Media Sosial Bukan Media Selingkuh

Siapa sekarang ini yang tak punya akun di jejaring  sosial? Kita pasti punya, bahkan murid SD pun sekarang punya, meski belum waktunya. Selain beraktivitas di kantor, rumah, atau kampus, hari-hari terasa belum lengkap tanpa mengintip Facebook, Twitter, Friendster, Foursquare, Koprol, Kaskus, BlackBerry Messenger, dan lain sebagainya itu. Ya, karena bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan media sosial sebagai salah satu sarana eksistensi diri.

Tapi kita tidak ingin media sosial menguasai hidup kita, kan? Kalau Anda menjawab iya, maka jika Anda sedang kesal dengan suami/istri/pacar Anda sebaiknya  tahan diri untuk mengungkapkannya pada status Facebook atau Twitter atau instant messaging manapun, termasuk BBM atau YM. Tentu saja godaan untuk membuka jejaring sosial demikian besar, apalagi banyak status-status orang yang menggiurkan untuk dikomentari. Tapi kalau Anda sedang marah dengan pasangan Anda tahanlah diri dulu.

Kenapa? Kalau Anda menulis status yang menunjukkan Anda kesal pada pasangan -baik secara metafora, langsung dan tidak langsung- ini akan membuka peluang bagi orang lain untuk memberi komentar yang bisa memperkeruh isi otak Anda. Misal ada yang komentar, "Tenang aja, kita ngopi-ngopi aja yuk, nanti pikiran fresh deh!" atau "Ahh, nanti juga dia maafin kok, laki/perempuan kan emang suka gitu."


Komentar-komentar macam ini ini bukannya menyelesaikan masalah malahan melarikan Anda dari masalah. Untuk sejenak Anda memang terhibur atau bisa bersenang-senang dengan kawan-kawan di kafe, klub, atau tempat olahraga, tapi ketika kembali ke rumah, pikiran Anda malah tambah ruwet. Bukan tak mungkin Anda malah lebih sebal dengan istri/suami karena merasa ia tidak bisa memberikan ketenangan emosional dibanding teman-teman.

Sebaliknya, komentar yang berempati kepada Andapun akan membawa efek tidak baik bagi hubungan Anda dengan pasangan. Komentar bernada empati akan membuat Anda merasa lebih nyaman "curhat" kepada orang lain daripada dengan pasangan. Semakin Anda merasa lebih nyaman berada diantara teman-teman, semakin Anda merasa tidak butuh pasangan Anda. Kalau sudah begini, hubungan dengan pasangan tentu memburuk karena tidak ada kepercayaan. Lebih buruk lagi kalau pasangan Anda tahu Anda lebih senang mendapatkan masukan dari orang-orang di dunia maya, sudah pasti ia akan tersinggung. Apa yang Anda rasakan jika istri/suami/pacar justru lebih senang dihibur orang daripada dihibur Anda sebagai pasangannya?

Demikian pula jika Anda menemukan status yang isinya curhat, tahan diri Anda untuk berkomentar pada status itu. Kalaupun Anda kenal baik dengan penulis status, pilihlah komentar yang netral, misal, "Berdoa aja semoga Tuhan kasih jalan keluar." atau "Coba bicarakan sama suami/istri supaya lebih enak cari solusinya." Tapi jika Anda merasa bukan orang bijak, maka tahan dirilah untuk berkomentar pada status yang "berbahaya".

Namun, ada pengecualian. Kita boleh mengungkapkan masalah pribadi dan rumah tangga di jejaring sosial jika media sosial itu benar-benar berisi orang yang paham masalah rumah tangga dan agama, misal forum diskusi konsultasi psikologi, atau forum konsultasi agama.
Mencari solusi kepada orang yang memang ahlinya lebih berguna daripada hanya menulis status yang bisa dibaca banyak orang.

Nah, lepas dari urusan tulis-menulis status, media sosialpun kerap mempertemukan kita dengan teman lama. Siapa yang tidak senang bertemu teman lama?

Hampir setiap orang senang bertemu teman lama. Dan jika Anda "bertemu" kembali dengan teman lama yang jenis kelaminnya berbeda dengan Anda, sebaiknya hindari percakapan yang menjurus ke urusan pribadi. Sekedar ber-say hello lewat message Facebook atau BBM boleh saja namun tidak untuk percakapan lain seperti menanyakan kabar istri/suami/istri/anak. Kalau Anda bertanya, "Gimana kabar istri/suami kamu?" nampaknya akan terdengar seperti Anda tidak ingin mengganggu kebahagiaan rumah tangganya dan berusaha bersimpati akan rumah tangganya. Namun itu justru membuka peluang bagi dia untuk bercerita lebih jauh tentang rumah tangganya. Ketika dia bercerita tentang rumah tangganya -baik cerita bahagia maupun cerita sedih- maka Anda telah masuk ke dalam urusannya lebih jauh. Dan ketika dia telah merasa nyaman berbagi urusan rumah tangganya kepada Anda, maka baik dia dan Anda telah melakukan perselingkuhan di media sosial.

Kok bisa begitu? Kan sharing kepada teman lama boleh dong. Ya memang boleh, tapi tidak ketika teman itu jenis kelaminnya beda dengan Anda karena akan membuka celah perselingkuhan.

Lagipula idealnya orang yang telah menikah berbagi urusan apapun hanya kepada pasangannya, bukan dengan orang lain. Lagipula apakah kita rela kalau pasangan kita suka mengumbar-umbar urusan rumah tangga kepada orang lain? Kalau tidak suka, maka tidak perlu kita membuka diri kepada orang lain untuk bebas menceritakan masalah rumah tangganya kepada kita. Kita tidak perlu menjadi bagian dari rumah tangga orang lain meski hanya sebagai tempat curhat.

Saran diatas terlalu rumit? Ah, tidak kok. Tidak ada yang rumit kalau kita benar-benar ingin hubungan dengan pasangan selalu terjaga dalam kepercayaan dan kemesraan.

Last but not least, salah satu usaha kecil agar terhindar dari godaan berkenalan dengan lelaki atau wanita lain, sebaiknya ubah privacy setting Anda di jejaring sosial agar tidak sembarang orang bisa menjalin pertemanan dengan Anda di media sosial. Kalau sudah begitu maka kita juga tak perlu iseng memasukkan orang yang tidak dikenal -yang jenis kelaminnya beda dengan kita- kedalam daftar teman di jejaring sosial. Dengan demikian secara tak langsung kita telah berusaha berkomitmen untuk tidak tergoda dengan perselingkuhan di dunia maya.

0 Comments

Posting Komentar