Ikbal
keluar bersama sepuluh temannya dari kantin lima menit sebelum jam makan malam
berakhir pada pukul tujuh. Setelah bergurau beberapa saat mereka memisahkan diri
ke arah yang berbeda.
Ikbal
sendiri akan ke musala yang bersisian dengan
kantin untuk salat Isya, tapi matanya keburu melihat ke arah gerbang. Gerbang
yang jadi satu-satunya akses keluar-masuk itu dalam keadaan terbuka untuk
membiarkan tiga mobil jip lewat.
Ikbal
segera tahu bahwa jip-jip itu membawa para mahasiswa baru yang akan dia
mentori.
Para
mahasiswa baru masuk satu minggu lebih lambat dari para mahasiwa tingkat atas
di bulan September. Jeda waktu seminggu
dipakai Akademi untuk memberi pemantapan materi dan penyesuaian jadwal pada
mahasiswa Trooper yang akan jadi mentor.
“Pastikan apa yang kau lakukan benar-benar mementori,
bukan memelonco,” Ikbal ingat Profesor
Sanker berkata seperti itu sampai tiga kali kepadanya pada tiga kesempatan
berbeda.
Ikbal
paham—meski Profesor Sanker tidak mengatakannya—bahwa dia sedang diingatkan agar
kejadian saat dirinya jadi mahasiswa baru, yang angkatannya dimentori tiga
orang Trooper, direndam dalam kolam renang selama satu jam pada tengah malam
saat hujan deras.
Akibatnya
lima temannya harus dirawat di klinik karena demam dan dua puluh lima sisanya
diliburkan selama satu hari dari seluruh latihan dan perkuliahan. Lalu ketiga
mentor dan teman-temannya dihukum menginap di sel kantor kepolisian resort
setempat selama tujuh hari dan diperlakukan seperti tahanan kriminal. Sejak itu
kamera pengawas diperbanyak bahkan dipasang di lorong-lorong asrama. Bisik-bisik
bernada protes ramai diantara para mahasiswa, terutama yang saling menjalin
kasih, karena diawasi seperti dalam penjara. Tapi tidak ada yang berani
mengutarakan langsung pada Profesor Sanker atau para instruktur. Mereka hanya
berani protes pada mentor yang juga tidak punya kekuasaan mengubah apapun di
Akademi.
Ikbal
kemudian masuk ke dalam musala. Senyum percaya diri tersungging di bibirnya.
Setiap
tahun Akademi memindai lebih dari dua setengah juta remaja berusia tujuh belas
tahun yang melakukan perekaman kartu tanda
penduduk, melalui kamera resolusi tinggi dan laser yang terhubung dengan
pemindai biometrik milik direktorat kependudukan, untuk dipindai kimia otaknya.
Nama-nama
remaja yang punya kadar dopamin,
norephineprin, serotonin, asetilkolin, asam glutamat, dan noradrenalin yang paling seimbang akan terkirim ke Kamar Kendali
Akademi.
Segera
setelah nama-nama itu lulus sekolah menengah atas, drone nano berbentuk
mirip capung bergerak mengikuti mereka selama delapan jam sehari. Drone dikendalikan di Kamar Kendali dan
memantau apakah kegiatan siempunya nama berpotensi terlibat narkotika, pidana,
asusila, perundungan, dan penilaian lain yang subjektif dari para dosen dan
instruktur.
Mereka
yang lolos kualifikasi akan diundang belajar dengan semua biaya ditanggung
penuh Akademi.
Selalu
ada penolakan dari orangtua dan wali yang keberatan kegiatan anaknya dimata-matai
(sekaligus dipaksa untuk bergabung), tapi para instruktur sudah terlatih untuk
bicara secara persuasif dan efektif. Berbekal surat izin kejaksaan dan kepolisian
yang membolehkan Akademi memantau, maka tidak pernah ada gugatan hukum kepada
Akademi.
Ketiga
mobil itu masuk dan parkir di garasi luas beratap seperti hanggar dengan satu
jendela lebar pada dindingnya.
Zulfikar, Johan, dan Firzan turun dari Toyota
hitam bersama Teddy dan Soni, dua instruktur yang menjemput mereka.
Komang
dan Firzan juga turun dari mobil yang lain lalu menurunkan tas-tas bawaan
mereka dari bagasi atas perintah Instruktur Ardo dan Dimas.
