigi.

“Apa ukuran sepatunya pas?” tanya Karlie sambil memerhatikan sepatunya.

“Pasti pas, kalian sudah dipantau,” jawab Rita. Lalu dia menjelaskan bahwa semua kebutuhan belajar dan mandi disediakan Akademi. Jika ingin menggunakan milik pribadi harus melapor pada Ranti.

“Apa ada yang tidak ingin menggunakan alat mandi dan alat tulis dari Akademi?”

Karlie memberanikan diri mengangkat tangan kanannya.

“Saya ingin memakai alat mandi milik sendiri. Apa dibolehkan?”

“Boleh,” kali ini Ranti menjawab. Dia menanyakan nama Karlie lalu minta alat mandi yang ada di ransel dikembalikan.

Yasmine melakukan hal sama seperti Karlie dengan tidak memakai alat mandi dari Akademi.

“Apa merek sanitary-mu?” kata Yasmine pada Karlie sepekan mungkin.

“Glowy Glow.”

Yasmine berbinar, “Sama! Dulu aku pakai itu tapi sekarang pakai dari dokter. Kulitku sensitif…” perkataan Yasmine terpotong karena dua orang staf lelaki dari Kamar Kendali datang datang untuk memindai mata dan mengambil sidik jari mereka.

Setelah selesai dua orang itu pergi dan digantikan dua perawat dari klinik yang dengan cepat mengeluarkan selusin jarum suntik.

“Apa kita akan disuntik?” kata Yasmine cemas.

“Tidak, cuma ambil darah saja,” jawab Rita cepat.

“Bukannya sama-sama ditusuk jarum?!” celetuk Johan.

“Beda, kalau ambil darah jarumnya lebih besar,” timpal Komang bercanda.

Johan mengangguk cepat, “Betul itu! Supaya darahnya bisa terambil banyak.”

Yasmine cemberut dan memangku kanannya di meja karena cemas akan suntikan sekaligus sebal karena Komang dan Johan menggodanya.

Karlie mengusap pelan lengan Yasmine untuk menghiburnya.

Hanya beberapa detik setelah dua perawat pergi setelah mengambil darah, datang dua orang perempuan muda memakai celemek hitam membawa tumpukan nasi kotak. Mereka membagikan nasi kotak itu dengan cekatan kepada semua yang ada di ruangan.

Profesor Sanker datang tepat setelah kotak terakhir diletakkan di depan Karlie. Profesor Sanker menyapa lalu mengambil duduk di tengah-tengah mereka membuat Zulfikar menggeser duduknya ke kiri.

 Rita memberikan satu nasi kotak kepada Profesor Sanker.

Profesor Sanker mempersilakan mereka makan bersama dengannya. Rita duduk di belakang Profesor Sanker dengan wajah serius dengan menggenggam tablet ditangan kirinya.

Menu dalam nasi kotak itu berhasil membangkitkan rasa lapar pada Komang, Johan, Arun, dan Kiki yang langsung melahap nasi beserta ikan tongkol balado, sayur jagung muda, dan telur rebus yang ada dalam kotak.

Firzan menyingkirkan ikan tongkol agar jangan sampai mengenai lauk lainnya. Dia alergi ikan laut. Sekali makan seluruh tubuhnya akan gatal dan penuh bentol-bentol merah selama berjam-jam.

Zulfikar mengupas pisang susu dari kotak dan melahapnya. Karlie tidak lapar tapi dia tidak ingin terlihat tidak menghormati Profesor Sanker jadi dia mengikuti Zulfikar dengan memakan pisang. Yasmine tanpa sungkan menolak makan karena hari sudah malam. Dia hanya menghabiskan air mineralnya.

“Kenapa kami disebut Slugger, profesor, bukan mahasiswa?” tanya  Zulfikar ketika dalam ingatannya muncul informasi yang didapatnya dari Instruktur Soni.

“Sebetulnya kalian disebut petempur. Slugger hanya nama angkatan. Disebut petempur karena kalian mendapat pelatihan mendekati latihan polisi dan tentara hanya saja sudah dimodifikasi sesuai kebutuhan sipil,” Profesor Sanker memandangi semuanya dengan matanya yang teduh mengayomi, “Kalian juga tidak disebut taruna karena ini bukan akademi militer, kepolisian atau ikatan dinas kelembagaan. Maka kalian disebut petempur.”

“Berarti kita harus bertempur?” tanya Yasmine tegang.

“Kadang-kadang. Tapi tidak bertempur seperti tentara dan polisi, hanya pada situasi dimana polisi dan tentara tidak bisa berbuat melebihi kewenangan mereka.”

