Prita, Alanda, dan Tukang Arum Manis

Prita Mulyasari akan terus mengingatkan kita akan kekuatan media sosial. Berawal dari keluhannya di mailing list (milis) tentang dugaan malpraktik para dokter di RS Omni Alam Sutra, ia menjadi pesakitan, dan akhirnya bebas setelah netizens melakukan gerakan pembebasan Prita. Mulai dari dukungan moril sebatas grup Facebook dan Twitter, sampai aksi nyata pengumpulan koin yang jumlahnya lebih dari 600 juta untuk biaya denda Prita di pengadilan, dan akhirnya Prita bebas, karena dia memang tidak bersalah, meskipun dokter dan RS Omni merasa namanya dicemarkan.

Prita dipidanakan karena tulisan curhatnya di milis yang juga bagian dari media sosial, maka iapun bebas karena dukungan dari jutaan pengguna media sosial.

Sekarang ada Alanda Kariza. Meski ia tidak bernasib seperti Prita yang dipenjara, namun setali tiga uang, mamanya jadi tersangka berkenaan dengan kasus Bank Century. Sama seperti Prita, ia menulis keluh kesahnya di media sosial yaitu di blog pribadinya www.alandakariza.com. Ibunya dapat hukuman 10 tahun penjara dengan denda 10 milyar. Andai keluarga Alanda hidup berkelimpahan macam keluarga Bakrie, mungkin ibunya tidak akan dipenjara karena sistem hukum Indonesia yang amburadul membuat uang bisa membeli segalanya. Justru karena ibunya tidak bersalah dan hidupnya pun tidak semewah anak yang punya ibu seorang bankir, maka tak ada jalan lain selain menulis isi hatinya di blog.


Maka seperti Prita, dukunganpun mengalir untuknya. Twitter Alanda dipenuhi ucapan simpati termasuk dari Dino Patti Djalal dan beberapa petinggi lain.
Menjadi pesakitan yang berhadapan dengan kekuasaan memang sulit. Apapun pembelaan yang dilakukan selalu tidak diabaikan, malahan justru membuat orang itu jadi makin bersalah. Dan kesulitan-kesulitan itu juga membuat keluarga berantakan. Lihat bagaimana Prita tak bisa mengurus kedua anaknya arena ia dipenjara dan menjalani persidangan berbulan-bulan. Suaminyapun tak bisa tenang bekerja karena ada istri yang dipenjara dan anak yang harus diperhatikan.

Demikian dengan Alanda. Ibu adalah roh dari keluarga, maka wajar jika Alanda merasakan kepedihan hati ketika ibunya dapat tuntutan 10 tahun dengan denda 10 milyar. Tambah lagi ayahnya lebih dulu di pecat setelah kasus Century mencuat, meski ayahnya mungkin hanya tumbal.
Tetapi, dengan tidak mengecilkan kesulitan yang dihadapi Prita dan Alanda, saya katakan kedua orang itu masih sedikit punya keberuntungan dibanding tukang arum manis yang istrinya dibunuh dua tahun lalu.

Saya tidak sengaja bertemu dengan tukang arum manis di depan kedai 7 Eleven di Radio Dalam. Saat itu ia sedang minum air mineral gelas di depan warung yang besebelahan dengan 7 Eleven. Karena kelihatan tua, tubuhnya kecil, dan mukanya cuma ada kerutan, saya merasa kasihan dan memutuskan membeli beberapa arum manisnya.
Dari obrolan dengan tukang arum manis tua itu saya tahu bahwa istrinya meninggal di kampungnya di Jawa Tengah sana. Istrinya diduga dibunuh karena ditemukan di kebun pisang milik tetangganya dengan beberapa luka tusukan. Ajaibnya, polisi meminta uang untuk biaya penyelidikan kematian istrinya. Karena keluarga tukang arum manis itu cuma orang miskin, maka mereka hanya memberi 500 ribu untuk polisi.

Dan sampai sekarang, dua tahun setelah pembunuhan itu, belum ketahuan siapa pembunuhnya karena tiap kali polisi minta dana, keluarga tidak mampu memenuhinya. 
Tukang arum manis itupun balik ke Jakarta untuk melanjutkan mencari nafkah.

Tentu tukang arum manis itu tidak punya blog, tidak punya akun Facebook dan Twitter, ia cuma tahu kalau mau kasus istrinya tuntas maka ia harus bayar. Dan ia hanya bisa berdoa pada Tuhan untuk meminta keadilan dilimpahkan kepadanya, kalau tidak di dunia ya di akhirat kelak.

Berkaca dari kejadian yang menimpa Prita, ada kasus hukum yang memang bisa selesai berkat media sosial. Di Amerika Serikat, seorang pemuda bebas dari tuduhan membunuh karena ayahnya bisa membuktikan kalau pada saat kejadian anaknya sedang mengupdate status di Facebook lalu tidur. Ia bebas dan akhirnya pembunuh yang sebenarnya bisa ditangkap. Pemimpin KPK Bibit Samad Riyanto dan Chanda Hamzah bisa lepas dari rekayasa hukum juga karena dukungan dari media sosial. Dan mudah-mudahan ibunda Alanda juga mendapat keadilan yang jadi haknya.

Banyak gerakan moral berawal dari media sosial karena hukum di Indonesia tidak berjalan pada sistem yang baik dengan aparat yang bersih. Dengan kondisi seperti ini, maka netizens di dunia maya yang aktif di media sosial bisa saya katakan sebagai salah satu dari pejuang hukum dan hak asasi manusia. Berlebihan? Silahkan Anda menilainya sendiri.

Salam!


0 Comments

Posting Komentar