Sejak
Nurdin Halid dipenjara untuk pertama kalinya pada 2005 dalam kasus
korupsi pengadaan gula pasir, beberapa gelintir pecinta sepakbola resah
karena akal sehat mereka bicara. Bagaimana mungkin seorang narapidana
masih memimpin induk organisasi, yang olahraganya amat digandrungi
mayoritas rakyat Indonesia, PSSI. Hanya saja, meski warnet menjamur,
kala itu orang baru menggunakan internet sebatas email dan chatting,
sehingga penyebaran informasi atas ketidaknormalan di tubuh PSSI tidak
bergema. Plus, media cetak dan eletronik mengangkat isu itu hanya
basa-basi di halaman olahraga. Maka Nurdin Halidpun selamat.
Ketika
Nurdin masuk penjara lagi pada 2007 untuk kedua kali karena kasus
korupsi tender minyak goreng, orang marah, kenapa mantan narapidana yang
dua kali dipenjara masih juga tidak mau melepaskan jabatan sebagai
ketua umum PSSI.
Lalu pada 2007 tepat ketika Nurdin terpilih lagi jadi ketua umum, maka PSSI mengakali statuta FIFA agar kekuasaan Nurdin seolah-olah sah. Beberapa media cetak sudah menurunkan berita soal kecurangan ini dan ada yang menjadikannya sebagai headline. Tapi Nurdin tak mundur juga. Kekuasaannya malah makin kokoh karena Nirwan Bakrie juga duduk sebagai wakil ketua. Nurdin juga seorang kader Golkar yang loyal. Jadilah ia The Untouchables Nurdin.
Dan
tahun 2011 ini, ketika masa jabatan Nurdin habis dan PSSI ngotot
menaruh Nurdin lagi sebagai ketua umum, maka orang benar-benar murka.
Ribuan suporter turun ke jalan, menyegel kantor PSSI, dan berorasi
revolusi.
Namun
sayang sekali, meski ribuan suporter di banyak daerah sudah turun ke
jalan dan media sosial ramai menggelorakan penolakan terhadap Trio N
(Nurdin Halid, Nugraha Besoes, dan Nirwan Bakrie), sampai detik ini
Nurdin masih kokoh di tempatnya,
Susahnya
menurunkan Nurdin yang sudah membawa sepakbola ke jurang keterpurukan
adalah karena ada tarik-tarikan kepentingan politik dan golongan. Sejak
suporter turun ke jalan, ramai politikus ikut berkomentar dan mulai
menyusupkan kepentingan politik dibalik kisruh PSSI.
Lalu
kenapa tidak menggunakan media sosial saja seperti dulu Koin Untuk
Prita dan Sejuta Facebookers Dukung Bibit dan Chandra? Dua gerakan itu
sukses mempengaruhi keputusan hukum terhadap Prita Mulyasari, Bibit
Samad, dan Chandra Hamzah. Bukankah Nurdin bisa turun dengan gerakan di
internet juga?
Nanti dulu.
Lihatlah bahwa para suporter Indonesia kebanyakan ada di usia pelajar.
Usia seperti ini belum cukup bisa menularkan informasi dan pengaruh
kepada orang lain karena mereka sendiri masih mudah dipengaruhi. Karena
ada di usia remaja inilah isi status Facebook dan kicauan Twitter mereka
masih sebatas seputar mood pribadi, sehingga teman-teman mereka yang
bukan suporter bola tidak tahu bahwa sedang ada gerakan menolak Nurdin
Halid. Sementara itu para pecinta sepakbola yang ada di lingkungan mapan
merasa tidak perlu turun ke jalan dan memilih "melihat situasi" saja.
Kemudian,
meski di Twitter banyak kicauan yang menuntut Nurdin mundur, atau di
Facebook banyak grup penolak Trio N, namun tidak cukup kuat mempengaruhi
sistem di dunia nyata seperti yang terjadi pada gerakan Koin
Untuk
Prita atau Sejuta Facebookers Dukung Bibit dan Chandra.
Hal
berikutnya adalah, di media sosial belum ada satu gerakan yg mewadahi
seluruh suporter dan pecinta sepakbola untuk bersatu melawan rezim
Nurdin. Baru ada kelompok-kelompok kecil yang kurang kuat mempengaruhi
pengguna media sosial di Facebook atau Twitter. Seperti kata pepatah,
bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Lalu,
para narablog ternama yang punya banyak pengikut jarang (mungkin malah
tidak pernah) mengangkat tema keburukan Nurdin dkk sehingga penolakan
terhadap Nurdin hanya berputar di kalangan itu-itu saja.
Dan terakhir, kelompok pro Nurdin juga menggunakan media sosial. Mereka bahkan punya website pro PSSI, dan beriklan di media massa yang menolak kongres tandingan untuk usaha menggusur Nurdin. Nah, berbeda dengan Prita dan Bibit-Chandra, lawan mereka -RS Omni Alam Sutra dan aparat hukum RI- tidak membuat gerakan tandingan di media sosial.
Lebih jauh lagi usaha massa menolak Nurdin ditunggangi banyak kepentingan politik dan ekonomi yang tidak ada hubungannya dengan sepakbola. Alhasil usaha tulus ikhlas para pecinta sepakbola seperti tak ada artinya karena kalah oleh tangan-tangan yang ingin memanfaatkan sepakbola demi kepentingannya.
Melihat
kenyataan itu, sedih sekali. Karena sepakbola adalah olahraga rakyat.
Dimana-mana orang mengisi waktu senggang dengan main bola. Penggemar
sepakbola kita gembira menonton liga-liga asing di televisi dan
klub-klub asing punya banyak suporter fanatik disini. Nyatanya PSSI
sebagai induk sepakbola malah rusak parah karena dikelola oleh tangan
yang tidak paham sepakbola. Kalau itu terus terjadi sepakbola Indonesia
hanya akan tinggal nama.
0 Comments
Posting Komentar