Dari
mobil terakhir turun Karlie, Yasmine, dan Kiki. Mereka sudah mengeluarkan tas
dari bagasi dibantu Instruktur Benny dan Helen.
Mereka
semua memakai baju kasual berupa jeans dan celana panjang dengan kaos dan hanya
Yasmine yang memakai dress motif bunga-bunga selutut warna biru
lembut dengan sepatu flat warna senada. Dia juga yang membawa koper
paling besar sementara yang lain hanya membawa ransel dan koper kabin.
Semuanya
datang dengan pesawat bersama para instruktur yang menjemput. Hanya Karlie dan
Firzan yang tidak karena mereka datang dari Jakarta dan Bogor yang bisa
ditempuh menggunakan jalan darat. Tapi mereka pun harus menunggu lebih dulu di Bandar
Udara Ngloram di Blora agar bisa bersama-sama teman seangkatannya berangkat ke
Akademi di Jepara.
Instruktur
Benny memberi isyarat dengan tangannya agar mereka mendekat, “Kita ke gedung
Pranala. Kalian akan bertemu Profesor Sanker di sana.”
Sementara
Benny membawa para mahasiswa baru ke Gedung Prabala, para instruktur yang lain
pergi ke kantin untuk makan malam.
“Siapa itu Profesor Sanker?” tanya suara milik
Johan ketika Instruktur Benny menyebut nama tersebut.
“Kepala
Akademi,” jawab Benny, “rektor kalau di universitas.”
“Ini
semua punya Akademi atau bagaimana?” tanya Komang kepada Johan yang berjalan disebelahnya
saat melihat tiga minivan, dua minibus, dan satu bus besar yang parkir rapi
berjajar dengan sepuluh motor sport, dan lima motor bebek automatic.
“Pastinya bukan punya opungku,” jawab Johan.
Komang
melempar pandangannya lagi pada semua kendaraan yang ada di garasi. Matanya
membesar dan mulutnya membulat ketika pandangannya tertumbuk pada Range Rover—mobil
kesukaannya—yang parkir terpisah dari mobil-mobil yang lain. Range Rover itu
tampak sedang diperbaiki oleh dua mekanik.
“Pak
Benny, kendaraan semua ini punya Akademi?” tanya Komang.
Instruktur
Benny tidak langsung menjawab karena dia lebih dulu menyapa seorang perempuan
berkuncir kuda berbaju bengkel yang sedang menenteng aki.
“Iya—jangan
panggil saya Pak, panggil nama saja tanpa embel-embel— semua kendaraan kami
dapat dari lelang.”
Komang
ingin menaksir berapa harga semua kendaraan di garasi tapi mereka keburu masuk
ke dalam koridor kaca.
Koridor
itu berupa terowongan kaca sepanjang lima
belas meter yang pada atap tingginya dipasang panel surya. Koridor kaca itu menghubungkan
garasi dengan Gedung Prabala.
Instruktur
Benny mengetikkan tujuh angka pada panel elektronik yang menempel pada pintu
besi berkaca. Pintu menuju Gedung Prabala pun terbuka.
Bentuk
Gedung Prabala seperti balok yang disusun asal tumpuk dengan warna coklat,
abu-abu, dan merah hati. Pada atap dan dinding-dinding
luar gedung dipasang panel surya untuk mencukupi kebutuhan listrik di gedung
itu. Cahaya matahari yang diserap panel surya disimpan dalam baterai. Energi
pada baterai digunakan untuk menyalakan lampu, penyejuk ruangan, dan semua
peralatan elektronik. Sedangkan panel surya yang dipasang di atap garasi
digunakan juga untuk mengisi ulang daya mobil dan motor listrik.
Suasana
formal kantoran langsung terasa saat memasuki lobi. Lantai marmer warna putih bergradasi
marun memantulkan suara ketak-ketok dari sepatu Rita yang berhak.
Rita
mengatakan bahwa di lantai satu terdapat ruangan tempat Profesor Sanker
berkantor. Dia juga menyebut bahwa Instruktur Benny, Profesor Dorita, Tugis,
dan para dosen punya ruangan di lantai ini juga (yang lain celingukan saling
mencari tahu siapa gerangan Profesor Dorita dan Tugis).
Instruktur
Benny menyuruh para lelaki membantu Yasmine membawa koper besarnya menaiki
tangga ke lantai dua. Yasmine berkata bahwa seharusnya ada lift seperti yang
biasa ada di kampus-kampus moderen. Instruktur Benny tidak menghiraukan ucapan
Yasmine dan terus menaiki anak tangga.
