Kartini Dua Satu April

Pada hari ini biasanya ada banyak komentar negatif yang mempertanyakan kenapa seorang perempuan yang curhat lewat surat pada sahabatnya lantas jadi pahlawan nasional. Pada hari ini pula banyak kantor yang mengharuskan karyawan wanitanya memakai kebaya. Hari ini juga banyak sekolah ramai merayakan kelahiran seorang wanita dengan riuh menghimbau murid-muridnya memakai baju daerah. Media massa pada hari inipun ramai mengucapkan “Selamat Hari Kartini” kepada segenap perempuan Indonesia.

Ya, 21 April adalah hari Kartini.

Beberapa waktu terakhir ini agaknya orang lebih berani mengutarakan mengapa Kartini yang hanya bersurat-suratan dengan teman Belandanya bisa jadi pahlawan emansipasi wanita. Awalnya saya sependapat dengan mereka, karena dibandingkan dengan Cut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu atau Dewi Sartika, Kartini itu “tidak ada apa-apanya” karena dia tidak berjuang mengangkat senjata melawan Belanda.

Tapi, saya pribadi lebih tidak setuju pada banyak orang yang pada hari ini ikut riuh memakai kebaya, mengucapkan selamat Hari Kartini, dan mengumandangkan emansipasi tanpa tahu apa maksud mereka melakukan hal itu semua.

Pihak yang kontra selalu mempertanyakan “kenapa Kartini?” atau “mentang-mentang orang Jawa.” Untuk itu saya berpendapat begini, isi surat-surat Kartini berisi pemikiran bahwa perempuan mestinya tak cuma ada dibalik tembok rumah/istana dan selalu terkungkung adat.  Kartini belajar bahasa Belanda dan berteman dengan orang-orang Belanda melalui pertemanan sahabat pena. Dalam surat-suratnya ia banyak mengutarakan bahwa seorang perempuan harus punya sikap sendiri dan mau maju untuk dirinya sendiri. Untuk ukuran perempuan zaman penjajahan, apa yang ada dipikiran Kartini itu maju.  Suatu hal yang mungkin belum ada dipikiran para perempuan masanya. Kartini punya pergaulan luas, meskipun hanya sahabat pena. Isi pikiran Kartini dan kemauannya untuk belajar itulah yang jadi emansipator wanita, menurut saya masih relevan sampai saat ini karena banyak kita temui perempuan malas sekolah tinggi-tinggi karena beranggapan toh nanti setelah menikah akan berkutat di dapur, sumur, dan kasur saja.

Orang Jawa? Bukan lantas karena ia orang Jawa maka jadi pahlawan. Kebetulan Jawa itu pusat pemerintahan, terlebih Kartini itu ningrat sehingga memungkinkan ia berkontak dengan orang Belanda. Mungkin saja ada orang luar Jawa yang berpikiran sama seperti Kartini namun tak terdeteksi karena tak bersahabat dengan orang Belanda. Jawa atau bukan tak jadi masalah. Sayapun bukan orang Jawa dan tak masalah dengan pahlawan dari Jawa. Banyak orang-orang dari luar Jawa yang juga jadi pahlawan.

Kemudian kalau dibilang Kartini sebetulnya bukan pejuang kemerdekaan dan tidak layak dijadikan pahlawan nasional, ya itu mungkin benar, karena Kartini bukan pahlawan tapi pemikir. Meski demikian, bisa juga Kartini disebut pahlawan karena kepahlawanan tidak mesti identik dengan bambu runcing atau senapan, kan? Zaman sekarang para siswa juara lomba sains internasional bisa disebut pahlawan karena mereka mengharumkan dan membanggakan rakyat Indonesia. Begitu juga dengan atlet juara olimpiade, mereka bisa disebut pahlawan. Ehem, tapi ironisnya sekarang ini tentara yang gugur mempertahankan batas wilayah kok tak dibikin jadi pahlawan ya, hehehe!

Lalu orang yang pro mengatakan, “Kartini itu feminis sejati. Penolak poligami.”

Untuk itu saya berpendapat begini, Kartini sebetulnya bukan feminis sejati dan penolak poligami karena pada akhirnya ia menikah dengan Bupati Rembang yang sudah beristri tiga, menyebabkan ia jadi istri ke-4. Kartini seorang muslim yang sering membaca injil dari teman-teman Belandanya. Sementara itu ia kesulitan memahami isi Quran karena tak ada yang mengajarinya. Orang-orang hanya membaca huruf Qurannya saja, bukan terjemahan dan tafsir Indonesianya. Hal ini membuat Kartini kesulitan memahami poligami dan betapa beratnya larangan untuk lelaki yang berpoligami itu. Kartini lebih banyak membaca injil dibanding tafsiran Quran sehingga membuatnya menolak keras poligami. Bagaimanapun juga Kartini hidup di pingitan, di masa penjajahan, aksesnya terhadap pengetahuan juga masih terbatas sehingga pemikirannya pun tak sempurna. Tak ada manusia yang sempurna, bukan?

Bicara soal Kartini ini, jangankan rakyat biasa, orang yang menjabat jadi menteri pemberdayaan perempuanpun belum tentu paham isi pikiran Kartini. Namun ribut-ribut soal Kartini ini mengingatkan saya terhadap Majapahit. Orang dari luar Jawa menolak bahwa Majapahit adalah kerajaan besar di Nusantara karena Sriwijaya lebih besar, juga menolak Gajah Mada sebagai pahlawan pemersatu bangsa karena ia sebenarnya tukang jajah. Tiap orang boleh saja beranggapan sesuai maunya tapi ada bukti sejarah. Sejarah memang bisa dipelintir tapi lebih baik kalau mempelajari dulu bukti-bukti sejarah sebelum memutuskan setuju atau tidak. Jangan jadi -seperti kata pepatah- tong kosong nyaring bunyinya, ramainya saja tapi tanpa makna.

Sekarang waktunya menyudahi pro-kotra soal kepahlawanan Kartini ataupun kepahlawan lain. Kalau tertarik baca saja buku kumpulan surat-surat Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang. Kalau tak suka juga jangan cari-cari kelemahan Kartini, baca juga bukunya, atau baca saja buku Pramudya Ananta Toer berjudul Panggil Aku Kartini Saja.

Akhir kata, tidak memperingati hari Kartini bukan berarti tak nasionalis. Memperingatinya juga tak salah asal wajar dan tak makan anggaran. Alangkah lebih baiknya kalau memperingati dan merayakan Hari Kartini tapi tahu apa yang dirayakan dan tahu latar belakangnya. Juga kantor-kantor mestinya tak usah “memaksa” karyawatinya berkebaya pada hari ini. Tahukah kalian, hai para penyuruh, bahwa berkebaya itu repot? Bagaimana kalau mereka sehari-hari naik bus lalu pakai kebaya? Kalian juga tak usah ikut-ikut sesumbaran mengucapkan Hari Kartini padahal pemahaman tentang Kartini kosong-melompong.
Seorang pahlawan tidak pernah menginginkan jadi pahlawan, ia hanya berbuat yang terbaik untuk bangsanya walaupun itu harus mengorbankan dirinya sendiri.

0 Comments

Posting Komentar