Orang
miskin tidak lagi dapat diskriminasi hanya karena mereka tidak punya uang. Mereka sudah diberi kemudahan hidup lewat SKTM. SKTM adalah Surat Keterangan Tidak Mampu yang diterbitkan kelurahan atas pengantar dari RT dan RW dimana orang miskin yang mengajukan SKTM itu tinggal.
Pemilik SKTM bisa dapat pengobatan gratis di Puskesmas dan rumah sakit daerah jika ia belum punya BPJS atau tunjangan kesehatan lain dari pemerintah. Ia juga akan dapat jatah beras dan diberi kemudahan masuk sekolah negeri.
Soal kemudahan masuk sekolah negeri ini –tiap tahunnya— membuat polemik karena (calon) murid pemegang SKTM lebih diprioritaskan untuk masuk sekolah negeri unggulan meskipun nilainya dibawah mereka yang orangtuanya mampu.
Mereka yang tidak datang dari keluarga miskin ini yang merasa prioritas yang diberikan kepada pemegang SKTM sebagai bentuk ketidakadilan. Anak mereka yang sudah giat belajar dan mendapat nilai bagus tidak bisa diterima masuk sekolah negeri unggulan karena sekolah mengutamakan menerima anak yang rumahnya paling dekat dengan sekolah dan dari keluarga miskin daripada anak yang nilainya bagus. Ketidakadilan ini yang menjadikan banyak orangtua membuat SKTM agar anaknya diterima di sekolah negeri favorit, meskipun mereka kaya raya.
Kok orang kaya ngotot masuk negeri, swasta kan banyak yang bagus.
Sekolah negeri di daerah berbeda dengan di kota-kota besar. Di daerah, sekolah negeri benar-benar punya kualitas yang bagus yang ditandai dengan mayoritas lulusannya yang tidak hanya pintar secara akademik, tapi mampu berpikir sistematis dengan kepribadian yang baik pula.
Lalu kenapa sekolah tidak lagi memperhatikan nilai bagus dan memprioritaskan anak yang rumahnya dekat dan pemegang SKTM?
Biang keroknya adalah peraturan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), atau Bentuk Lainnya yang Sederajat. Dimana salah satu pasalnya mengatur tentang kewajiban sekolah untuk memberikan minimal 20 persen kursi di sekolahnya bagi siswa miskin yang berada di dalam zonasi.
Angka minimal 20% ini lumayan besar. Jika satu sekolah punya lima kelas yang masing-masing terisi 40 murid, maka 20% berarti 80 murid miskin yang bisa langsung diterima walaupun nilai mereka rendah.
Banyaknya murid yang kemampuan akademiknya rendah tentu berisiko bagi sekolah unggulan. Sekolah unggulan biasanya menerapkan standar proses belajar-mengajar yang tinggi, guru yang kompetensinya baik, dan hasil akhir yang tinggi pula. Murid yang kemampuan akademiknya pas-pasan akan menghambat murid lain yang kemampuan akademiknya bagus.
Dengan memiliki banyak murid yang akademiknya dibawah standar sekolah, maka akan menurunkan kualitas sekolah itu sendiri (dalam hal ini diukur melalui KKM—Kriteria Ketuntasan Minimal—)
Jadi, daripada memaksakan murid miskin yang kemampuan akademiknya pas-pasan, lebih baik arahkan saja mereka masuk SMK. SMK mengutamakan keterampilan, cocok untuk anak yang bakatnya non-akademis. Semua anak punya bakatnya masing-masing, jadi tidak semua anak harus sekolah di SMA yang memang mengutamakan nilai akademis.
Pemilik SKTM bisa dapat pengobatan gratis di Puskesmas dan rumah sakit daerah jika ia belum punya BPJS atau tunjangan kesehatan lain dari pemerintah. Ia juga akan dapat jatah beras dan diberi kemudahan masuk sekolah negeri.
Soal kemudahan masuk sekolah negeri ini –tiap tahunnya— membuat polemik karena (calon) murid pemegang SKTM lebih diprioritaskan untuk masuk sekolah negeri unggulan meskipun nilainya dibawah mereka yang orangtuanya mampu.
Mereka yang tidak datang dari keluarga miskin ini yang merasa prioritas yang diberikan kepada pemegang SKTM sebagai bentuk ketidakadilan. Anak mereka yang sudah giat belajar dan mendapat nilai bagus tidak bisa diterima masuk sekolah negeri unggulan karena sekolah mengutamakan menerima anak yang rumahnya paling dekat dengan sekolah dan dari keluarga miskin daripada anak yang nilainya bagus. Ketidakadilan ini yang menjadikan banyak orangtua membuat SKTM agar anaknya diterima di sekolah negeri favorit, meskipun mereka kaya raya.
Kok orang kaya ngotot masuk negeri, swasta kan banyak yang bagus.
Sekolah negeri di daerah berbeda dengan di kota-kota besar. Di daerah, sekolah negeri benar-benar punya kualitas yang bagus yang ditandai dengan mayoritas lulusannya yang tidak hanya pintar secara akademik, tapi mampu berpikir sistematis dengan kepribadian yang baik pula.
Lalu kenapa sekolah tidak lagi memperhatikan nilai bagus dan memprioritaskan anak yang rumahnya dekat dan pemegang SKTM?
Biang keroknya adalah peraturan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaa Nomor 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), atau Bentuk Lainnya yang Sederajat. Dimana salah satu pasalnya mengatur tentang kewajiban sekolah untuk memberikan minimal 20 persen kursi di sekolahnya bagi siswa miskin yang berada di dalam zonasi.
Angka minimal 20% ini lumayan besar. Jika satu sekolah punya lima kelas yang masing-masing terisi 40 murid, maka 20% berarti 80 murid miskin yang bisa langsung diterima walaupun nilai mereka rendah.
Banyaknya murid yang kemampuan akademiknya rendah tentu berisiko bagi sekolah unggulan. Sekolah unggulan biasanya menerapkan standar proses belajar-mengajar yang tinggi, guru yang kompetensinya baik, dan hasil akhir yang tinggi pula. Murid yang kemampuan akademiknya pas-pasan akan menghambat murid lain yang kemampuan akademiknya bagus.
Dengan memiliki banyak murid yang akademiknya dibawah standar sekolah, maka akan menurunkan kualitas sekolah itu sendiri (dalam hal ini diukur melalui KKM—Kriteria Ketuntasan Minimal—)
Jadi, daripada memaksakan murid miskin yang kemampuan akademiknya pas-pasan, lebih baik arahkan saja mereka masuk SMK. SMK mengutamakan keterampilan, cocok untuk anak yang bakatnya non-akademis. Semua anak punya bakatnya masing-masing, jadi tidak semua anak harus sekolah di SMA yang memang mengutamakan nilai akademis.
0 Comments
Posting Komentar