Lantai
dua sepi dan lengang karena staf administrasi dan kesekretariatan hanya bekerja
sampai pukul delapan belas. Berbeda dengan garasi yang terang-benderang, semua
lampu di sini sudah dimatikan sehingga
pandangan yang didapat hanya temaram saja. Lampu yang masih menyala berasal
dari langit-langit dibawah tiga meja kerja yang menandakan siempunya masih
bekerja. Meja-meja kerja di ruangan itu bersekat-sekat seukuran dada dengan
panel warna-warna muda hijau, biru, dan kuning.
Cahaya
yang berpendar dari lampu di lapangan masuk melalui jendela-jendela besar dan
lebar yang tidak ditutup tirai sehingga ikut membantu pencahayaan di lantai dua
Gedung Prabala itu.
Nampak
sofa dan meja beralas karpet di beberapa sudut ruangan yang bila dilihat lebih
cocok sebagai tempat bersantai seperti kafe daripada tempat untuk bekerja. Yang
paling mencolok adalah keberadaan tiga meja bundar yang menempel dengan sofa
bersandaran tinggi yang semuanya berjajar dekat jendela.
Instruktur Benny disambut oleh perempuan yang
memperkenalkan dirinya dengan nama Rita, sekretaris Profesor Sanker. Lalu Rita
memperkenalkan Mita yang disebutnya sebagai sekretaris Profesor Dorita. Dan ada
Ranti yang diperkenalkan sebagai kepala administrasi dan tata usaha.
“Kita
ke ruang rapat, Benny?” kata Rita. Alis kirinya sedikit naik diatas kacamatanya
yang berbingkai mata kucing. Perawakan wajahnya yang matang menyuratkan bahwa
Rita berusia awal tiga puluhan.
Benny
mengangguk, “Semuanya, kita ke ruang rapat,” katanya pada kedelapan mahasiswa
baru tersebut.
Di
meja ruang rapat telah ada laptop dan di pojok ruangan tersusun ransel-ransel hitam
berukuran tiga puluh liter.
Masing-masing
telah duduk di kursi dengan laptop di
depan mereka. Rita memberitahu bahwa laptop tersebut terbatas untuk kebutuhan
belajar dan mengerjakan tugas.
“Tidak
ada internet, tidak ada hiburan dan komunikasi, dan hanya untuk keperluan
akademik. Tata tertib, panduan, dan peraturan-peraturan Akademi bisa dibaca pada
berkas dalam laptop,” kata Rita. “Sekarang tolong keluarkan ponsel, jam tangan,
laptop, tablet dan elektronik lain yang kalian bawa dari rumah.”
Mereka
sudah diberitahu bahwa pemakaian barang elektronik pribadi hanya boleh
dilakukan pada hari Minggu dan libur nasional jadi—dengan berat hati dan
keengganan yang luar biasa—mereka menyerahkan gawai-gawai mereka pada Ranti diiringi
gerutuan kecil dari Yasmine yang tidak bisa lagi memajang foto dan video di
media sosialnya.
Setelah
tidak ada lagi gawai pribadi yang disimpan,
Mita bergerak membagikan ransel-ransel di pojok ruangan. Ransel itu tidak berat
tapi juga bisa dibilang ringan. Isinya tiga pasang seragam latihan, dua pasang
seragam kuliah, sepasang sepatu kets warna marun beserta kaus kakinya, sepasang
sepatu pantofel hitam, buku-buku tulis, alat tulis, topi, dua kaos marun lengan
panjang dan jaket marun bertulisan Akademi Insidental dan Keamanan Khusus, baju
renang model selam, dan peralatan mandi berupa sabun batangan, sikat gigi,
sampo, dan pasta gigi.
“Apa
ukuran sepatunya pas?” tanya Karlie sambil memerhatikan sepatunya.
“Pasti
pas, kalian sudah dipantau,” jawab Rita. Lalu dia menjelaskan bahwa semua
kebutuhan belajar dan mandi disediakan Akademi. Jika ingin menggunakan milik pribadi
harus melapor pada Ranti.
“Apa
ada yang tidak ingin menggunakan alat mandi dan alat tulis dari Akademi?”
Karlie
memberanikan diri mengangkat tangan kanannya.