“Kalau lulus kita akan jadi sarjana apa, Prof?” kata Johan benar-benar ingin tahu.

“Kalian akan jadi Sarjana Sains Pertahanan Sipil. Sekilas gelar kalian mirip dengan lulusan Akademi TNI yang bergelar Sarjana Sains Terapan Pertahanan.”

“Berarti kita akan jadi Hansip,” gumam Komang sepelan mungkin agar tidak terdengar Profesor Sanker. Profesor Sanker mendengarnya namun hanya tersenyum dan tidak mengindahkan. Kiki menendang kaki Komang, mengingatkan supaya tidak menyeletuk sembarangan. Komang mendelik.

Tanya jawab dengan Profesor Sanker selesai pada pukul setengah sembilan malam. Rita dan Mita membawa mereka ke Gedung Pratisena—sebutan untuk gedung asrama—untuk beristirahat.

Letak Gedung Pratisena terpisah dari Gedung Prabala jadi mereka harus berjalan keluar Gedung Prabala dahulu.

Bentuk Gedung Pratisena mirip rumah susun dengan banyak jendela-jendela dan balkon kecil berpagar tinggi tapi tanpa jemuran yang menggantung. Di lantai satu terdapat pintu dengan lorong pendek yang menghubungkan Gedung Pratisena dengan musala dan klinik. Seperti Prabala, pada atap Pratisena juga terpasang panel surya.

“Para Slugger—kalian Slugger Satu—di lantai tiga bersama Slugger Dua. Lantai satu untuk Trooper dan lantai dua untuk Grunt,” kata Rita berjalan memimpin memasuki gedung asrama.

Yasmine mengeluh lagi karena mereka harus menaiki tangga ke lantai tiga. Kali ini kopernya digotong oleh Arun dan Firzan.

 “Semua lampu di komplek Akademi dipadamkan pukul  sepuluh malam dan dinyalakan lagi pukul empat pagi. Hanya musala, gerbang, Kamar Kendali, lampu jalan dan jembatan, sebagian Gedung Prabala, dan toilet umum yang menyala,” sambung Rita, “saluran air ke kamar-kamar hanya menyala pada pukul lima pagi dan lima sore. Jadi pastikan kalian punya cukup air dalam bak mandi.”

“Bagaimana kalau kita ingin kencing tengah malam?” tanya Firzan sungguh-sungguh.

“Toilet di setiap gedung tetap menyala, dan kalian kan dapat kamar mandi sendiri dalam kamar,”jawab Rita santai.

“Kamar mandi pribadi di tiap kamar!” kata Johan bersemangat diikuti seruan dan siulan gembira dari yang lain.

“Seperti hotel!”

“Apakah harus berlebihan seperti itu?!” ujar Kiki melihat teman-teman lelakinya melakukan tos, meskipun Arun melakukannya dengan wajah kaku, bingung di bagian mana dia harus senang.

Yes, Kiki! Memang kamu mau harus berbagi kamar kecil dengan orang lain? Kalau mereka jorok kita bisa ketularan penyakit!” sahut Yasmine.

Di asrama pada umumnya kamar mandi berada di luar kamar tidur dan digunakan bergantian oleh seluruh penghuni. Kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur berarti membebaskan mereka dari antrean dan perundungan yang mungkin dilakukan oleh kakak tingkat.

Rita memotong kegembiraan soal kamar mandi, “Usahakan baca arsip  sebanyak kalian bisa sebelum lampu padam. Lebih bagus kalau kalian sempat membacanya sampai habis.”

Sesampainya di lantai tiga Rita memberi masing-masing satu kamar karena jumlah mereka hanya delapan orang. Angkatan lain mendapat satu kamar untuk tiga orang. Jatah satu kamar untuk satu orang membuat para lelaki, ditambah Yasmine, melakukan tos lagi.

Semua orang masuk ke kamar untuk menaruh tas mereka. Para lelaki kemudian secara tak sengaja berkumpul di kamar Komang sementara para perempuan menolak ikut karena ingin membereskan barang-barang mereka.

Untungnya tak seorangpun lupa bahwa lampu akan padam pada pukul sepuluh malam, sehingga sebelum gelap mereka sudah kembali ke kamar masing-masing. Sebagian sudah terlelap, sebagian lagi gelisah, dan sebagian lagi membolak-balik tubuhnya karena sulit tidur. Suasana benar-benar sunyi sampai suara deburan ombak yang memecah karang terdengar sampai ke kamar-kamar.

0 komentar

Posting Komentar