“Saya
ingin memakai alat mandi milik sendiri. Apa dibolehkan?”
“Boleh,”
kali ini Ranti menjawab. Dia menanyakan nama Karlie lalu minta alat mandi yang
ada di ransel dikembalikan.
Yasmine
melakukan hal sama seperti Karlie dengan tidak memakai alat mandi dari Akademi.
“Apa
merek sanitary-mu?” kata Yasmine pada Karlie sepekan mungkin.
“Glowy
Glow.”
Yasmine
berbinar, “Sama! Dulu aku pakai itu tapi sekarang pakai dari dokter. Kulitku
sensitif…” perkataan Yasmine terpotong karena dua orang staf lelaki dari Kamar
Kendali datang datang untuk memindai mata dan mengambil sidik jari mereka.
Setelah
selesai dua orang itu pergi dan digantikan dua perawat dari klinik yang dengan cepat
mengeluarkan selusin jarum suntik.
“Apa
kita akan disuntik?” kata Yasmine cemas.
“Tidak,
cuma ambil darah saja,” jawab Rita cepat.
“Bukannya
sama-sama ditusuk jarum?!” celetuk Johan.
“Beda,
kalau ambil darah jarumnya lebih besar,” timpal Komang bercanda.
Johan
mengangguk cepat, “Betul itu! Supaya darahnya bisa terambil banyak.”
Yasmine
cemberut dan memangku kanannya di meja karena cemas akan suntikan sekaligus
sebal karena Komang dan Johan menggodanya.
Karlie
mengusap pelan lengan Yasmine untuk menghiburnya.
Hanya
beberapa detik setelah dua perawat pergi setelah mengambil darah, datang dua
orang perempuan muda memakai celemek hitam membawa tumpukan nasi kotak. Mereka membagikan
nasi kotak itu dengan cekatan kepada semua yang ada di ruangan.
Profesor
Sanker datang tepat setelah kotak terakhir diletakkan di depan Karlie. Profesor
Sanker menyapa lalu mengambil duduk di tengah-tengah mereka membuat Zulfikar
menggeser duduknya ke kiri.
Rita memberikan satu nasi kotak kepada
Profesor Sanker.
Profesor
Sanker mempersilakan mereka makan bersama dengannya. Rita duduk di belakang
Profesor Sanker dengan wajah serius dengan menggenggam tablet ditangan kirinya.
Menu
dalam nasi kotak itu berhasil membangkitkan rasa lapar pada Komang, Johan, Arun,
dan Kiki yang langsung melahap nasi beserta ikan tongkol balado, sayur jagung
muda, dan telur rebus yang ada dalam kotak.
Firzan
menyingkirkan ikan tongkol agar jangan sampai mengenai lauk lainnya. Dia alergi
ikan laut. Sekali makan seluruh tubuhnya akan gatal dan penuh bentol-bentol
merah selama berjam-jam.
Zulfikar
mengupas pisang susu dari kotak dan melahapnya. Karlie tidak lapar tapi dia
tidak ingin terlihat tidak menghormati Profesor Sanker jadi dia mengikuti
Zulfikar dengan memakan pisang. Yasmine tanpa sungkan menolak makan karena hari
sudah malam. Dia hanya menghabiskan air mineralnya.
“Kenapa
kami disebut Slugger, profesor, bukan mahasiswa?” tanya Zulfikar ketika dalam ingatannya muncul
informasi yang didapatnya dari Instruktur Soni.
“Sebetulnya
kalian disebut petempur. Slugger hanya nama angkatan. Disebut petempur karena kalian
mendapat pelatihan mendekati latihan polisi dan tentara hanya saja sudah
dimodifikasi sesuai kebutuhan sipil,” Profesor Sanker memandangi semuanya
dengan matanya yang teduh mengayomi, “Kalian juga tidak disebut taruna karena
ini bukan akademi militer, kepolisian atau ikatan dinas kelembagaan. Maka
kalian disebut petempur.”
“Berarti
kita harus bertempur?” tanya Yasmine tegang.
“Kadang-kadang.
Tapi tidak bertempur seperti tentara dan polisi, hanya pada situasi dimana
polisi dan tentara tidak bisa berbuat melebihi kewenangan mereka.”
“Kalau
lulus kita akan jadi sarjana apa, Prof?” kata Johan benar-benar ingin tahu.
“Kalian
akan jadi Sarjana Sains Pertahanan Sipil. Sekilas gelar kalian mirip dengan
lulusan Akademi TNI yang bergelar Sarjana Sains Terapan Pertahanan.”
“Berarti
kita akan jadi Hansip,” gumam Komang sepelan mungkin agar tidak terdengar
Profesor Sanker. Profesor Sanker mendengarnya namun hanya tersenyum dan tidak
mengindahkan. Kiki menendang kaki Komang, mengingatkan supaya tidak menyeletuk
sembarangan. Komang mendelik.
Tanya
jawab dengan Profesor Sanker selesai
pada pukul setengah sembilan malam. Rita dan Mita membawa mereka ke Gedung Pratisena—sebutan
untuk gedung asrama—untuk beristirahat.
Letak
Gedung Pratisena terpisah dari Gedung Prabala jadi mereka harus berjalan keluar
Gedung Prabala dahulu.
Bentuk
Gedung Pratisena mirip rumah susun dengan banyak jendela-jendela dan balkon
kecil berpagar tinggi tapi tanpa jemuran yang menggantung. Di lantai satu
terdapat pintu dengan lorong pendek yang menghubungkan Gedung Pratisena dengan
musala dan klinik. Seperti Prabala, pada atap Pratisena juga terpasang panel
surya.
“Para
Slugger—kalian Slugger Satu—di lantai tiga bersama Slugger Dua. Lantai satu
untuk Trooper dan lantai dua untuk Grunt,” kata Rita berjalan memimpin memasuki
gedung asrama.
Yasmine
mengeluh lagi karena mereka harus menaiki tangga ke lantai tiga. Kali ini
kopernya digotong oleh Arun dan Firzan.
“Semua lampu di komplek Akademi dipadamkan
pukul sepuluh malam dan dinyalakan lagi
pukul empat pagi. Hanya musala, gerbang, Kamar Kendali, lampu jalan dan
jembatan, sebagian Gedung Prabala, dan toilet umum yang menyala,” sambung Rita,
“saluran air ke kamar-kamar hanya menyala pada pukul lima pagi dan lima sore.
Jadi pastikan kalian punya cukup air dalam bak mandi.”
“Bagaimana
kalau kita ingin kencing tengah malam?” tanya Firzan sungguh-sungguh.
“Toilet
di setiap gedung tetap menyala, dan kalian kan dapat kamar mandi sendiri dalam
kamar,”jawab Rita santai.
“Kamar
mandi pribadi di tiap kamar!” kata Johan bersemangat diikuti seruan dan siulan
gembira dari yang lain.
“Seperti
hotel!”
“Apakah
harus berlebihan seperti itu?!” ujar Kiki melihat teman-teman lelakinya
melakukan tos, meskipun Arun melakukannya dengan wajah kaku, bingung di bagian
mana dia harus senang.
“Yes, Kiki! Memang kamu mau harus berbagi
kamar kecil dengan orang lain? Kalau mereka jorok kita bisa ketularan penyakit!”
sahut Yasmine.
Di
asrama pada umumnya kamar mandi berada di luar kamar tidur dan digunakan
bergantian oleh seluruh penghuni. Kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur
berarti membebaskan mereka dari antrean dan perundungan yang mungkin dilakukan
oleh kakak tingkat.
Rita
memotong kegembiraan soal kamar mandi, “Usahakan baca arsip sebanyak kalian bisa sebelum lampu padam. Lebih
bagus kalau kalian sempat membacanya sampai habis.”
Sesampainya
di lantai tiga Rita memberi masing-masing satu kamar karena jumlah mereka hanya
delapan orang. Angkatan lain mendapat satu kamar untuk tiga orang. Jatah satu
kamar untuk satu orang membuat para lelaki, ditambah Yasmine, melakukan tos
lagi.
Semua
orang masuk ke kamar untuk menaruh tas mereka. Para lelaki kemudian secara tak
sengaja berkumpul di kamar Komang sementara para perempuan menolak ikut karena
ingin membereskan barang-barang mereka.
Untungnya
tak seorangpun lupa bahwa lampu akan padam pada pukul sepuluh malam, sehingga
sebelum gelap mereka sudah kembali ke kamar masing-masing. Sebagian sudah
terlelap, sebagian lagi gelisah, dan sebagian lagi membolak-balik tubuhnya
karena sulit tidur. Suasana benar-benar sunyi sampai suara deburan ombak yang
memecah karang terdengar sampai ke kamar-kamar.